Senin, 14 Maret 2016

Hukum Bisnis (Business Law)

poltekapi.ac.id

Hukum Bisnis (Business Law)

A. Pengertian Hukum Bisnis
Istilah “hukum bisnis” sebagai terjemahan dari istilah “Business Law” sangat banyak di pakai dewasa ini, baik di kalangan akademis maupun di kalangan para artikel. Merkipun begitu, banyak istilah lain yang sungguhpun tidak sama persis sama artinya, tetapi mempunyai ruang lingkup yang mirip-mirip dengan istilah hukum bisnis. Istilah-istilah terhadap hukum bisnis terebut sebagai berikut :
1. Hukum Dagang (sebagai terjemahan dari “Trade Law”)
2. Hukum Perniagaan (sebagai terjemahan dari commercial Law )
3. Hukum Ekonomi (sebagai terjemahan dari “economic law”)
istilah “hukum dagang atau “hukum perniagaan” merupakan istilah dengan cakupan yang sangat tradisional dan sangant sempit. Sebab, pada prinsipnya kedua istilah tersebut hanya melingkupi topic-topik yang terdapat dalam kitab undang-undang hukum dagang (KUHD) saja. Padahal, begitu banyak topik hukum bisnis yang tidak diatur atau tidak lagi diatur dalam kitab undang-undang hukum dagang (KUHD). Misalnya, mengenai perseroan terbatas, kontrak bisnis, pasar modal, merger dan akuisisi, perkreditan, hak atas kekayaan intelektual, perpajakan, bisnis internasional dan masih banyak lagi. Sementara dengan istilah “hukum ekonomi cakupannya sangat luas, berhubungan dengan adanya pengertian ekonomi dalam arti mikro dan makro, ekonomi pembangunan dan ekonomi sosial, ekonomi manajemen dan akuntansi, yang kesemuanya tersebut mau tidak mau harus di cakup oleh istilah “hukum ekonomi”. Jadi, kita dilihat dari segi batasan ruang lingkupnya, maka jika istilah hukum dagang atau hukum perniagaan ruang lingkupnya sangat luas. Karena itu, memang istilah yang ideal adalah “hukum bisnis” itu sendiri.
Selain itu, jika istilah “hukum dagang” atau istilah “hukum perniagaan”, kedua istilah tersebut sudah sangat tradisional, bahkan sudah menjadiklasik”,maka dengan istilah “hukum bisnis” penekanannya adalah kepada hal-hal yang modern yang sesuai dengan perkembangannya yang mutakhir. Itulah sebabnya, dibandingkan dengan istilah-istilah lainnya tersebut, istilah “hukum bisnis” saat ini lebih popular dan sangat banyak digunakan orang, baik di Indonesia maupun di banyak Negara lain, bahkan oleh masyarakat internasional.
Sebenarnya, apakah yang dimaksud dengan istilah “hukum bisnis” itu ? sebagaimana diketahui bahwa istilah “hukum bisnis” terdiri dari 2 (dua) kata, yaitu kata “hukum” dan kata “bisnis”. Banyak definisi sudah diberikan kepada kata “hukum” meskipun tidak ada 1 (satu) definisi pun yang dapat dikatakan lengkap dan menggambarkan arah arti hukum secara utuh.
Sedangkan terhadap istilah “bisnis” yang dimaksudkan adalah suatu urusan atau kegiatan dagang, industri atau keuangan yang dihubungkan dengan produksi atau pertukaran barang atau jasa (Abdurrachman, 1991:150), dengan menempatkan uang dari para entrepreneur dalam risiko tertentu dengan usaha tertentu dengan motif untuk mendapatkan keuntungan (Friedman, jack P., 1987:66).
Dengan demikian, yang dimaksud dengan hukum bisnis adalah suatu perangkat kaidah hukum (termasuk enforcement-nya) yang mengatur tentang tata cara pelaksanaan urusan atau kegiatan dagang, industri atau keuangan yang dihubungkan dengan produksi atau pertukaran barang atau jasa dengan menempatkan uang dari para entrepreneur dalam risiko tertentu dengan usaha tertentu dengan motif (dari entrepreneur tersebut) adalah untuk mendapatkan keuntungan tertentu.
Adapun yang merupakan ruang lingkup dari hukum bisnis ini, antara lain adalah sebagai berikut :
1. Kontrak Bisnis
2. Jual beli
3. Bentuk-bentuk perusahaan
4. Perusahaan go public dan pasar modal
5. Penanaman modal asing
6. Kepailitan dan likuidasi
7. Merger dan akuisisi
8. Perkreditan dan pembiayaan
9. Jaminan hutang
10. Surat berharga
11. Perburuhan
12. Hak atas kekayaan intelektual
13. Anti monopoli
14. Perlindungan konsumen
15. Keagenan dan distribusi
16. Asuransi
17. Perpajakan
18. Penyelesaian sengketa bisnis
19. Bisnis internasional
20. hukum pengangkutan (darat, laut, udara, dan multimodal)

B. Hukum Bisnis di Indonesia
Sebenarnya, dasar-dasar hukum bisnis sudah lama sekali ada di Indonesia. Paling tidak, dasar hukum yang tertulis sudah ada dalam kitab Undang-undang Hukum Dagang dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang mulai diberlakukan di Indonesia sejak tahun 1848 berdasarkan asa konkodansi. Bahkan, dasar-dasar dari hukum bisnis yang sangat tradisional sudah terlebih dahulu ada, baik dalam hukum adat (seperti hukum kontrak/perjanjian adat), atau hukum jual beli dagang secara sederhana yang mengatur interaksi jual beli rakyat Indonesia dengan para saudagar asing kala itu, seperti dengan saudagar-saudagar Portugis Belanda, Arab, Hindustan, dan lain-lain.
Namun demikian, dasar hukum dari hukum bisnis di Indonesia yang tertulia adalah sebagai berikut:
1. KUH Dagang yang belum banyak di ubah.
2. KUH dagang yang sudah banyak berubah.
3. KUH Dagang yang sudah diganti dengan Perundang-undangan yang baru.
4. KUH Perdata yang belum banyak diubah.
5. KUH Perdata yang sudah banyak berubah.
6. KUH Perdata yang sudah diganti dengan Perundag-undangan yang baru.
7. Perundang-undangan yang tidak terikat dengan KUH Dagang maupun KUH Perdata.

Berikut ini penjelasan dari masing-masing kategori tersebut, yaitu sebagai berikut:
1. KUH Dagang yang belum banyak di ubah
Masih banyak ketentuan dalam KUH Dagang yang pada prinsipnya belum berubah yang mengatur tentang berbagai aspek dari hukum bisnis, meskipun sudah barang tentu sudah banyak dari ketentuan tersebut yang sudah usang dimakan zaman. Ketentuan-ketentua dalam KUH Dagang yang pada prinsipnya masih berlaku adalah pengaturan tentang hal-hal sebagai berikut:
a. Keagenan dan distributor (makelar dan komisioner)
b. Surat berharga (wesel, cek dan aksep)
c. Pengangkutan laut

2. KUH Dagang yang sudah banyak berubah
Disamping itu, masih ada ketentuan dalam KUH Dagang yang pada prinsipnya masih berlaku, akan tetapi telah banyak berubah yang mengatur tentang berbagai aspek dari hukum bisnis. Ketentuan-ketentuan dalam KUH Dagang yang pada prinsipnya masih berlaku, tetapi telah banyak berubah adalah pengaturan tentang hal-hal berikut:
a. Pembukuan Dagang
b. Asuransi

3. KUH Dagang yang sudah diganti dengan Perundang-undangan yang baru
Selanjutnya, ada juga ketentuan dalam KUH Dagang yang telah dicabut dan diganti dengan perundang-undangan yang baru sehingga secara yuridis formal tidak berlaku lagi. Yakni ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang berbagai aspek dan hukum bisnis berupa:
a. Perseroan Terbatas
b. Pembukuan Perseroan
c. Reklame dan penuntutan kembali dalam kepailitan

4. KUH Perdata yang belum banyak diubah
Kemudian, masih ada ketentuan dalam KUH Perdata yang pada prinsipnya belum berubah yang mengatur tentang berbagai aspek dari hukum bisnis. Ketentuan-ketentuan dalam KUH Perdata yang pada prinsipnya masih berlaku adalah pengaturan tentang hal-hal sebagai berikut:
a. Kontrak
b. Jual Beli
c. Hipotik (atas Kapal)

5. KUH Perdata yang sudah banyak berubah
Disamping itu, masih ada ketentuan dalam KUH Perdata yang pada prinsipnya masih berlaku, tetapi telah banyak berubah yang mengatur tentang berbagai aspek dari hukum bisnis. Ketentuan-ketentuan dalam KUH Perdata yang pada prinsipnya masih berlaku, tetapi telah banyak berubah adalah pengaturan tentang hal sebagai berikut:
- Perkreditan (Perjanjian Pinjam_meminjam)

6. KUH Perdata yang sudah diganti dengan Perundang-undangan yang baru
Selanjutnya, ada juga ketentuan dalam KUH Perdata yang telah dicabut dan diganti dengan perundang-undangan yang beru sehingga secara yuridis formal tidak berlaku lagi. Yakni ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang berbagai aspek dari hukum bisnis berupa:
a. Hak tanggungan (dahulu hipotik atas tanah)
b. Perburuhan
7. Perundang-undangan yang tidak terkait dengan KUH Dagang maupun KUH Perdata
Banyak juga ketentuan perundang-undang an Indonesia yang mengatur berbagai facet dari hukum bisnis yang tidak erikat, baik dengan KUH Dagang maupun dengan KUH Perdata. Ketentuan yang tidak terikat dengan KUH Perdata atau KUH Dagang tersebut, antara lain adalah ketentuan-ketentuan tentang hal-hal sebagai berikut:
a. Perusahaan Go Public dan pasar modal
b. Penanaman modal asing
c. Kepailitan dan likuidasi
d. Akusisi dan merger
e. Pembiayaan
f. Hak atas kekataan intelektual (HAKI)
g. Anti monopoli
h. Perlindungan konsumen
i. Penyelesaian sengketa bisnis
j. Bisnis internasional


KONTRAK BISNIS

A. Pengertian
Dalam tampilannya yang klasik, untuk istilah kontrak ini sering disebut dengan istilah “perjanjian”, sebagai terjemahan dari “agreement” dalam bahasa inggris, atau “overeenkomst” dalam bahsa Belanda. Di samping itu, ada juga istilah yang sepadan dengan istilah “kontak”, yaitu istilah “transaksi” yang meerupakan terjemahan dari istilah Inggris “transaction”. Namun demikian, istilah “kontrak” (sebagai terjemahan dari istilah Inggris “contract”) adalah paling modern, paling luas dan paling lazim digunakan, termasuk pemakainnya dalam dunia bisnis, dan hukum yang mengetur tentang kontak itu di sebut dengan “hukum kontrak”.
Ada beberapa pengertian yang dimaksud dengan kontrak:
  • kontrak adalah suatu kesepakatan yang diperjanjikan (promissory agreement) diantara 2 (dua) atau lebih pihak yang dapat menimbulkan, memodifikasi, atau menghilangkan hubungan hukum. (Black, Henry Campbell, 1968: 394).
  • kontrak sebagai suatu perjanjian atau serangkaian perjanjian di mana hukum memberikan ganti rugi terhadap wanprestasi dari kontrak tersebut, dan oleh hukum, pelaksanaan dari kontrak tersebut dianggap merupakan suatu tugas yang harus dilaksanakan.
  • Kontrak adalah suatuu perbuatan di mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih(KUH Perdata Pasal 1313)
  • Kontrak adalah suatu "peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal ". (Subekti, 1983:1)
B. Syarat Sahnya Kontrak
Berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) jelas bahwa perjanjian yang mengikat hanyalah perjanjian yang sah yaitu haruslah memenuhi persyaratan yuridis tertentu, Supaya sah pembuatan perjanjian harus mempedomani Pasal 1320 KUH Perdata.
Pasal 1320 KUH Perdata menentukan empat syarat sahnya perjanjian:
1. Kesepakatan
Yang dimaksud dengan kesepakatan di sini adalah adanya rasa ikhlas atau saling memberi dan menerima atau sukarela di antara pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut. Kesepakatan tidak ada apabila kontrak dibuat atas dasar paksaan, penipuan atau kekhilafan.

2. Kecakapan
Kecakapan di sini artinya para pihak yang membuat kontrak haruslah orang-orang yang oleh hukum dinyatakan sebagai subyek hukum. Pada dasarnya semua orang menurut hukum cakap untuk membuat kontrak. Yang tidak cakap adalah orang-orang yang ditentukan hukum, yaitu anak-anak, orang dewasa yang ditempatkan di bawah pengawasan (curatele), dan orang sakit jiwa.
Anak-anak adalah mereka yang belum dewasa yang menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan belum berumur 18 (delapan belas) tahun. Meskipun belum berumur 18 (delapan belas) tahun, apabila seseorang telah atau pernah kawin dianggap sudah dewasa, berarti cakap untuk membuat perjanjian.

3. Hal tertentu
Hal tertentu maksudnya objek yang diatur kontrak tersebut harus jelas, setidak-tidaknya dapat ditentukan. Jadi tidak boleh samar-samar. Hal ini penting untuk memberikan jaminan atau kepastian kepada pihak-pihak dan mencegah timbulnya kontrak fiktif. Misalnya jual beli sebuah mobil, harus jelas merk apa, buatan tahun berapa, warna apa, nomor mesinnya berapa, dan sebagainya. Semakin jelas semakin baik. Tidak boleh misalnya jual beli sebuah mobil saja, tanpa penjelasan lebih lanjut.

4. Sebab Yang Dibolehkan
Maksudnya isi kontrak tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang sifatnya memaksa, ketertiban umum, dan atau kesusilaan. Misalnya jual beli bayi adalah tidak sah karena bertentangan dengan norma-norma tersebut. KUH Perdata memberikan kebebasan berkontrak kepada pihak-pihak membuat kontrak secara tertulis maupun secara lisan. Baik tertulis maupun lisan mengikat, asalkan memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 1320 KHU Perdata. Jadi, kontrak tidak harus dibuat secara tertulis.

C. Asas Asas Kontrak
Sebagaimana kita ketahui dalam ilmu hukum dikenal beberapa asas hukum terhadap suatu kontrak, antara lain :
1. Asas Kontrak sebagai Hukum Mengatur
Hukum mengatur (aanvullen recht) adalah peraturan-peraturan hukum yang berlaku bagi subjek hukum, misalnya para pihak dalam suatu kontrak. Akan tetapi, ketentuan hukum seperti ini tidak mutlak berlakunya, karena jika para pihak mengatur sebaliknya, maka yang berlaku adalah apa yang diatur oleh para pihak tersebut. Jadi, peraturan yang bersifat umum mengatur dapat disimpangi oleh para pihak. Pada prinsipnya hukum kontrak termasuk kategori hukum mengatur, yakni sebagian besar (meskipun tidak menyeluruh) dari hukum kontrak tersebut dapat disimpangi oleh para pihak dengan mengaturnya sendiri. Oleh karena itu, hukum kontrak ini disebut hukukm yang mempunyai sistem terbuka (open system). Sebagai lawan dari hukum mengatur adalah hukum yang memaksa (dwingend recht, mandatory). Dalam hal ini yang dimaksud dengan hukum memaksa adalah aturan hukum yang berlaku secara memaksa atau mutlak, dalam arti tidak dapat disimpangi oleh para pihak yang terlibat dalam suatu perbuatan hukum, termasuk oleh para pihak dalam suatu kontrak.

2. Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract)
Asas ini merupakan konsekuensi dari berlakunya asas kontrak sebagai hukum mengatur. Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang mengajarkan bahwa dalam suatu kontrak para pihak paa prinsipnya bebas untuk membuat atau tidak membuat kontrak, demikian juga kebebasanya untuk mengatur sendiri isi kontrak tersebut. Asas kebebasan berkontrak ini dibatasi oleh rambu-rambu hukum sebagai berikut:
a. harus memenuhi syarat sebagai suatu kontrak
b. tidak dilarang oleh undang-undang
c. tidak bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku
d. harus dilaksanakan dengan itikad baik

3. Asas Pacta Sunt Servanda
Istilah ”pacta sunt servanda” mempunyai arti bahwa janji itu mengikat, yang dimaksud dengan asas kebebasan berkontrak ini ialah bahwa kontrak yang dibuat secara sah oleh para pihak tersebut secara penuh sesuai isi kontrak tersebut. Istilah lain dari asas ini adalah ”my word is my bonds”, yang artinya dalam bahasa Indonesia bahwa jika sapi dipegang talinya, jika manusia dpegang mulutnya, mengikat secara penuh atas kontrak atas kontrak yang dibuat oleh para tersebut oleh hukum kekuatanya dianggap sama saja dengan kekuatan mengikat dari suatu undang-undang. Oleh karena itu, apabila suatu pihak dalam kontrak yang telah dibuatnya oleh hukum disediakan ganti rugi atau bahkan pelaksaan kontrak secara paksa.

4. Asas Konsensual
Yang dimaksud dengan asas konsensual dari suatu kontrak adalah bahwa jika suatu kontrak telah dibuat, maka dia telah sah dan mengikat secara penuh, bahkan pada prinsipnya persyaratan tertulis pun tidak disyaratkan oleh hukum, kecuali untuk beberapa jenis kontrak tertentu, yang memang dipersyaratkan syarat tertulis.

5. Asas Obligatoir
Asas obligatori adalah suatu asas yang menetukan bahwa jika suatu kontrak telah dibuat, maka para pihak telah terikat, tetapi keterikatan itu hanya sebatas timbulnya hak dan kewajiban semata-mata, sedangkan prestasi belum dapat dipaksakan karena kontrak kebendaan (zakelijke overeenkomst) belum terjadi. Jadi, jika terhadap kontrak jual beli misalnya, maka dengan kontrak saja, hak milik belum berpindah, jadi baru terjadi kontrak obligatoir saja. Hak milik tersebut baru dapat berpindah setelah adanya kontrak kebendaan atau sering disebut serah terima (levering). Hukum kontrak di Indonesia memberlakukan asas obligatoir ini karena berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kalaupun hukum adat tentang kontrak tidak mengakui asas obligatoir karena hukum adat memberlakukan asas kontrak riil, artinya suatu kontrak haruslah dibuat secara riil, dalah hal ini harus dibuat secara terang dan tunai. Kontrak harus dilakukan di depan pejabat tertentu, misalnya di depan penghulu adat atau ketua adat, yang sekaligus juga dilakukan levering-nya. Jika hanya sekedar janji saja, seperti dalam sistem obligatoir, dalam hukum adat kontrak semacam ini tidak mempunyai kekuatan sama sekali.

D. Menyusun Kontrak Bisnis
Banyak orang bisnis tidak menyadari bagaimana pentingnya peran yang dimainkan soleh seorang business lawyer dalam suatu negosiasi transaksi bisnis. Sehingga, mereka baru daatang ke lawyer setelah timbul sengketa. Padahal dalam banyak hal, sengketa tersebut umumnya dapat dielakkan jika saat permulaan proses pembuatan kontrak sudah diikutsertakan lawyer. Keadaan nasi yang telah menjadi bubur ini sangat sering terjadi dewasa ini. Baik jika terjadi negosiasi antara sesama orang bisnis domestik, apalagi jika salah satu pihaknya adalah orang asing. Bahkan, jika salah satu pihak adalah pihak asing, pihak domestik mestilah ekstra hati-hati. Karena biasanya pihak asing tersebut sudah berkonsultasi terlebih dahulu dengan lawyernya, sehingga kedudukannya dari segi legal sudah benar-benar safe and kuat. Celakanya, dalam suatu kontrak, semakin kuat kedudukan salah satu pihak, semakin besar pula ancaman terhadap pihak lainnya.
1. Teknik Negosiasi
Agar negosiasi bisnis berjalan dengan baik, maka yang mesti hadir di meja negosiasi adalah mereka yang menguasai seluk beluk bisnis plus lawyer. Mereka yang mewakili kepentingan bisnis akan melihat dari aspek bisnisnya, sementara lawyer akan melihat dari aspek hukum dan formulasinya ke dalam draft kontrak. Untuk itu kepada para lawyer sendiri dituntut untuk tidak hanya menguasai ilmu hukum kontrak, tetapi juga menguasai dasar-dasar bisnis yang dinegosiasikan. Misalnya, kalau negosiasi mengenai kontrak joint veture produksi barang barang elektronik, lawyer tersebut juga harus mengerti tentang bisnis elektronik yang bersangkutan. Tidak perlu mendetil, tetapi cukup dasar-dasarnya saja.
Disamping itu, jika salah satu pihak merupakan pihak asing. Lawyernya juga dituntut untu bisa berbahasa inggris secara sempurna. Speaking, listening, writing and reading. Banyak juga terjadi dalam praktek , ketika lawyer domestik berhadapan mitra negosiasinya yang membawa lawyer asing, maka pihak domestic hanya “nrimo” saja sambil angguk-angguk kepala. Ini biasanya disebabkan karena penguasaan bahasa inggris yang minim, tidak menguasai teknis dan bisnis bidang yang di negosiasi, ataupun kurang persiapan sebelum datang ke meja negosiasi.
Malahan dewasa ini, bagi seorang lawyer yang datang ke meja negosiasi, diharapkan pula untuk bisa cepat dan mulus. Karena itu, apakah law firm ataupun lawyer sendiri sudah mesti menyisihkan dananya untuk membeli perangkat portable computer, yang memang sudah merupakan kebutuhan pokoknya.
Bahwa yang namanya negosiasi itu mempunyai teknik-teknik tersendiri. Hal itu disamping merrupakan bakat, tetapi juga dapat dipelajari, lewat pengalaman orang lain ataupun lewat pengalaman sendiri. Harus dihindari adanya situasi “kalah-menang” sebagai akibat negosiasi. Negosiasi “win to win” sudah merupakan mode dalam dunia bisnis.
Sering kali terjadi, para lawyer bertahan dengan kaku pada masalah-masalah yang tidak prinsipil. Bahkan dengan masalah-masalah marginal tersebut, bisa menyebabkan negosiasi gagal. Ataupun terpaku pada suatu deadlock. Padahal justru yang dituntut pada seorang lawyer adalah suatu alternatif pemecahan masalah. Semakin banyak alternatif, semakin baik bagi suatu negosiasi. Bagi lawyer asing, hal tersebut tidak menjadi masalah, karena sudah sejak di bangku kuliah di fakultas hukum, mereka dirangsang untuk mencari sebanyak mungkin alternatif. Lain halnya dengan lawyer domestik, yang di bangku kuliah hukum diajari secara dokmatis, tanpa merangsang adanya alternatif bagi mahasiswa. Dan juga dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang cenderung totaliter, di mana nilai budaya di sini kurang bisa menerima alternatif lain atau kurang bisa menghargai pendapat orang lain selain dari pendapat sendiri. Jika orang-orang seperti ini duduk di meja preundingan, sangat besar kemungkinan untuk terjadinya deadlock dari suatau negosiasi

2. Bahasa Kontrak
Kecekatan merumuskan kontrak dngan baik juga memerlukan keahlian tersendiri. Dalam hal ini, kepada lawyer diharapkan untuk bisa menguasai teknik-teknik legal drafting. Apabila kontrak tersebut berbahasa Indonesia, menjadi masalah karena bahasa Indonesia belum cukup berkembang, dan belum banyak menyediakan bahasa baku untuk suatu kontrak. Karena itu, kepada lawyer diharapkan untuk dapat merumuskan kontrak dengan acuan sebagai berikut :
1. Bahasa yang terang sehingga tidak terjadi ambiguity
2. kalimat yang terang
3. memakai bahasa yang baik dan benar
4. sebanyak mungkin menggunakan terminology yang sering dipakai dalam bahasa kontrak
5. bahsa terjemahan kadang-kadang tidak dapat dielakkan dan harus dicari padanannya yang tepat dalam bahasa Indonesia. Misalnya kata “whereas” sering diterjemahkan dalam kontrak sebagai “bahwa”, atau sitilah lain “factoring” diterjemahkan sebagai “anjak piutang”

Apabila kontrak harus dibuat oleh/di hadapan notaris, maka terdapat pula apa yang namanya bahasa notaris yang khas itu. Umumnya merupakan bahasa terjemahan dari bahasa Belanda. Bahasa khas bahkan kaku dari notaris tersebut kental sekali terlihat pada bagian komparasi atau akhir akta. Misalnya akta dimulai dengan “Pada hari ini … telah hadir di hadapan saya, Badu, sarjana Hukum, notaris di Jakarta … telah saya, notaries, kenal”.
Mestinya bahasa notaries seperti tersebut dapat disederhanakan sehingga sesuai dengan kaidah bahsa Indonesia yang benar. Tetapi entah mengapa, para notaries sangat enggan melakukannya.
Jika kontrak harus dibuat dalam bahasa inggris, masalah akan menjadi suit, karena di samping para lawyer harus menguasai bahasa inggris dengan baik, pemilihan kata-kata yang selektif, tetapi juga banyak frase kata bahasa inggris kontrakk yang sudah baku bahkan absolute (kuno). Hal ini tidak dapat dielakkan, karena diluar negeri sendiri dipraktekkan orang, misalnya terdapat jargon-jargon seperti witnesseth, whereas, In witness, limitation, hereinafter, theretofor dan masih banyak lagi. Jargon-jargon tersebut tidak dipergunakan dalam bahasa inggris standar sehari-sehari. Para lawyer di samping harus mengetahui dengan persis apa arti kata-kata tersebut, juga harus mengetahui bagaimana dan di mana penggunaannya.
Dalam suatu negosiasi kontrak, berlaku suatu dail seperti yang berlaku pada olahraga, bahwa permainan di kandang sendiri jauh lebih menguntungkan daripada bermain di kandang orang. Prinsip ini berlaku terhadap dua hal (1) Tempat negosiasi diusahakan di tempat tinggal kita, (2) Usahakan draft kontrak nya kita yang buat, sedangkan pihak lain cukup meriviewnya. Dalam praktek, jika kontraknya dalam bahasa Inggris lawyer domestik sering hanya diberikan kesempatan meriview saha terhadap kontrak yang sudah di draft oleh pihak asing. Sebabnya tentu kendala bahasa. Anehnya, bahkan lawyer domestik sepertinya senang dengan cara seperti ini. Padahal dia telah dipaksa untuk menari dengan irama gendang pihak asing. Yang harus diingat bahwa siapa yang men-draft suatu kontrak, maka 75% dia sudah memenangkan pertandingan.

3. Detil Kontrak
Sejauh mana detil harus dimasukkan dalm suatu kontrak? Rumus yang berlaku umum adalah semakin banyak detil yang dimasukkan dalam suatu kontrak semakin baik. Karena kalu kepada masalah sekecil-kecilnya sudah disetujui, kemungkinanuntuk timbul dispute di kemudian hari dapat ditekan serendah mungkin. Karena itu tidak mengherankan jika dalm dunia bisnis terdapat kontrak yang jumlah halamannya puluhan bahkan ratusan. Hanya saja demi alas an praktis terkadang kontrak sengaja dibuat tipis. Hal ini dilakukan karena (1) yang dilakukan baru ikatan dasar, dimana para pihak belum bisa berpartisipasi atau belum cukup waktu untuk memikirkan detil-detilnya. Kontrak seperti ini sering disebut Memorandum of Understanding (MOU), atau Basic Agreement, atau Preliminary Agreement, (2) Agar terlebih dahulu ada suatu komitmen di antara para pihak, sementara detil-detilnyadibicarakan di kemudian hari. Unruk itu disepakati dahulu prisip-prinsip dasar dari suatu kontrak. Sedangkan terms dan conditions akan dibicarakan di kemudian hari. Hal tersebut sering klai terjadi terhadap kontrak-kontrak tertentu, seperti terhadap kontrak konstruksi misalnya. (3) Karena kurang pengalaman/pengetahuan dari lawyer, terkadang tidak mampu untuk mengaturnya secara detil. Karena itu, diaturlah hal-hal pokok saja. Sementara detil-detilnya diatur kemudian sambil jalan dalm bentuk addendum atau supplement. Sehingga terciptalah kontrak tipis tetapi tebal lampirannya. Kontrak berbadan kecil tetapi berbuntut panjang seperti ini sangatlah tidak dianjurkan, mengingat para pihak yang itikadnya kurang baik dan berada di atas angin, dapat dengan mudah mengelak dari kewajibannya, dengan melakukan tough negotiation terhadap suatu addendum atau bahkan tidak mau sama sekali menandatangani addendum tersebut.
Apabila sebelum suatu kontrak yang lengkap disepakati “say hello” dahulu dengan menandatangani suatu MOU, banyak pihak meragukan sejauh mana MOU tersebut mengikat secara hukum. Ada Negara-negara yang menganggap MOU hanya semacam gentlement agreement sehingga kekuatan hukumnya tidak sekuat kontrak biasa.
sistem hukum di Indonesia tidak mengenal istilah gentlement agreement. Prisip hukum yang berlaku adalah agreement is agreement. Tidak peduli apapun istilah yang dipakai. Adal syarat-syarat suatu kontrak, antara lain seperti tersebut dalam pasal 1320 KUH Perdata sudah dipenui, maka perjanjian tersebut sudah mengikat secara hukum, walaupun dibuat dalam bentuk yang sangat sederhana sekalipun. Bahkan kontrak-kontrak lisanpun sama kekuatan mengikatnya. Hanya jika kontrak dibuat secara lisan, terdapat kesulitan dari segi evidensinya. Karenanya, hal ini sangat tidak dianjurkan.
Pasal 1320 KUH Perdata tersebut menentukan bahwa suatu kontrak sudah sah jika terpenuhi syarat (1) adanya kesepakatan kehendak, (2) cakapp berbuat (cukup umum, waras), (3) hal yang spesifik, (4) sebab yang diperbolehkan. Jika keempat syarat tersebut sudah dipenuhi, maka kontrak sudah sah dan mengikat secara hukum. Tidak peduli apapun nama yang diberikan kontrak yang bersangkutan. Apakah namanya agreement, contract, atau cuma MOU saja. Dalam praktek, untuk menghindari keragu-raguan dari kekuatan hukum suatu MOU, sering juga dihindari pemakaian nama MOU, tetapi memakai nama netral seperti cooperation Agreement atau Agreement saja.
Dalam uraian di atas terlihat banyak persyaratan diperlakukan bagi seorang lawyer untuk dapat menangani suatu kontrak bisnis. Itu sebabnya sangat sedikit lawyer yang benar-benar dapat menyusun/negosiasi atau meriview kontrak, terutama yang bersifat Internasional, yang banyak berkeliaran adalah mereka yang mengaku dirinya Business lawyer, padahal sama sekali tidak mengerti seluk beluk kontrak dan negosiasi.

E. Pemakaian Bahasa Dalam Kontrak
Bahasa kontrak dapat dilihat dari dua segi, yaitu bahasa kotrak notaris dan bahasa kontrak bawah tangan. Untuk bahasa kontrak notaris, yang khas, antara lain, adanya bagian-bagian kontrak seperti bagian komparasi atau penutup yang dibuat dalam bahasa yang tidak berjalan mulus. Hal ini disebabkan banyak dari bahasa tersebut merupakan terjemahan bahasa Belanda. Seyogyanya bahasa yang baku tersebut dapat disesuaikan dengan bahasa Indonesia yang lebih baik dan benar.
Selanjutnya akan di telaah bahasa kontrak yang berlaku baik kontrak notaries atau bukan, dengan mengambil contoh kontrak bawah tangan tentang Perjanjian Sewa Beli. Beberapa karakteristik dari bahasa kontrak dapat disebutkan, antara lain:
1. Berlebihan
Sering bahasa kontrak itu terlalu panjang dan berbelit-belit, sehingga terkesan berlebihan. Sampai batas tertentu, hal itu masih bisa diterima, karena memang tidak bisa dielakkan. Tapi, bila tidak mempunyai tujuan khusus atau tujuannya agar kontrak tersebut terkesan canggih, hal demikian sebaiknya dihindari. Bahasa yang redundant ini dipakai dalam kontrak, antara lain, dengan alasan sebagai berikut:
a. Mempertegas atau memperinci makana dari kalimat yang bersangkutan. Misalnya, terdapat frase …untuk dan atas nama dirinya sendiri. Dalam hal ini diperbedakan antara untuk dirinya sendiri dan atas nama dirinya sendiri karena kemungkinan ada kasus seorang bertindak atas nama sendiri tapi untuk kepentingan orang lain. Karena itu, sudah menjadi bahasa baku dalam kontrak untuk menggabung kedua penggalan kalimat tersebut menjadi “untuk dan atas nama dirinya sendiri”.
b. Berfungsi sebagai double cover. Kalimat berlebihan sering juga dipakai dalam kontrak untuk memberi sebanyak mungkin perlindungan kepada para pihak, ibarat pemakaian double cover dalam tinju. Contohnya, diintroduksikannya pranata hukum kuasa mutlak yang diberikan oleh pembeli kepada penjual. Terlepas dari status hukum kuasa mutlak yang masih dalam perdebatan, dalam konteks perjanjian sewa beli, pemberian kuasa oleh pembeli kepada penjual jelas berlebihan. Sebab seperti juga disebutkan dalam kontrak bersangkutan, slama pembeli belum melunasi semua harga cicilan, benda tersebut secara hukum masih teteap milik penjual, sehingga tidak memerlukan surat kuasa dari (pembeli) yang belum menjadi miliknya. Yang diperlukan hanyalah sekadar “izin” saja dari pembeli yang memang berkuasa atas benda tersebut. Bila perlu izin tersebut tidak boleh ditahan oleh pembeli. Jadi mutlak harus diberikan.Tapi, dengan izin yang dirasakan belum kuat bagi penjual. Karena itu, diintroduksikan pranata kuasa mutlak. Untuk kepentingan perlindungan para pihak, dalam hal ini pihak penjual, tentu walaupun berlebihan, hal tersebut bermanfaat digunakan.

2. Pilihan Kata Menggigit
Berbeda dengan bahasa ilmiah yan gcenderung datar, pilihan kata dalam kontrak cenderung tegas, ekstrem, bahkan bombastis. Hal ini dilakukan agar tertutup kemungkinan penafsiran macam-macam dari kata tersebut, sehingga merugikan salah satu pihak. Sejauh dapat dipertanggungjawabkan dari segi pengertiannya, hal tersebut mestinya dapat di pertahankan. Contohnya, pemakaian kata “mutlak” dalam kaliat : … mutlak sebagai ganti rugi…, atau “semata-mata” dalam …berhak sematamata menurut pertimbangannya sendiri.

3. Acuan Yang Jelas
Agar tidak timbul penafsiran yang ambisius, maka setiap kata yang punyak acuan ke kata/kalimat lain harus jelas kata tersebut merefer kemana. Dalam hal ini, di dalam kontrak sering muncul dalam tiga hal:
a. kata ganti
Di dalam kontrak, dalam banyak hal, pemakaian kata ganti dielakkan, disangsikan akan merefer ke kata/kalimat lain selain dari yang dimaksudkan semula. Karena itu, dalam kontrak jarang kita temukan kata-kata “dia”, “nya”, dan lain-lain.
b. Kata sambung
Agar jelas acuannya, sering dalam kontrak pemakaian kata sambung tertentu terasa aneh. Sangat jarang, misalnya, di gunakan kata “yang mana”, ”di mana”, “dengan nama”, dan sebagainya. Contoh, “…dari jumlah uang…, jumlah uang mana sebagai… frase jumlah uang mana dalam kalimat tersebut menurut bahasa Indonesia biasa dapat diganti dengan “di mana” atau “yang mana” tapi tidak cocok untuk bahasa kontrak.
c. Kata acuan lainnya
Selain dari kata ganti dan kata sambung, terdapat kata acuan lain yang jarang digunakan dalam kontrak, atau meskipun digunakan, terdapat kata acuan lain yang jarang digunakan dalam kontrak. Atau, kalaupun digunakan, ditempatkan bersama-sama dengan petunjuk lainnya agar jelas merefer ke mana. Kerena itu, dalm kontrak jarang dipergunakan kata-kata tersebut, tersebut di atas, karena itu, karenanya, dan sebagainya, kecuali bersama-sama dengan petunjuk lain. Contoh, dipakai frase “… sepeti diatur dalam Pasal 8 di bawah ini”. Tidak , misalnya, digunakan saja frase ”seperti tersebut di bawah ini” atau “ seperti akan disebut selanjutnya”. jika di dalam kontrak digunakan kata “tersebut”, maka mesti dipertegas sehingga menjadi, misalnya ” tersebut dalam pasal berapa”

4. Bahasa Terjemahan
Di samping dalam bagian tertentu dari akta notaris yang terasa sekali terjemahannya dari bahasa Belanda, dalam materi kontrak (notarial atau bukan) terasa ada kata-kata yang merupakan terjemahan, umumnya dari bahasa Inggris. Bahasa terjemahan tersebut kadang memang diperlukan. Biasanya karena masih belum ada padanannya yang baku dalam bahasa kontrak Indonesia.
Di samping itu sering terdapat kata-kata dalam bahasa inggris yang sangat terkait dengan sistem hukum Anglo-saxon, sehingga tidak relevan untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Contoh , kata-kata …terlebih dulu menerangkan…(bagian pembukaan) adalah merupakan terjemahan dari bahasa Inggris kuno witnesseth. Kadang-kadang diterjemahkan pula menjadi mukaddimah atau pendahuluan. Tapi, kata-kata Inggris seperti in witness whereof atau signed sealed and deliver yang sering dimuat di akhir kontrak yang berasal dari Negara Anglo-saxon, kiranya sama sekali tidak diperlukan sehingga tidak perlu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

5. Istilah khusus dalam hukum/kontrak
Banyak juga kata-kata yang khusus dipakai dalam hukum/kontrak tapi jarang dipergunakan dalam bahasa Indonesia sehari-hari.
Contoh frase “memelihara mesin sebagai kepala rumah tangga yang baik”. Istilah tersebut sudah lazim ditemukan dalam dunia hukum, sehingga tidak dapat dielakkan dalam kontrak. Contoh lain adalah kata force majeure, wanprestasi, dan sebagainya.

6. Mempermudah operasionalisasi kotrak
Hal lain yang penting diperhatikan adalah bagaimana agar pelaksanaan kontrak ikmudian hari tidak mendapat benturan yang berarti, baik karena penggunaan bahasa yang tidak benar ataupun karena adanya konsep tertentu yang tidak jelas.
Contoh adanya ketentuan tentang “denda keterlambatan” bagi para pihak yang terlambat melaksanakan prestasinya. Sebenarnya yang dimaksud dengan “denda” disini tidak lain dari “ganti rugi” saja. Hanya agar perhitungan ganti rugi jelas adanya dan tidak menimbulkan disputes di kemudian hari, maka ditetapkan ganti rugi berupa fixed amount untuk tiap hari keterlambatannya. Ini dalam kontrak dagang disebut “denda”. Dalam hukum Anglo-saxon hal demikian sering disebut dengan liquidated damages.

7. Mencari pedoman walaupun kabur
Kelaziman lain dalam kontrak adalah menggunakan istilah-istilah yang lbih merupakan kompromi dari dua kepentingan yang berbeda. Biasanya istilah tersebut mempunyai makna yang kabur. Kadang istilah demikian dipergunakan sebagai patokan belaka. Tentunya kalau bisa dicari/cara yang leibh konkret dan jelas ketimbang kata yang kabur seperti itu jauh lebih baik. Walaupun harus diakui bahwa hal itu tidakk selamanya dapat dilakukan.
Contoh, pemakaian kata “yang sepantasnya”. Tentunya masih bisa dipertanyakan, sejauh mana yang dikatakan pantas. Dalam kontrak perjanjian sewa beli tersebut pihak penjuallah yang menentukan berpa pemotongan harga dalam hal pembayaran lebih cepat dari semestinya. Tapi, untuk menghindari kemungkinan penetapan besarnya pemotongan sepihak yang rendah, dipakailah kata “sepantasnya”.
Sesunguhpun begitu, tetap dianjurkan agar sedapat mungkin dibuat lebih kokret. Misalnya, pengertian “sepantasnya” tersebut diganti dengan “sekian persen”. Kata lain yang berkonotasi serupa adalah selayaknya, sepatutnya, masuk akal dan sebagainya. Atau, dalam bahasa Inggris, misalnya , kata reasonable, in good faith, properly, ordinary wear and tear, dan sebagainya.

8. Agar lebih khidmat atau menyeramkan
Agar para pihak selalu menjunjung tinggi setiap janji yang telah dibuat, maka ada usaha untuk membuat kesan seolah-olah perjanjian tersebut mesti dihormati atau ditakuti.
Contoh, frase “telah ditandatangani dengan materai yang cukup” ungkapan dengan materai yang cukup mestinya tidak perlu disebutkan karena materainya jelas terlihat ditempel pada perjanjian tersebut. Dalam hal ini tujuan penyebutan itu adalah agar para pihak lebih menghormati atau lebih takut serta tidak meragukan keabsahan kontrak yang bersangkutan. Ini diharapkan agar para pihak tidak mudah melakukan wanprestasi terhadap kontrak yang bersangkutan. Demikian juga dengan kata-kata “bertanggung jawab secara hukum”, “bertanggung jawab penuh”, ataupun adanya usaha untuk meregistrasi di depan notaris dengan stempel notaris berwarna merah dan berlambang burung garuda.

PROSES GO PUBLIC PERUSAHAAN

A. Pendahuluan
Ketika suatu perusahaan ingin ganti baju dari suatu perusahaan tertutup (close corporation) kepada perusahaan Go Publik (Public Corporation), sederet prosedur harus dilalui dan sejumlah dana mesti disisihkan untuk keperluan tersebut.
Menurut Pasal 1 angka 22 dari Undang-Undang Pasar Modal No.8 Tahun 1995, yang merupakan acuan utama kegiatan pasar modal, perusahaan publik adalah perseroan yang sahamnya telah dimiliki sekurang-kurangnya oleh 300 (tiga ratus) pemegang saham dan memiliki modal setor sekurang-kurangnya Rp 3.000.000.000 (tiga miliar rupiah) atau suatu jumlah pemegang saham dan modal disetor yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Jika suatu perusahaan akan go public, haruslah siap mengambil resiko, disamping siap pula menikmati manfaat daripadanya. Diantara keuntungan dari perusahaan yang go public adalah :
1. Masuknya fresh money yang melimpah
2. Net worth perusahaan akan lebih baik sehingga alternatif perolehan dana selanjutnya akan lebih banyak. Misalnya lewat right issue.
3. Memungkinkan ekspansi perusahaan lewat akuisisi tanpa harus membayar cahs, tetapi lewat pengisuan saham.
4. Perusahaan akan lebih terkenal, dengan prestise yang tinggi, sehingga operasi bisnisnya lebih baik dan merketnya akan lebih meluas.
5. Likuidasi perusahaan dan saham akan lebih baik, karena setiap saat perusahaan/pemegang saham dapat memperjualbelikan sahamnya.
6. Lebih menjamin kelestarian perusahaan, karena terhindar dari mismanagement. Sebab, setiap aktivitas yang menyimpang dalam suatu perusahaan publik, langsung disorot oleh publik.

Disamping keuntungan terdapat juga kerugiannya yang mesti diwanti-wanti oleh perusahaan yang akan go publik, walaupun kerugian tersebut secara umum jauh tidak berarti dibanding dengan keuntungan yang diperoleh. Kerugian-kerugian go publik antara lain :
1. Keharusan membuka semua informasi dapat menguntungkan kompetitor dan sangat mengekang pihak pemilik ataupun pengurus/komisaris.
2. Pemilik bisnis kehilangan fleksibilitasnya dalam berbisnis, karena adanya keharusan mendapat izin tertentu dari pemegang saham, termasuk pemegang saham publik atau laporan atau izin dari otoritas tertentu terhadap tindakan tertentu.
3. Beberapa alternatif bisnis bisa dilepas oleh perusahaan karena ditakuti akan berdampak negatif terhadap fluktuasi harga di pasar saham.
4. Masalah administrasi dan dana tambahan yang mesti dikeluarkan terutama pada proses go publik.
5. Kehilangan control dan dari pemegang saham sendiri, terutama jika porsi saham yang dijual terlalu besar.
6. Kecenderungan pemberian deviden yang besar, sehingga pembayaran pajak tinggi dan investment dari perusahaan mengecil.

Sementara itu, banyak pihak terlibat ketika suatu perusahaan melangkah go public. Ada notaris, akuntansi, appraisal, underwriter, konsultan hukum dan lain-lain. Mereka terlibat sesuai bidangnya masing-masing dengan tanggung jawabnya masing-masing pula. Tetapi adalah juga reasonable, jika dalam hal-hal tertentu, satu atau dua diantara mereka bertanggung jawab bersama-sama.
Disamping itu, pmerintah juga ikut campur secara cukup dalam terhadap perusahan baik pada proses go public maupun setelah menjadi perushaan public. Hal ini disebabkan karena suatu perusahaan public menyangkut kepentingan mesyarakat investor yang meluas bahkan ikut menjadi andil terhadap baik tidaknya kerugian ekonomi secara makro. Karena itu, sebagai pemerintah dalam Negara social welfare, pmerintahan bertindak untuk dan atas nama masyarakat untuk masuk dan terlibat dalam masalah-masalah yang menyangkut kepentingan masyarakat sacara luas.

B. Restrukturisasi Anggaran Dasar
Sebelum suatu perusahaan go public, anggaran dasar perusahaan harus direkstrukturisasi terlebih dahulu sehingga sesuai dengan persyaratan perusahaan go publik. Maka perlu dikawinkan di antara ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
a. ketentuan dalam KUHD tentang PT
b. Petunjuk-petunjuk dari Departemen kehakiman tentang akta pendirian PT
c. Ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan pasar modal
d. kebiasaan dalam praktek PT dan praktek pasar modal

Diantara yang acapkali direkstrukturisasi adalah masalah kapitalisasi perusahaan. Untuk bisa go public tentunya modal perusahaan harus relatif besar, mengingat akan tidak efisien jika saham yang dijual di bursa nanti dalam jumlah kecil. Untuk itu dilakukan peningkatan modal dasar perusahaan. Menurut Undang-Undang Pasar Modal No. 8 Tahun 1995, modal disetor dari perusahaan publik tidak boleh kurang dari Rp 3.000.000.000,-, disamping itu, telah menjadi standar dari anggaran dasar PT go public bahwa issud shares haruslah sama dengan paid up capital. Maksudnya tidak boleh ada saham yang ditempatkan yang tidak disetor penuh. Sehingga struktur modalnya menjadi modal dasar yang terdiri dari saham portepel dan saham setor. Nilai nominal saham juga harus diubah sehingga sesuai denga ketentuan pasar modal, yaitu Rp 1.000,- atau Rp 500,- setiap nilai nominal saham PT biasa yang biasanya jauh diatas Rp 1.000,- atau Rp 500,- harus diturunkan terlebih dahulu, sehingga jumlah lembar sahamnya menjadi membengkak. Walaupun sudah semakin terasa bahwa nilai Rp 1.000,- atau Rp 500.- itu terlalu kecil untuk ukuran sekarang, sehingga menjadi tidak efisien.
Personalia dalam perusahaan juga biasanya menjadi titik focus dalam restrukturisasi anggaran dasar. Mereka yang mempuyai latar belakang dan moral yang “cacat” mesti telebih dahulu disingkirkan. Hal tersebut dilakukan disamping demi menjaga image perusahaan, juga agar proses go publiknya lancar. Menyingkirkan direktur, komisaris atau personalia lainnya tidak terlalu sulit karena dapat dilakukan dengan RUPS dan PHK. Sungguhpun mempunyai resiko-resiko tertentu, terutama jika yang bersangkutan tidak mau menerimanya dan memberikan reaksi. Yang paling krusial adalah jika yang akan dikeluarkan dari perusahaan tersebut adalah salah satu atau lebih pemegang saham.

C. Posisi Hukum dari Prospektus
Secara hukum, kedudukan prospectus sama dengan kedudukan iklan dari suatu produk, dimana tidak saja isinya harus benar, tetapi juga tidak boleh misleading . Sunguhpun sistem perjanjian kita kurang dapat menerima propektus/iklan sebagai suatu “offer” dari perjanjian, paling tidak pihak yang terkait dengan propektus telah melakukan suatu perbuatan yang pada gilirannya bisa menimbulkan kerugian bagi orang lain. Dus, pasal “catch all” 1365 BW dapat diterapkan karena telah merupakan onrechtmatige daad. Misleading prospectus itu dapt berupa (1) memberikan keterangan yang tidak benar,(2) memberikan keterangan yang setengah benar, dan (3) tidak memberikan keterangan terhadap fakta materiil.

D. Masalah Yuridis Yang Sering Terjadi Dalam Praktek
Terkadang pihak emiten sering mengabaikan aspek yuridis yang ada dalam perusahaan, karena sebelum go public hal yang menjadi masalah tersebut kelihatannya wajar-wajar saja. Padahal setiap masalahnya cukup marginal tetapi membutuhkan proses dan waktu yang lama untuk dapat mengatasinya. Beberapa masalah yuridis yang sering mengganjal dalam praktek adalah yang berhubungan dengan (1) keabsahan pendirian perseroan dan permodalan (2). Penguasaan Atas Asset (3) Perkara-Perkara di Pengadilan (4) Izin-Izin dan (5) Kewajiban Lainnya.

ad 1. Keabsahan Pendirian Perusahaan Dan Permodalan
Cukup sering terjadi ketidakberesan dari akta-akta yang dipunyai oleh suatu PT yang akan go public, sehingga perlu dibereskan lebih dahulu. Misalnya ada akta tentang perubahan anggaran dasar tetapi tidak disampai dip roses k Departemen Keakiman. Menurut ketentuan, setiap terjadi perubahan anggaran dasar yang merupakan perubahan anggaran dasar dalam arti sebenarnya, perlu mendapat izin dari Menteri Kehakiman. Jika hal ini terjadi, tentu izin tersebut harus terlebih dahulu diurus, dan untuk itu memerlukan waktu. Atau pernah pula kejadian pengikatan saham terjadi beberapa kali dalam satu PT tetapi terdapat missing link.

ad 2. Penguasaan Atas Asset
Harus pula jelas relasi yuridis antar perusahaan dengan asset-asetnya. Misalnya jenis haknya apa, dan didukung oleh dokumntasinya yang benar. Karena tingkatan hak itu bermacam-macam, maka tidak semua jenis hak dapat menjadi alas hukum yang kuat terhadap asset perusahaan. Sering pula terjadi suatu asset, misalnya tanah, dimaksudkan sebagai haknya perusahaan, tetapi secara legal tidak demikian. Misalnya ada secara defacto asset perusahaan tetapi di seertifikat masih merupakan hak milik para pemegang saham atau pengurusnya. Dalam praktek fakta ini sering diabaikan.

ad 3. Perkara-Perkara di Pengadilan
Jika ada perkara di pengadilan atau Arbitrase, harus diumumkan kepada public. Bahkan juga harus dianalisis apakah perkara tersebut material atau tidak terhadap eksistensi perusahaan. Dari perundang-undangan yang ada, ada kesan bahwa yang diwajibkan hanya disclosure kepada public. Artinya, ada perkara atau tidak, material atau tidak, asal telah dilakukan disclosure , go public tetap jalan. Terserah apakah nanti mau beli saham atau tidak. Padahal seyogyanya, jika perusahaan mempunyai masalah yangm material, maka tidak pantas go public sehingga izin go public mestinya tidak boleh diberikan. Bahkan konsultan hukum mestinya jangan bersedia mendampingi perusahaan untuk go public jika masalahnya seserius itu. Bahkan tidak hanya perkara di pengadilan/arbitrase, masalah-masalah yang potensial untuk jadi dispute atau dispute/perilaku yang potensial masuk pengadilan pun mestinya harus di disclose.

ad 4. Izin-Izin Dan Kewajiban Lainya
Banyak izin atau kewajiban lain dari perusahaan mesti dituntaskan atau setidak-tidaknya dalam proses penuntasan ketika perusahaan tersebut dalam proses go public. Misalnya sudahkah ada kesepakatan kerja bersama dengan pekerjanya, asuransi, izin Undang-Undang Gangguan, Koperasi karyawan, KTP pengurus/komisaris yang masih berlaku dan bukti kewarganegaraan, wajib daftar perusahaan, NPWP, wajib AMDAL, koperasi, pembayaran pajak secara benar, izin lokasi, IMB, dan sebagainya. Jika diantara kewajiban tersebut yang belum diurus pada saat go public, minimal kewajiban tersebut sudah diproses pengurusannya secara serius. Adalah bijaksana jika semua hal-hal yuridis yang diperkirakan mengganjal apalagi jika penanggulannya memakan waktu lama, hendaknya dituntaskan terlebih dahulu jauh-jauh hari sebelum perusahaan yang bersangkutan go public.

E. Penutup
Masih banyak hal-hal yang mnyangkut dengan proses go public dari suatu perusahaan belum diatur oleh peraturan perundang-undangan di Indonesia. Ini bukan saja akan mempersulit para pelaku yang terlibat dalam proses go public tersebut, bahkan jug adapt membwa resiko baik terhadap para pelaku itu sendiri, terhadap perusahaan yang bersangkutan, terhadap pemerintah, bahkan rakyat juga ikut menanggung beban. Disamping itu praktek go public di Negara kita juga masih miskin pengalaman. Dan terutama dari segi yuridis, terkesan melempem. Dan, yurispudensi juga tidak dapat menolongnya berhubung sangat jarang kasus berkenaan dengan proses go public yang sempat sampai ke pengadilan. Dalam keadaan seperti ini belajar dari Negara lain tentu sangat dianjurkan.

KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PERLINDUNGAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL

A. Kebijakan Dan Kesiapan Indonesia Di Bidang Hak Kekayaan Intelektual
Dalam dasawarsa terakhir ini, telah semakin nyata bahwa pembangunan harus bersandarkan pada industri yang menghasilkan nilai tambah yang tinggi. Kesepakatan Indonesia untuk merealisasikan gagasan mengenai ASEAN Free Trade Area (AFTA) serta keikutsertaan Indonesia sebagai anggota World Trade Organization (WTO) dan Asia Pacific Economic Cooperation (APEC), telah menunjukan keseriusan Pemerintah dalam mendukung sistem perekonomian yang bebas/terbuka, dan secara tidak langsung memacu perusahaanperusahaan di Indonesia untuk lebih meningkatkan daya saingnya.
Semakin derasnya arus perdagangan bebas, yang menuntut makin tingginya kualitas produk yang dihasilkan terbuti semakin memacu pekembangan teknologi yang mendukung kebutuhan tersebut. Seiring dengan hal tersebut, pentingnya peranan hak kekayaan intelektual dalam mendukung perkembangan teknologi kiranya telah semakin disadari. Hal ini tercermin dari tingginya jumlah permohonan hak cipta, paten, dan merek, serta cukup banyaknya permohonan desain industri yang diajukan kepada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.
Pemerintah sangat menyadari bahwa implementasi sistem hak kekayaan intelektual merupakan suatu tugas besar. Terlebih lagi dengan keikutsertaan Indonesia sebagai anggota WTO dengan konsekuensi melaksanakan ketentuan Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (Persetujuan TRIPS), sesuai dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia).Berdasarkan pengalaman selama ini, peran serta berbagai instansi dan lembaga, baik dari bidang pemerintahan maupun dari bidang swasta, serta koordinasi yang baik di antara senua pihak merupakan hal yang mutlak diperlukan guna mencapai hasil pelaksanaan sistem hak kekayaan intelektual yang efektif. 
Pelaksanaan sistem hak kekayaan intelektual yang baik bukan saja memerlukan peraturan perundang-undangan di bidang hak kekayaan ntelektual yang tepat, tetapi perlu pula didukung oleh administrasi, penegakan hukum serta program sosialisasi yang optimal tentang hak kekayaan intelektual.

B. Peraturan Perundang-undangan dan Konvensi-konvensi International.
Pada saat ini Indonesia telah memiliki perangkat peraturan perundang-undangan di bidang hak kekayaan intelektual yang cukup memadai dan tidak bertentangan dengan ketentuan sebagaimana yang dipersyaratkan dalam Persetujuan TRIPS. Peraturan perundangundangan dimaksud mencakup :
1. Undang-undang No. 12 Tahun 1997 tentang Perubahan Undangundang No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 7 tahun 1987 (UU Hak Cipta); dalam waktu dekat, Undang-undang ini akan direvisi untuk mengakomodasikan perkembangan mutakhir dibidang hak cipta;
2. Undang-undang No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman;
3. Undang-undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang;
4. Undang-undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri;
5. Undang-undang No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu;
6. Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten (UU Paten); dan
7. Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek;

Di Indonesia, sistem perlindungan merek telah dimulai sejak tahun 1961, sistem perlindungan hak cipta dimulai sejak tahun 1982, sedangkan sistem paten baru dimulai sejak tahun 1991. Sebelum disempurnakan melalui peraturan perundang-undangan yang ditetapkan pada tahun 2001, beberapa waktu yang lalu (tahun 1997) terhadap ketiga peraturan perundang-undangan tersebut telah dilakukan perubahan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan dan Persetujuan TRIPS. Sebagaimana dimaklumi, Persetujuan TRIPS merupakan kesepakatan internasional yang paling comprehensif, dan merupakan suatu perpaduan yang unik dari prinsip-prinsip dasar GATT – General Agreement on Tariff and Trade (khususnya tentang national treatment dan most-favoured nation) dengan ketentuan-ketentuan substantif dari kesepakatan-kesepakatan internasional bidang hak kekayaan intelektual, antara lain Paris Convention for the protection of industrial Property dan Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works.
Sejalan dengan perubahan berbagai undang-undang tersebut di atas, Indonesia juga telah meratifikasi 5 konvensi internasional di bidang hak kekayaan intelektual, yaitu sebagai berikut :
  • Paris Convention for the Protection of Industrial Property dan Convention Establishing the World Intellectual Property Organization (Keputusan Presiden No. 15 tahun 1997 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden No. 24 Tahun 1979);
  • Patent Cooperation Treaty (PCT) and Regulation under the PCT (Keputusan Presiden No. 16 Tahun 1997);
  • Trademark Law Treaty (Keputusan Preiden No. 17 Tahun 1997);
  • Berne Convention for the Protection of Literary and Artisctic Works (Keputusan Presiden No. 18 Tahun 1997);
  • WIPO Copyright Treaty (Keputusan Presiden No. 19 Tahun 1997);

C. Administrasi Hak Kekayaan Intelektual
Secara institusional, pada saat ini telah ada Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual yang tugas dan fungsi utamanya adalah menyelenggarakan administrasi hak cipta paten, merek, desain industri, dan desain tata letak sirkuit terpadu. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (semula disebut Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek) dibentuk pada thaun 1998. Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual yang baik sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat, baik yang berasal dari dunia industri dan perdagangan, maupun dari institusi yang bergerak di bidang penelitian dan pengembangan.
Sejauh ini pegawai di lingkungan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual berjumlah 450 orang. Dibandingkan dengan yang ada di beberapa negara yang telah maju. Direktorat Jendral HaKI merupakan institusi yang relatif masih muda/naru. Oleh sebab itu, dapat dimaklumi seandainya dalam pelaksanaan tugasnya, masih dijumpai berbagai macam kendala. Walaupun demikian, melalui berbagai program pelatihan yang intensif telah ada beberapa staf yang memiliki pengetahuan yang cukup memadai guna mendukung peningkatan sistem hak kekayaan intlektual sebagaimana diharapkan.
Perlu pula kiranya dikemukakan bahwa dalam rangka lebih meningkatkan pelayanan dan kemudahan bagi masyarakat, sejak januari 2000, pengajuan permohonan hak kekayaan intelektual dapat dilakukan di Kantor-kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Selanjutnya, Kantor-kantor Wilayah akan menyampaikan permohonan tersebut kepada Direktorat Jenderal HaKI untuk diproses ebih lanjut. Di samping itu, pada saat ini, dengan bantuan World Bank sedang dilaksanakan penyempurnaan sistem otomasi di Direktorat Jenderal HaKI yang diharapkan dapat lebih menunjang proses administrasi dimaksud.
Tidak sebagaimana bidang kekayaan intelektual lain yang administrasinya dikelola oleh Direktorat Jenderal HaKI, bidang varietas tanaman ditangani oleh Departemen Pertanian.

D. Penegakan Hukum Hak Kekayaan Intelektual
Sebagaimana telah dikemukakan diatas, keterlibatan berbagai pihak secara terkoordinasi dan intensif sangat diperlukan untuk menjamin terlaksananya sistem hak kekayaan intelektual yang diharapkan. Sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 189 Tahun 1998, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia cq. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual telah ditugasi melakukan koordinasi dengan semua instansi Pemerintah yang berkompeten mengenai segala kegiatan dan permasalahan di bidang hak kekayaan intelektual.

E. Peningkatan Kesadaran Masyarakat
Secara bertahap dan berkesinambungan telah diupayakan sosialisasi mengenai peran hak kekayaan intelektual di berbagai aspek dalam kehidupan sehari-hari seperti : kegiatan perindustrian dan perdagangan, investasi, kegiatan penelitian dan pengembangan, dan sebagainya. Berbagai lapisan masyarakat pun telah dilibatkan dalam kegiatan ini.
Tumbuhnya berbagai sentra hak kekayaan intelektual, klinik hak kekayaan intelektual, dan pusat hak kekayaan intelektual lain, baik yang dimotori oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Pendidikan Nasional, Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi, Perguruan-perguruan Tinggi dan cukup banyaknya permintaan dari masyarakat yang diajukan kepada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual menunjukan telah tumbuhnya kesadaran masyarakat di bidang hak kekayaan intelektual. Di samping itu, apresiasi yang positif dari anggota masyarakat juga terlihat dalam wujud pendaftran karya-karya intelektual mereka, seperti terekam dalam jumlah pendaftaran yang sudah disinggung di atas.

F. Kebijaksanaan Pemerintah Dalam Melaksanakan Beberapa Ketentuan Dalam Persetujuan TRIPS
Pada intinya semua peraturan perundang-undangan di bidang hak kekayaan intelektual telah disusun dengan memperhatikan kepentingan masyarakat dan selaras dengan ketentuan minimum sebagaimana yang dipersyaratkan oleh Persetujuan TRIPS. Walaupun demikian, berikut ini dikemukakan beberapa di antara ketentuan dalam Persetujuan TRIPS yang kiranya memerlukan penelahaan lebih lanjut. Hal itu pada saatnya akan disampaikan oleh pejabat yang akan kami tugasi untuk itu.

G. Perlindungan hak kekayaan intelektual di bidang bioteknologi.
Kita maklumi bersama bahwa dalam beberapa dasawarsa terakhir peranan bidang ilmu yang baru ini (bioteknologi) dalam kehidupan sehari-hari sangatlah besar. Sebagai penerapan proses biologi untuk membuat produk yang berguna bagi masyarakat (seperti : makanan dan minuman, obat-obatanm dan komposisi/bahan kimia), pemanfaatan bioteknologi secara tepat terbukti dapat meningkatkan : kesehatan masyarakat, mencegah penyebarluasan penyakit dan hama, efisiensi dan kualitas produk hasil pertanian, mutu hasil industri, dan kualitas lingkungan hidup melalui produksi gas dan limbah industri yang diinginkan.
Walaupun demikian, tidak sedikit pula pendapat dan hasil pengamatan yang menyangsikan atau bakan kurang mendukung upaya pengembangan lebih lanjut dari teknologi baru tersebut yang di banyak negara justru berkembang secara pesat. Topik Utama yang selalu dan masih terus dipertanyakan (dipertentangkan) di antaranya adalah :
 Jaminan keamanan produk hasil rekayasa genetik (penerapan bioteknologi) terhadap linkungan dan terhadap mereka yang mengkonsumsi/menggunakannya.
 Kepatutannya terhadap moralitas agama, etika, dan kesusilaan;dan
 Manfaat dan risiko penggunaannya

Berbagai forum baik di tingkat nasional maupun internasional telah menelaah mengenai hal-hal tersebut. Dalam kaitan dengan hak kekayaan intelektual, dengan pertimbangan tidak sedikitnya invensi yang dapat dihasilkan oleh bidang ilmu baru ini, sewajarnya bila sistem hak kekayaan intelektual memberi perlindungan yang memadai. Article 27.3. Persetujuan TRIPS menyatakan bahwa :
Members may also exlude from patentability :
(a) Diagnostic, therapeutic and surgical methods for treatment of human or animal;
(b) Plants and animal other than micro organism, and essentially biological processes for the production of plants or animal other than non-biological and microbiological processes. However, Members shall provide for the protection of plant varieties either by patents or by an effective sui generis system or by any combination thereof. The provisions of this paragraph shall be reviewed four years after the date of entry into force of the WTO Agreement.

Sementara itu, UU Nomor 14 tahun 2001 tentang Paten berbunyi :
Paten tidak diberikan untuk invensi tentang :
a. Proses atau produk yang pengumuman dan penggunaan atau pelaksanaannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku moralitas agama, ketertiban umum atau kesusilaan;
b. Metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan atau pembedahan yang diterapkan terhadap manusia dan atau hewan;
c. Teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika; atau
d. i. semua mahluk hidup, kecuali jasad renik;
ii. proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan kecuali proses non-biologis atau proses mikrobiologis

Di samping itu, sebagaimana yang telah diuraikan di atas, berdasarkan UU nomor 29 Tahun 2000 Indonesia juga melindungi invensi mengenai varietas (baru) tanaman. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas jelaslah bahwa bentuk perlindungan hak kekayaan intelektual sebagaimana yang dipersyaratkan dalam Persetujuan TRIPS telah tersedia di Indonesia. Walaupun demikian, dapat dikemukakan mengenai adanya masukan dari sebagian negara anggota WTO agar ketentuan tersebut dapat lebih disempurnakan guna mendukung Ketentuan yang ditetapkan dalam Convention on Biological Diversity (CBD), yang oleh Indonesia telah diratifikasi melalui Undang-undang No. 5 Tahun 1994 tentang Ratifikasi Konvensi Keanekaregaman Hayati. Usulan yang diajukan adalah agar mencakup juga beberapa aspek penting sehubungan dengan akses sumber daya genetika (acces to genetic resources) dalam ketentuan pemberian paten misalnya : dengan menyebutkan asal-usul bahan/materi yang digunakan (source of origin), melampirkan bukti bahwa para peneliti sebelumnya telah memberitahukan secara memadai kepada pihak/otoritas yang berkompeten di tempat yang bersangkutan (prior informed consent), serta melengkapinya dengan kesepakatan pembagian hasil yang sepadan (benefit sharing agreement). Pendapat lain yang juga telah dimunculkan adalah untuk mengupayakan sistem perlindungan bagi traditional knowledge yang lebih memadai di luar sistem Hak kekayaan intelektual yang telah ada sekarang ini. World Intellectual Property Organization (WIPO) telah membentuk suatu Inter Governmental Committee on Intelectual Property and Genetic resources, Traditional Knowledge anf Folklore dengan tugas pokok berupaya untuk memperoleh solusi yang bijaksana mengenai permasalahan tersebut. Dalam sidangnya yang pertama pada bulan Mei 2001, Committee tersebut membahas 3 tema pokok yaitu :
 Access to genetic resources and benefit sharing;
 Protection or traditional knowledge, innovation and creativity; dan
 Protection of expression of folklore including handicrafts.

Dalam hal ini Pemerintah berpandangan untuk mendukung upaya yang telah dirintis oleh WIPO. Sebagai salah satu realisasi dukunan Pemerintah dalam hal ini, perlu kiranya disampaikan bahwa pada tanggal 17-19 Oktober 2001 dengan bekerjasama dengan WIPO, Pemerintah akan menyelenggarakan WIPO-Asia Pacific Symposium on the Protection of Intellectual Property Rights, Traditional Kowledge and Related Issues, di Yogyakarta. Kegiatan tersebut akan diikuti oleh wakil-wakil dari 26 negara di kawasan Asia Pasifik dan mengikutsertakan semua pihak yang berkompeten di dalam negri. Diharapkan dalam forum ini akan dapat disiapkan/disusun posisi negara-negara Asia Pasifik dalam menangani permasalahan tersebut. Di samping itu mengingat bidang ilmu (bioteknologi) yang relatif baru ini erat kaitannya dengan kemungkinan dihasilkannya jasad renik (micro-organisme) yang baru, perlu pula kiranya dikemukakan adanya isu yang berkembang pada akhir-akhir ini di dalam negri yang pada intinya menolak pematenan atas segala bentuk mahluk hidup. Padahal, sebagaimana dimaklumi, UU paten (pada pasal 7 huruf d) telah mengakomodasi usulan tersebut kecuali untuk invensi mengenai jasad renik. Sehubungan dengan hal ini beberapa pertimbangan yang telah dikaji dan diuraikan berikut ini dapat ditelaah lebih lanjut.
a) Sistem paten bertujuan untuk merangsang perkembangan teknologi dan munculnya ide dan gagasan baru, yang sudah tentu hanya dapat terjadi karena adanya ridha dan perkenan Tuhan Yang Maha Kuasa. Kurang bijaksanalah bila hal yang berguna bagi kesejahteraan manusia, justru dihambat kemungkinan pemberian penghargaan terhadapnya.
b) Mahluk hidup, pada dasarnya memang merupakan ciptaan-Nya. Walaupun demikian, atas kreativitas seseorang, maka khusus bagi jasad renik yang memenuhi kriteria paton (terutama persyaratan mengenai kebaruan, lankah inventif, dan dapat diterapkan dalam industri) selayaknya dapat diberi paten. Perlu kiranya diinformasikan bahwa ketiga persyaratan utama tersebut tidak mudah dipenuhi, dan bahwa pemberian paten tersebut merupakan penghargaan yang diberikan oleh negara atas kreativitas inventor yang bersangkutan. Kreativitas tersebut tidak sekadar memilah (screen) jasad renik tertentu dari sekumpulan jasad renik, melainkan memanipulasi dan menintervensi karakteristik tertentu yang diperoleh melalui proses/kegiatan pemilahan dianggap merupakan suatu discovery dan karena itu bukan merupakan invensi yang dapat diberi paten. Beberapa manfaat yang sangat dirasakan oleh masyarakat luas dengan pendayagunaan jasad renik atau dengan berhasil dibentuknya jasad renik baru diantaranya adalah :
- Jasad renik yang dapat mengkonsumsi minyak, yang bisa digunakan untuk mengatasi masalah tumpahan minyak di laut;
- Jasad renik yang dapat digunakan untuk menghasilkan
berbagai vaksin baru;
- Ragi yang digunakan untuk menghasilkan tempe pada temperatur rendah; dan sebagainya.

Sejak diberlakukannya UU Paten lama (UU No. 6 tahun 1989 tentang Paten) pada tahun 1991, permohonan paten dari masyarakat Indonesia mengenai jasad renik memang masih rendah. Namun, beberapa institusi seperti Departemen Pertanian cq. Badan Litbang, Institut Pertanian Bogor, Fakultas Pertanian – Universitas Pajajaran, dan Institut Teknologi bandung memandang tetap perlu adanya perlindungan paten bagi invensi mengenai (atau yang berkaitan dengan) jasad renik. Hal ini diperlukan untuk mengantisipasi dihasilkannya invensi mengenai (atau yang berkaitan dengan) jasad renik mengingat bahwa kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang tersebut telah gencar dilakukan.
c) Adanya kekhawatiran bahwa sistem paten dapat menyebabkan harga produk menjadi mahal. Yang jelas, melalui mekanisme pasar (termasuk kemungkinan memboikot pembeliannya, bila perlu), pengendalian mengenai masalah ini kiranya akan dapat dilakukan dengan efektif. Di samping itu, dalam UU Paten di samping adanya ketentuan tentang lisensi wajib, telah pula dicakup ketentuan mengenai dimungkinkannya ketentuan entang lisensi wajib, telah pula dicakup ketentuan mengenai dimungkinkannya pararel impor, serta diakomodasikannya ketentuan Bolar. Melalui ketentuan-ketentuan itu, kekhawatiran tersebut akan dapat diatasi.
d) Demikian pula, adanya kekhawatiran bahwa sistem paten dapat menyebabkan beredarnya produk yang membahayakan ingkungan merupakan argumentasi yang tidak benar. Tanpa adanya sistem paten pun, harus diakui cukup banyak peredaran produk yang membahayakan lingkungan. Oleh karena itu, menurut hormat kami, pengaturan mengenai masalah lingkungan perlu diatur secara tersendiri. Kurang tepat jika hal ini harus dimuat sekaligus dalam Undang-undang Paten. Disamping itu, UU Paten telah pula mengatur ketentuan yang memungkinkan diajukannya gugatan pembatalan terhadap paten yang dipandang tidak memenuhi persyaratan tertentu.
e) Sifat monopolistik sistem paten Sebagai bagian dari sistem hak kekayaan intelektual, dengan paten dimungkinkan adanya monopoli atas invensi yang merupakan miliknya. Walaupun demikian, Undang-undang Paten telah mengatur bahwa sifat ini tidak bersifat tak terbatas. Hal ini ercermin dengan adanya pengaturan mengenai jangka waktu perlindungan paten (selama 20 tahun dan tidak dapat diperpajang), lisensi wajib, pelaksanaan paten oleh Pemerintah, atau pembatalannya karena tidak dipenuhinya kewajiban tertentu.
f) Adanya pandangan bahwa sistem paten tidak propublik dan anti petani Melalui sistem paten, kreativitas seseorang diakui dan dihargai, dan karena itu, sepantasnya apabila kepada inventor yang bersangkutan diberikan imbalan (berupa royalti) yang sepadan atas segala jerih payah, waktu, dan biaya yang telah dikeluarkannya untuk menghasilkan suatu invensi. Demikian pula, siapa pun yang akan memanfaatkan/menggunakan invensi itu sewajarnya untuk membayar sedikit lebih mahal dibandingkan dengan produk yang telah ada sebelumnya mengingat adanya kelebihan-kelebihan tertentu pada invensi tersebut. Tidak ada ketentuan yang mengharuskan pihak ketiga atau siapa pun untuk menggunakan atau memanfaatkan invensi itu. Bagi pihak lain, tetap terbuka kemungkinan untuk menggunakan produk sejenis yang telah ada (sehingga perlu membayar lebih mahal). Justru sebaliknya, sistem paten membuka kemungkinan bagi siapa pun untuk meningkatkan lebih lanjut invensi tersebut, sehingga invensi yang semula perlu diproduksi dengan biaya yang cukup mahal dapat dibuat dengan cara lain yang menekan ongkos produksinya. Lebih dari itu,adanya kemungkinan diajukannya lisensi wajib atau pelaksanaan paten oleh Pemerintah dalam sistem paten, menyebabkan argumentasi itu tidak tepat, bersifat tendensius, dan menyiratkan kurang dipahaminya sistem paten secara menyeluruh.
g) Akses terhadap sumber daya genetika dan pembagian keuntungan yang adil. Ketentuan mengenai akses terhadap sumber daya genetika dan kemungkinan pembagian keuntungan yang adil bagi masyarakat yang berlokasi di sekitar sumber itu, sebagaimana digariskan dalam CBD memang tidak diatur dalam Undang-undang Paten. Pertimbangan utamanya adalah karena ketentuan mengenai hal tesebut seyogyanya tidak hanya mengatur invensi terhadap sumber daya genetika yang dipatenkan, melainkan juga mengenai akses terhadap sumber daya genetika itu sendiri, penelitian dan pengembangan, serta eksplorasinya, yang dapat saja tidak terkait dengan masalah paten.Pengaturan mengenai hal ini, sapat dan perlu segera diwujudkan sebagai ketentuan lebih lanjut dari Undang-undang No. 5 Tahun1994 tentang Ratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati seperti telah disinggung di atas.

H. Electronic commerce
Di samping bioteknologi, bidang ilmu pengetahuan lain yang berkembang secara pesat dalam beberapa tahun terakhir ini adalah teknologi digital dan teknologi di bidang telekomunikasi berbasis digital. Hal yang perlu dikaji lebih lanjut adalah sejauh mana Persetujuan TRIPS menjamin adanya perlakuan yang seimbang/sepadan 9equal treatment) antara aktifitas perdagangan yang menggunakan fasilitas internet bila dibandingkan dengan dilakukan secara konvensional. Dengan ungkapan lain, apa saja yang perlu diatur unutk menjamin bahwa electronic commerce berjalan secara wajar/baik.

I. Alih teknologi
Beberapa ketentuan dalam peraturan perundang-undangan di bidang hak kekayaan intelektual telah mengakomodasikan ketentuan yang baik secara langsung ataupun tidak langsung mensyaratkan dilaksakanannya paten. Perlu disadari bahwa, betapapun idealnya pengaturan mengenai alih teknologi, pada akhirnya segalanya tergantung kepada kemampuan kita sendiri untuk menyempurnakan dan mengembangkan teknologi yang bersangkutan. Oleh karena itu, peran serta berbagai instansi yang terkait untuk lebih meningkatkan efektifitas alih teknologi perlu diintensifkan.

J. Penanggulangan terhadap pembajakan optical disc
Tingginya tingkat pembajakan optical disc tidak hanya mengkhawatirkan pihak pemegang hak cipta, melainkan juga Pemerintah. Walaupun peraturan perundang-undangan mengenai hak cipta yang tersedia pada saat ini relatif sudah cukup memadai mengatur mengenai hal yang berkaitan dengan pendayagunaan optical disc, koordinasi dengan semua pihak yang berkompeten perlu lebih diintensifkan guna menekan tingginya produk hasil bajakan yang pada saat ini beredar di masyarakat luas. Kegiatan sosialisasi dan penyuluhan yang terprogram dengan baik bagi berbagai pihak masih perlu terus ditingkatkan. Di samping itu, langkah-langkah yang bersifat lebih konkrit perlu segera dipersiapkan dan ditindaklanjuti secara sistematis.

PERSAINGAN DAN MONOPOLI

A. Persaingan
1. Pengertian
Persaingan atau competition oleh Webster didifinisikan sebagai “…a struggle or contest between two more persons for the same objects”
Dengan memperhatikan terminology tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam setiap persaingan akan terdapat unsur-unsur sebagai berikut :
a. ada dua pihak atau lebih yng terlibat dalam upaya saling mengungguli.
b. Ada kehendak diantara mereka untuk mencapai tujuan yang sama.
Anderson berpendapat bahwa persaingan di bidang ekonomi merupakan salah satu bentuk persaingan yang paling utama diantara sekian banyak persaingan antar manusia, kelompok masyarakat, atau bahkan bangsa. Pendapat ini di dukung oleh fakta histories bahwa pada masa lalu Negara-negara eropa bersaing secara tajam untuk mendapatkan dan menguasai sumber daya ekonomi di wilayah asia, afrika, dan amerika selatan.
Salah satu bentuk persaingan di bidang ekonomi adalah persaingan usaha (business competition) yang secara sederhana bisa didefinisikan sebagai persaingan antara para penjual di dalam ‘merebut’ pembeli dan pangsa pasar.
Menurut Khemani, persaingan ekonomi adalah “…a situation where firms or sellers independently strive for buyer’s patronage in order to achieve a particular business objective, for example, profits, sales or market share… competitive rivalry may take place in terms of price, quantity, service, or combination of these and other factors that custumers may value,”
Dari definisi itu dikemukakan adanya dua pihak (firms or sellers) yang bertujuan mencapai tujuan usaha tertentu seperti keuntungan, penjualan, ataupun pangsa pasar.
Kondisi persaingan sebagai salah satu karakteristik utama sistem ekonomi pasar cenderung lebih disukai dari pada kondisi non persaingan. Dilihat secara objectif, kondisi persaingan memang lebih banyak memberikan keuntungan di bandingkan kondisi non persaingan.

2. Aspek positif persaingan
Secara garis besar, persaingan bisa membawa aspek positif apabila dilihat dari dua perspektif yaitu; ekonomi dan non ekonomi.
a) Perspektif ekonomi
Argumentasi sentral untuk mendukung persaingan berkisar di seputar masalah efisiensi. Mengikuti argumentasi ini, sumber daya ekonomi akan bisa di alokasikan dan didistribusikan secara paling baik, apabila para pelaku ekonomi dibebaskan untuk melakukan aktivitas mereka dalam kondisi bersaing dan bebas menentukan pilihan-pilihan mereka sendiri.
Sementara itu, dalam konteks pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan, persaingan juga membawa implikasi positif berikut:
1. persaingan merupakan sarana untuk melindungi para pelaku ekonomi terhadap eksploitasi dan penyalahgunaan. Kondisi persaingan menyebabkan kekuatan ekonomi tidak terpusat pada tangan tertentu. Dalam kondisi tanpa persaingan, kekuatan ekonomi akan tersentralisasi pada beberapa pihak saja. Kekuatan in pada tahap selanjutnya akan menyebabkan kesenjangan besar dalam posisi tawar-menawar (bargaining position), serta pada akhirnya membuka peluang bagi penyalahgunaan dan eksploitasi kelompok ekonomi tertentu. Sebagai contoh sederhana, persaingan antar penjual dalam industri tertentu akan membawa dampak positif terhadap komsumen/pembeli, karena mereka diperebutkan oleh para penjual serta dianggap sebagai sesuatu yang berharga.
2. Persaingan mendorong alokasi dan relokasi sember-sumber daya ekonomi sesuai dengan keiginan konsumen,. Karena ditentukan oleh permintaan (demand), perilaku para penjual dalam kondisi persaingan akan cenderung mengikuti pergerakkan permintaan para pembeli. Dengan demikian, suatu perusahaan akan meninggalkan usaha yang tidak memiliki tingkat permintaan yang tinggi. Singkatnya, pembeli akan menentukan produk apa dan produk yang bagaimana yang mereka sukai dan penjual akan bisa mengfisienkan alokasi sumber daya dan proses produksi seraya beraharap bahwa produk mereka akan mudah terserap oleh permintaan pembeli.
3. persaingan bisa menjadi kekuatan untuk mendorong penggunaan sumber daya ekonomi dan metode pemafaatannya secara efisien. Dalam hal perusahaan bersaing secara bebas, maka mereka akan cenderung menggunakan sumber daya yang ada secara efisien. Jika tidak, resiko yang akan di hadapi oleh perusahaan adalah muncul nya biaya berlebihan (excessive cost) yang pada gilirannya akan menyingkirkan dia dari pasar.
4. persaingan bisa merangsang peningkatan mutu produk, pelayanan, proses produksi, dan teknologi. Dalam kondisi persaingan, setiap pesaing akan berusaha mengurangi biaya produksi serta memperbesar pangsa pasar (market share). Metode yang bisa ditempuh untuk mencapai tujuan itu diantaranya adalah dengan meningkatkan mutu produk, pelayanan, proses produksi, serta inovasi teknologi.
b) perspektif non-ekonomi
dari sisi politik, scherer mencatat bahwa setidaknya ada tiga argumen untuk mendukung persaingan dalam bidang usaha, yaitu:
1. dalam kondisi penjual maupun pembeli terstruktur secara atomistic (masing-masing sebagai unit-unit terkecil dan independen) yang ada dalam persaingan, kekuasaan ekonomi atau yang didukung factor ekonomi (economic or economic supported power) menjadi terbesar dan terdesentralisasi. Dengan demikian pembagian sumber daya alam dan pemerataan pendapatan akan terjadi secara mekanik, terlepas sama sekali dari campur tangan kekuasaan pemerintah maupun pihak swasta yang memegang kekuasaan. Gagasan melepaskan aktivitas sipil (termasuk aktivitas ekonomi) dari campur tangan penguas (khusus nya pemerintah) ini sejalandengan ideology liberal yang mewarnai sistem pemerintahan Negara-negara barat.
2. sistem ekonomi pasar yang kompetitif akan bisa menyelesaikan persoalan-persoalan ekonomi secara impersonal, bukan melalaui personal pengusaha maupun birokrat. Dalam keadaan seperti ini, kekecewaan politis masyarakat yang usaha nya terganjal keputusan pengusaha maupun penguasa tidak akan terjadi. Dengan kalimat yang lebih sederhana, dalam kondisi persaingan, jika seseorang warga masyarakat terpuruk dalam bidang usahanya, ia tidak akan terlalu merasa sakit karena ia jatuh bukan karena kekuasaan orang tertentu, melainkan suatu proses yang mekanistik (permintaan-penawaran). Hal seperti itu bisa dipastikan tidak akan terjadi dalam hal seseorang ‘jatuh’ akibat keputusan penguasa atau pengusaha yang memegang dominasi ekonomi. Dalam ruang lingkup yang lebih luas, proses impersonal dan mekanistis dari persaingan ini bisa saja menentukan stabilitas politik suatu komunitas.
3. kondisi persaingan juga berkaitan erat dengan kebebasan manusia untuk mendapatkan kesempatan yang sama di dalam berusaha. Dalam kondisi persaingan, pada dasarnya setiap orang akan punya kesempatan yang sama untuk berusaha dan dengan demikian hak setiap manusia untuk mengembangkan diri (the right to self-development) menjadi terjamin.

3. Aspek Negatif Persaingan
meskipun secara umum dapat dikatakan bahwa aspek positifnya lebih menonjol, kondisi persaingan dalam beberapa hal juga memiliki aspek-aspek negatif. Beberapa aspek negatif yang dikemukakan oleh Anderson adalah sebagai berikut:
1. sistem persaingan memerlukan biaya dan kesulitan-kesulitan tertentu yang tidak didapati dalam sistem monopoli. Dalam keadaan persaingan, pihak penjual dan pembeli secara relatif akan memiliki kebebasan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. Mereka masing-masing akan memiliki posisi tawar menawar yang tidak terlalu jauh beda, sehingga konsekuensi logis nya adalah bahwa akan ada waktu yang lebih lama dan upaya yang lebih keras dari masing-masing pihak untuk mencapai kesepakatan. Biaya yang harus dibayar untuk hal ini adalah biaya kontraktual (contractual cost) yang tidak perlu ada seandainya para pihak tidak bebas bernegosiasi.
2. persaingan bisa mencegah koordinasi yang diperlukan dalam industri tertentu. Salah satu sisi negatif dari persaingan adalah bahwa persaingan bisa mencegah koordinasi fasilitas teknis dalam bidang usaha tertentu yang dalam lingkup luas sebenarnya diperlukan demi efisiensi. Misalnya, pengguna telepon produk suatu perusahaan tertentu menjadi kesulitan menggunakan pengguna telepon produk perusahaan lain, apabila kedua perusahaan itu merupakan pesaing independent yang tidak mengkoordinasikan fasilitas teknis mereka.
3. persaingan apabila dilakukan oleh pelaku ekonomi yang tidak jujur, bisa bertentangan dengan kepentingan publik. Resiko ekstrim dari pesaing yang sangat relevan tentunya adalah kemungkinanditempuhnya praktek-praktek curang (unfair competition)karena persaingan dianggap sebagai kesempatan untuk dapat menyingkirkan pesaing dengan cara apapun.

B. Monopoli
1. Pengertian
Hukum mengartikan monopoli sebagai suatu penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang atau atas penggunaan atas jasa tertentu oleh 1 (satu) pelaku usaha atau 1 (satu) kelompok usaha tertentu. Secara etimologi, kata monopoli berasal dari kata yunani ”monos” yang berarti sendiri dan ”polein” yang berarti penjual. Dari akar kata tersebut, secara sederhana orang lantas memberi pengertian monopoli sebagai suatu kondisi dimana hanya ada satu penjual yang menawarkan (supply) suatu barang atau jasa tertentu.
Dalam perkembangannya, meskipun dimaksudkan untuk menggambarkan fakta yang kurang lebih sama, istilah monopoli sering dipakai orang untuk menunjuk tiga titik berat yang berbeda.
• Istilah monopoli dipakai untuk menggambarkan suatu struktur pasar (keadaan korelatif permintaan dan penawaran). Meiners misalnya memberikan definisi “a market structure in which the output of an industry is controlled by a single seller or a group of sellers making joint decisions regarding production and price”. Dari pendapat itu dapat dilihat bahwa Meiners sedikit ‘keluar’ dari definisi etimologis. Menurutnya, monopoli itu bisa dilakukan oleh lebih dari satu penjual yang membuat keputusan bersama tentang produk atau harga.
• Istilah monopoli juga sering di gunakan untuk menggambarkan suatu posisi. Maksudnya adalah posisi penjual yang memiliki pengasaan dan kontrol eksklusif atas barang atau jasa tertentu.
• Istilah monopoli juga dipergunakan untuk menggembarkan kekuatan yang dipegang oleh penjual untuk menguasai penawaran, menentukan harga, serta memanipulasi harga.
Meskipun ada titik berat yang berbeda-beda dalam penggunaan istilah, monopoli secara umum menggambarkan fakta yang sama, yakni pemusatan kekuatan penawaran eksklusif pada pihak penjual dalam suatu pasar.
Berbeda dengan persaingan yang bersifat mendesentralisasikan kekuatan ekonomi, didalam ekonomi justru terkandung pengertian adanya pemusatan kekuatan.
Karena keadaan yang tidak seimbang antara penjual dan pembeli, umumnya monopoli dianggap sebagai kondisi yang negatif. Hal ini cukup logis, karena dalam kondisi monopoli terbuka kemungkinan cukup besar bagi penyalahgunaan oleh pemegang kekuasaan monopoli. Meskipun demikian ada aspek positif yang dapat diambil dari monopoli disamping aspek negatif yang lebih sering di kemukakan.

2. Aspek Positif Monopoli
1. monopoli bisa memaksimalkan efisiensi pengelolaan sumber daya ekonomi tertentu. Apabila sumber daya alam minyak bumi dikelola oleh satu unit usaha tunggal yang besar, maka ada kemungkinan bahwa biaya-biaya tertentu bisa dihindari.
2. monopoli juga bisa menjadi sarana untuk meningkatkan pelayanan terhadap konsumen dalam industri tertentu. Dalam usaha pelayanan telekomunikasi misalnya, para pengguna asa akan bisa saling berhubungan tanpa kesulitan karena hubungan itu di fasilitasi oleh satu perusahaan yang memiliki basis teknologi yang bisa dimanfaatkan oleh semua konsumen.
3. monopoli bisa menghindarkan duplikasi fasilitas umum. Ada kalanya bidang usaha tertentu akan lebih efisien bagi public apabila dikelola oleh satu perusahaan. jika distribusi air minum diberikan pada lebih dari satu perusahaan yang saling bersaing, yang mungkin terjadi adalah bahwa mereka akan membangun instalasi sendiri (penampungan, pipa-pipa) air minum mereka. Dari segi kepentingan publik, duplikasi fasilitas air minuum itu bisa dianggap sebagai sesuatu yang kurang efisien.
4. dari sisi produsen, monopoli bisa menghindarkan biaya pariwar/iklan serta biaya diferensiasi. Jika terjadi persaingan, setiap perusahaan yang bersaing akan saling mencoba merebut konsumen dengan banyak cara. Pariwara tampaknya menjadi cara yang cukup penting untuk menjangkau konsumen. Dalam hal terjadi monopoli, kedua biaya itu tidak relevan. Karena perusahaan akan selalu berada pada pihak yang lebih dibutuhkan oleh konsumen, ia tidak perlu bersusah-susah mendapatkan konsumen melalui pariwara atau difernsiasi produk.
5. dalam monopoli biaya kontraktual bisa dihindarkan. Persaingan membuat kekuatan ekonomi tersebar(dispersed). Maka, para pelaku ekonomi akan memiliki kekuatan yang relitaf tidak jauh berbeda. Konsekuensinya, jika mereka akan saling bertransaksi, waktu, biaya, dan tenaga yang diperlukan menjadi lebih besar. Kondisi ini tidak dijumpai dalam kondisi monopoli dimana peluang untuk bernegosiasi tidak terlampau besar.
6. monopoli bisa digunakan sebagai sarana untuk melindungi sumber daya tertentu yang penting bagi masyarakat luas dari eksploitasi yang semata-mata bersifat ‘profit-motive’.

3. Aspek Negatif Monopoli
1. monopoli membuat konsumen tidak mempunyai kebebasan memilih produk sesuai dengan kehendak dan keinginan mereka. Jika penawaran sepenuhnya dikuasai oleh seorang produsen, secara praktis para konsumen tidak punya pilihan. Dengan kata lain, mau tidak mau ia harus menggunakan produk satu-satunya itu.
2. monopoli membuat posisi konsumen menjadi rentan di hadapan produsen. Ketika produsen menempati posisi sebagai pihak yang lebih dibutuhkan dari pada konsumen, terbuka peluang besar bagi produsen untuk merugikan konsumen melalui penyalahgunaan posisi monopolistiknya. Antara lain bisa menentukan harga secara sepihak secara menyimpang dari biaya produksi riil.
3. monopoli juga berpotensi menghambat inovasi teknologi dan proses produksi. Dalam keadaan tidak ada pesaing, produsen lantas tidak memiliki motivasi yang cukup besar untuk mencari dan mengembangkan teknologi dan proses produksi yang baru. Akibatnya, inovasi teknologi dan proses produksi akan mengalami stagnasi.
4. terjadi peningkatan harga suatu produk sebagai akibat tidak ada kompetisi dan persaingan bebas. Harga yang tinggi ini pada gilirannya akan menyebabkan inflasi yang merugikan masyrakat luas.
5. pelaku usaha mendapat keuntungan (profit) di ats kewajaran yang normal. Ia akan seenak nya menetapkan harga untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besar nya karena konsumen tidak ada pilihan lain dan terpaksa membeli suatu produk tersebut.
6. terjadi ketidak ekonomisan dan ketidak efisienan yang akan di bebankan kepada konsumen dalam rangka menghasilkan suatu produk, karena perusahaan monopoli cenderung tidak beroperasi pada average cost yang minimum.
7. ada entry barrier dimana perusahaan lain tidak dapat masuk ke dalam bidang usaha perusahaan monopoli tersebut, karena penguasaan pangsa pasar yang besar. Perusahaan-perusahaan kecil tidak diberi kesempatan untuk tumbuh berkembang dan akan jatuh satu persatu.
8. pendapatan jadi tidak merata, karena sumber dana dan modal akan tersedot kedalam perusahaan monopoli. Masyarakat banyak harus berbagi dengan banyak orang dalam bagian yang sangat kecil, sementara perusahaan monopoli dengan sedikit orang akan menikmati bagian yang lebih besar.

4. Jenis-Jenis Monopoli
a) berdasarkan siapa yang memegang atau memiliki kekuasaan monopoli:
• Monopoli Swasta (Private Monopoly)
yaitu monopoli yang dipegang oleh pihak non public, seperti perusahaan swasta, koperasi, dan perseorangan.
• Monopoli Public (Public Monopoly)
Yaitu monopoli yang dipunyai oleh badan publik (public body), seperti Negara, Negara bagian, dan pemerintah daerah.

b) berdasarkan sisi keadaan yang menyebabkannya:
• Natural Monopoli
yaitu monopoli yang disebabkan oleh factor-faktor alami yang eksklusif. Jika suatu daerah terdapat bahan tambang langka yang tidak dijumpai didaerah lain, pengelolaan sumber daya itu akan memiliki natural monopoli.
• Sosial Monopoli
Yaitu monopoli yang tercipta dari tindakan manusia atau kelompok social. Monopoli terhadap hak cipta yang diberikanoleh Negara kepada seorang pencipta misalnya, merupakan contoh dari monopoli social.

c) berdasarkan legal atau tidaknya:
• Monopoli Legal
yaitu monopoli yang tidak dilarang oleh hukum di suatu Negara.
• Monopoli Illegal
Yaitu monopoli yang dilarang oleh hukum di suatu Negara.

Mengingat banyak nya sistem hukum yang memiliki pengaturan berbeda-beda, tentu saja kriteria legal dan illegal antara Negara yang satu dengan Negara yang lain juga berbeda. Apa yang dikatakan sebagai monopoli legal di suatu Negara belum tentu merupakan monopoli legal pula di Negara yang lain.

C. Persaingan, Monopoli Dan Hukum
Dengan memandang persaingan dan monopoli sekedar sebagai suatu instrument, satu hal yang relevan bagi suatu ekonomi adalah mengatur bagaimana instrument itu digunakan. Atau dengan kata lain, bagaimana persaingan dan monopoli diatur sehingga menonjolkan aspek-aspek positifnya.
Biarpun hukum bukan merupakan satu-satunya instrument yang memiliki kekuatan mengatur, secara luas dipahami bahwa hukum adalah sarana pengatur yang memiliki kekuatan memaksa yang memadai. Dalam dunia usaha memang dikenal ada etika usaha (business ethic) yang menjadi code of conduct. Meskipun demikian kekuatan yang mendorong ditaatinya etika semacam itu lebih terletak pada moralitas yang sering terkalah kan oleh kepentingan-kepentingan yang dianggap lebih signifikan. Berbeda dari etika yang lebih banyak dimotori oleh moralitas, hukum di dorong oleh daya paksa yang lebih konkret berupa sanksi.

RELEVANSI HUKUM PERSAINGAN USAHA

A. Pengertian dan Istilah
Berbagai istilah yang dikenal dan sering digunakan untuk menunjuk instrumen hukum yang mengatur persaingan dan monopoli.
1. Hukum anti monopoli atau undang-undang antimonopoly (antimonopoly law).
hukum ini berisi ketentuan-ketentuan untuk menentukan atau meniadakan monopoli.
2. Hukum antitrust atau undang-undang antitrust (antitrust law).
Istilah ‘trust’ digunakan untuk menunjukkan perusahaan besar yang terbentuk dan mempunyai kekuatan monopolistiik. Secara hakiki istilah ‘hukum antitrust’ memiliki pengertian yang sama dengan istilah ‘hukum monopoly’. Kedua nya dipakai untuk menunjukkan ketentuan-ketentuan hukum yang ditunjukkan untuk meniadakan monopoli.
3. Hukum persaingan (competition law).
Hukum persaingan merupakan instrument hukum yang menentukan tentang bagaimana persaingan itu harus dilakukan. Meskipun secara khusus menekankan pada aspek ‘persaingan’, hukum persaingan usaha juga berkaitan erat dengan pemberantasan monopoli, karena yang juga menjadi perhatian dari hukum persaingan adalah mengatur persaingan sedemikian rupa sehingga ia tidak menjadi sarana untuk mendapatkan
monopoli.
4. Hukum praktek-praktek perdagangan curang (unfair trade practices law).
Istilah ini secara khusus memberi penekanan pada persaingan di bidang perdagangan.
5. Hukum persaingan ‘sehat’ (fair competition law).
Istilah ini memiliki pengertian yang sama persis dengan competition law. Bedanya, istilah ini menegaskan bahwa yang ingin dijamin adalah terciptanya persaingan yang sehat.

B. Tujuan Hukum Persaingan Usaha
Khemani mencatat bahwa tujuan hukum persaingan usaha bisa dibedakan menjadi dua yaitu (1) tujuan yang semata-mata dilandasi oleh pertimbangan ekonomis, (2) tujuan yang dilandasi oleh pertimbangan nonekonomis.
Ketika hukum persaingan usaha dilandasi oleh pertimbangan ekonomi (economic considerations), yang diharapkan bisa dicapai oleh hukum persaingan usaha adalah terciptanya efisiensi ekonomi.
Khemani mengemukakan bahwa tujuan-tujuan hukum persaingan usaha setiap Negara berada pada satu titik tertentu diantara kedua kutub ekstrim pertimbangan ekonomi dan nonekonomi.
Tujuan-tujuan utama hukum persaingan usaha:
1) Memelihara kondisi kompetisi yang bebas (maintenance of free competition).
Bank dunia menegaskan bahwa perlindungan terhadap persaingan tidaklah identik dengan perlindungan terhadap pesaing (competitors). Hukum persaingan usaha ditujukan untuk melindungi persaingan, bukannya untuk melindungi pesaing. Tujuan ini dilandasi baik oleh alasan ekonomi (efisiensi dalam persaingan) maupun ideoligi (kebebasan yang sama untuk berusaha dan bersaing). Tujuan pemeliharaan kondisi kompetisi yang bebas ini sesungguhnya merupakan upaya untuk memaksimalkan aspek-aspek positif yang ada pada persaingan. Persaingan yang sehat akan membawa dampak terhadap alokasi dan relokasi sumber daya ekonomi secara efisien. Disamping itu, persaingan yang bebas akan memacu inovasi dalam teknologi maupun proses produksi. Prancis menekankan bahwa tujuan kebijakan persaingan Negara itu adalah menjamin kebebasan ekonomi (securing economic freedom), khususnya kebebasan untuk bersaing (freedom of competition). Jerman menganggap bahwa kebebasan ekonomi individual setara dengan kebebasan lain dalam sistem demokratik konstitusional.

2) Mencegah penyalahgunaan kekuatan ekonomi (prevention of abuse of economic power)
Tujuan ini lebih mementingkan pelarangan tindakan tertentu (penyalahgunaan kekuatan ekonomi) dan lebih dimaksudkan untuk menjamin supaya persaingan terjadi secara proporsional, dalam arti pihak yang kuat secara ekonomi tidak merugikan pelaku usaha yang lain dalam persaingan.
Tujuan penyalahgunaan kekuatan ekonomi ini sebenarnya erat sekali dengan adagium “power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely” dari Lord Acton. Tujuan ini dilandasi oleh pemikiran pembentukan kekuatan ekonomi yang rentan terhadap penyalahgunaan yang merugikan pelaku ekonomi lain yang lebih lemah.

3) Melindungi Konsumen (Protection Of Consumer).
Di amerika serikat, persoalan perlindungan konsumen merupakan isu yang cukup menonjol dalam hukum persaingan usaha. The federal trade competition (FTC), sebagai salah satu pilar penegak hukum antitrust AS disamping Department Of Justice (DOJ), bahkan secara tegas menyatakan bahwa:
“consumer choice is a powerful incentive for the sellers of any products to keep their prices low and their quality high…
To ensure costumer choice, the antitrust law set two basic requirements: companies cannot agree to limit competition in ways that hurt consumers; and a single company cannot monopolize an industry through unfair practices.”
Satu persoalan konkret yang muncul sehubung dengan tujuan maksimalisasi kesejahteraan konsumen ini adalah apakah ketentuan persaingan usaha semata-mata ditujukan kepada perlindungan konsumen ataukah juga harus memperhatikan kepentingan produsen. Beberapa Negara, khususnya Negara yang sedang berkembang yang mementingkan pertumbuhan ekonomi, menganggap bahwa tekanan persaingan global menuntut supaya mereka melindungi produsen dalam industri tertentu, setidaknya dalam jangka pendek. Perlakuan khusus terhadap industri tertentu ini sering kali mengabaikan kepentingan konsumen.
Dengan melihat beberapa tujuan utama yang ingin dicapai oleh hukum persaingan usaha, pada hakikatnya hukum ini dimaksudkan untuk mengatur persaingan dan monopoli demi tujuan-tujuan yang menguntungkan.
Apabila hukum persaingan usaha diberi arti yang lebih luas, bukan hanya meliputi pengaturan persaingan, melainkan juga soal boleh tidaknya monopoli untuk mengatur sumber daya mana yang harus dikuasai Negara dan mana yang boleh dikelola oleh swasta.
Untuk Negara-negara yang bercirikan Negara kesejahtaraan (walfare state), soal alokasi sumber daya dianatar sector public dan swasta menjadi cukup penting, mengingat bahwa Negara kesejahteraan juga berkepentingan untuk mencapai kesejahteraan umum warganya dengan sumber daya yang terbatas, bukan sekedar menjamin keamanan swasta untuk mengejar kesejahteraan mereka sendiri. Dalam keadaan seperti ini, kehadiran ketentuan secara tegas memisahkan sumber daya public dan sumber daya privat menjadi tidak terhindarkan untuk meniadakan tumpang tindih alokasi public privat yang pasti terjadi bila tidak ada peraturan tegas tentnag itu.
Ketika suatu Negara memiliki sumber daya, katakanlah minyak bumi, dalam jumlah besar, Negara itu akan memiliki dua pilihan. Ia bisa saja membebaskan komoditi itu bagi persaingan yang melibatkan perusahaan-perusahaan swasta. Jika pilihan itu yang diambil, konsekuensi yang harus dihadapi adalah bahwa eksploitasi akan dilakukan oleh perusahaan-perusahaan itu atas nama keuntungan pribadi mereka. Pilihan lain adalah menerapkan monopoli public terhadap komoditi vital tersebut. Apabila ini yang dipilih, konsekuensinya adalah bahwa untuk industri ini tidak ada persaingan, karena hanya ada satu pihak yang berwenang menguasai minyak bumi. Monopoli ini akan menjadi lebih baik kalau ditujukan pada tercapainya kesejahteraan umum. Persoalannya mungkin akan berbeda kalau monopoli dipegang oleh swasta. Khusus untuk hal ini, suatu instrument hukum akan diperlukan untuk memberikan kejelasan mengenai apa yang boleh dimonopoli oleh Negara.
SUBSTANSI HUKUM PERSAINGAN USAHA

tiap Negara memiliki kewenangan eksklusif untuk menyusun legislasi mereka masing-masing. Atas dasar ini dapat dipahami bila ditemukan ketentuan persaingan usaha yang berbeda antara satu Negara dengan yang lain. Meskipun demikian, persamaan-persamaan dasar ini wajar ada karena setiap ketentuan persaingan usaha dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang sebenarnya tidak terlalu jauh berbada. Persamaan-persamaan ini terefleksikan oleh Khemani yang berpendapat bahwa “competition laws generally consist of substantive conduct and structural provisions relating to business activity, together with additional procedural provisions on administration and enforcement”.
Dari pendapat itu dikatakan bahwa pada umumnya hukum persaingan usaha berisi hal-hal berikut:
1. ketentuan-ketentuan tentang perilaku yang berkaitan dengan aktivitas-aktivitas usaha.
2. ketentuan-ketentuan struktural yang berkaitan dengan aktivitas usaha.
3. ketentuan-ketentuan prosedural tentang pelaksanaan dan penegakan hukum persaingan usaha.
Hukum persaingan usaha berisi ketentuan-ketentuan substansial tentang tindakan-tindakan yang dilarang (beserta konsekuensi hukum yang bisa timbul) dan ketentuan-ketentuan prosedural mengenai penegakan hukum persaingan.
Tidakan-tindakan yang dilarang oleh hukum persaingan usaha sebenarnya bisa dibedakan menjadi dua kategori, yaitu tindakan anti persaingan (anticompetition) dan tindakan persaingan curang (unfair competition practice, unfair methods of competition). Memang tidak semua Negara membuat pembedaan yang tajam mengenai dua kategori ini, lagipula perbatasan antara keduanya terkadang tidak tampak jelas. Namun, agar tidak sistematik, pembahasan tentang ketentuan-ketentuan substansial hukum persaingan akan dilakukan dengan berpijak pada dua kategori tindakan tersebut.

A. Tindakan Antipersaingan
Tindakan antipersaingan merupakan satu kategori untuk menunjuk jenis-jenis tindakan yang bersifat menghalangi atau mencegah persaingan atau tindakan untuk menghindari persaingan. Memang secara ideal persaingan memiliki banyak aspek positif, tetapi bagi pelaku usaha, persaingan sering kali dipandang sebagai sesuatu yang kurang menguntungkan. Persaingan adalah proses perebutan pangsa pasar, konsumen, dan keuntungan. Untuk bisa menang dalam persaingan, sering kali para pelaku usaha harus menekan harga untuk merebut konsumen. Penekanan harga ini tentunya akan berakibat pada berkurangnya keuntungan yang mereka peroleh. Disamping harga, yang mereka sering pakai sebagai “senjata” dalam persaingan usaha adalah peningkatan mutu produk dan pelayanan terhadap konsumen. Sama halnya dengan persaingan harga (price competition), persaingan dalam peningkatan mutu produk dan pelayanan ini juga akan bermuara pada berkurangnya keuntungan. Bagi pelaku usaha yang bersifat profit motif, konsekuensi ini cenderung dipandang negatif. Dengan demikian adalah suatu yang logis apabila para pelaku usaha memilih untuk tidak bersaing. Kecenderungan seperti ini bahkan telah ditemukan oleh Adam Smith dalam masterpiece-nya, the wealth of nations(1776). Dia mengatakan:
“people of the same trade seldom meet together, even for merriment and diversion, but the conversation ends in a conspiracy against the public, or in some contrivance to raise prices”.

Tindakan-tindakan yang masuk dalam kategori tindakan antipersaingan, yaitu:
1. Merger
Merger berasal dari akar kata kerja ‘to merge’, secara luas dipahami sebagai proses penggabungan dua perusahaan atau lebih menjadi satu perusahaan. Dengan ilustrasi sederhana dapat digambarkan bahwa merger terjadi apabila dua perusahaan bergabung dan salah satunya masih mempertahankan identitasnya (perusahaan A + perusahaan B = perusahaan A atau perusahaan B). Merger sesungguhnya dapat dipandang sebagai salah satu bentuk integrasi usaha yang sering dilakukan untuk mencapai proses produksi yang lebih efisien. Meiners mengatakan bahwa suatu usaha dikatakan terintegrasi apabila tahap-tahap dalam proses produksi atau distribusinya dilakukan di dalam satu perusahaan (in-house) atau jika tidak diikat oleh kontrak. Contohnya perusahaan general motors yang memproduksi auto mobil. Operasi general motors merupakan operasi yang bersifat terintegrasi, karena proses produksinya terikat dalam satu koordinasi usaha. Sebenarnya setiap komponen otomotif (mesin, kerangka, aksesoris) bisa saja diproduksi oleh perusahaan-perusahaan yang mandiri. Perusahaan-perusahaan independent itu bisa saja menjual produknya kepada satu perusahaan yang merakit komponen-komponen itu menjadi produk akhir otomotif. Namun, pengalaman menunjukkan bahwa proses produksi yang terintegrasi semacam itu lebih memakan biaya. Biaya produksi bisa ditekan dengan integrasi usaha yang salah satunya berbentuk merger. Merger memang bisa membawa keuntungan nyata bagi persaingan dan bagi konsumen. Meskipun demikian, jika merger bermuara pada berkurangnya jumlah perusahaan dalam satu industri, yang dikhawatirkan adalah berkurangnya kompetisi. Pada umumnya merger dikatakan memiliki efek antipersaingan apabila dua kondisi berikut terpenuhi:
a. pasar terkonsentrasi secara substansial setelah terjadi merger.
b. Perusahaan lain menjadi kesulitan untuk memasuki pasar dan menjadi pesaing.
Bank dunia juga mencatat bahwa merger pada dasarnya merupakan aktivitas yang biasa diambil oleh para pelaku usaha demi tercapainya efisiensi dalam industri tertentu. Semua Negara yang telah memiliki hukum persaingan usaha mereka cenderung untuk mengatur merger yang membawa dampak negatif terhadap persaingan. Ketika suatu perusahaan yang bergerak di bidang penerbitan melakukan merger dengan perusahaan di bidang minuman ringan (beverages), damapak negatif terhadap persaingan dalam industri penerbitan ataupun minuman ringan, kecil untuk terjadi. Namun, apabila merger dilakukan antara perusahaan penerbitan dengan perusahaan serupa yang menjadi pesaing utamanya, damapk negatif terhadap persaingan lebih mungkin untuk terjadi.
Dilihat dari pihak-pihak yang bergabung, merger bisa dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Merger horizontal (horizontal merger)
suatu merger dikatakan merger horizontal apabila dilakukan antara perusahaan-perusahaan yang sebelumnya merupakan pesaing dalam suatu usaha.
Di amerika serikat, merger horizontal bisa dikaitkan dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Sherman Act 1890. section 1 dan 2 dari ketentuan tersebut ialah sbb:
Section 1 : every contract, combination in the from of trust or otherwise or conspiracy, in restraint of trade or commerce among the several states, or with foreign nations, is hereby declared to be illegal.
Section 2 : every person who shall monopolize, or attempt to monopolize or combine or conspire with any other person or persons, to monopolize any part of the trade or commerce among the several states, or with foreign nations, shall be deemed guilty of a felony. Dalam section 1 dan 2 tersebut memang tidak secara tegas disebut-sebut tentang merger horizontal. Intinya, ketentuan-ketentuan tersebut berisi pelarangan terhadap perjanjian, penggabungan, persekongkolan, dan monopolisasi. Dengan begitu, penggabungan maupun merger tidak akan dilarang apabila tidak mengarah pada monopoli.
Akibat monopolistik dari merger yang diisyaratkan oleh Sherman Act ini ternyata cukup menyulitkan dalam praktek. Sering kali sulit dibuktikan secara cukup meyakinkan bahwa suatu merger akan menciptakan monopoli. Kesulitan ini agak teratasi saat kongres Amerika tahun 1955 melakukan amandemen terhadap section 7 instrumen antitrust lain, Clayton Act. Meskipun demikian, tetap tidak ada petunjuk yang jelas mengenai tindakan yang mengarah pada monopoli (monopolistic behavior). Dengan demikian, merger horizontal akan diperlakukan secara case by case oleh pengadilan untuk menentukan ada tidak nya monopoli yang terbentuk dengan memanfaatkan konsep-konsep ekonomi, seperti harga produk, output, keuntungan, serta concentration ratio. Berikut ini beberapa konsep ekonomi yang sering digunakan oleh pengadilan untuk menilai apakah suatu merger  melanggar ketentuan antimonopoly atau tidak.Salah satu konsep terpenting untuk menilai legalitas merger di banyak Negara adalah kekuatan pasar (market power). Sebagai ukuran umum, merger akan dianggap legal apabila hasil dari proses itu tidak mengarah pada monopoli. Sebaliknya, merger akan dianggap ilegal apabila hasilnya cenderung mengarah pada monopoli (menghasilkan kekuatan pasar yang dominan). Dengan demikian yang harus dicermati oleh otoritas ketentuan antimonopoli adalah seberapa besar kekuatan pasar dari perusahaan yang terbentuk karena merger. Sebagai contaoh, perusahaan A adalah perusahaan B yang dinegara itu memiliki pangsa pasar sebesar 40% untuk kertas Koran.jika mereka memutuskan untuk melakukan merger, pangsa pasar perusahaan hasil merger akan mencapai 85%. Meskipun ada standar yang tidak sama antara Negara yang satu dengan yang lain, pangsa pasar yang sebesar itu bisa menjadi alasan kuat bagi otoritas persaingan untuk mencegah merger tersebut dengan alasan cenderung mengarah pada monopoli melalui perluasan pangsa pasar. Sebaliknya, jika mereka masing-masing hanya memiliki 5% pangsa pasar, bisa diasumsikan bahwa merger mereka tidak menghasilkan penguasaan pangsa pasar yang besar. Dari ilustrasi diatas, dapat dikatakan bahwa untuk melihat kekuatan pasar dari suatu perusahaan hasil merger perlu terlebih dahulu ditentukan pasar yang relevan (the relevant market). Untuk melihat pasar relevan umumnya yang akan diperhatikan adalah pasar produk (product market) dan pasar geografik (geographic market).
1) Pasar produk (Product market)
Pasar produk adalah lembaga dimana penjual dan pembeli melakukan negosiasi untuk melakukan transaksi produk tertentu. Clayton Act menggunakan istilah “in any line of commerce” untuk menunjk pada pasar produk ini. Dalam analisis antimonopoly, penentuan pasar produk yang spesifik ini sangat perlu karena ia menjadi dasar untuk menentukan kekuatan pasar. Suatu merger akan lebih menjadi perhatian otoritas hukum persaingan apabola dilakukan antara dua perusahaan yang berada dalam pasar produk yang sama, karena merger yang demikian akan mempengaruhi pasar produk tersebut. Sebaliknya, merger yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang tidak berada pada “line commerce” yang sama tidak akan banyak mempengaruhi pasar produk tertentu.
Contoh sederhana, perusahaan A dan perusahaan B dikatakan berada pada pasar produk yang sama apabila mereka menjual produk yang sama. Jika perusahaan A menjual minyak pelumas motor dan perusahaan B juga menjual minyak pelumas motor, mereka berada pada pasar produk yang sam yakni pasar produk pelumas motor. Jika perusahaan A dan B melakukan merger, maka hasilnya akan mempengaruhi pasar produk minyak pelumas.
Dalam praktek tidaklah terlalu mudah menentukan pasar produk tertentu, karena produk yang satu bisa saja ‘berdekatan’ dengan produk yang lain sehingga menimbulkan pertanyaan apakah kedua nya berada dalam pasar produk yang sama atau tidak. Salah satu contoh yaitu hal yang terjadi di Amerika serikat dalam kasus U.S. v. E.I. du pont de Nemours & Company (1958). Dalam kasus tersebut, mahkamah agung Amerika Serikat dihadapkan pada persoalan tentang apakah du pont monopoli pasar produk cellophane (sejenis perekat dari bahan plastik). Jika pasar produk dalam kasus itu secara konkret diartikan sebagai ‘pasar produk cellophane’, du pont memiliki pangsa pasar sebesar 75%, suatu persentase yang cukup untuk mengatakan bahwa du pont memonopoli pasar. Namun, persoalannya pasar produk bisa sedikit diperluas bukan hanya terbatas pada produk cellophane, melainkan juga meliputi produk-produk yang berdekatan yang bersam-sama dengan cellophane bisa digolongkan sebagai produk “alat untuk mengemas paket” (packaging materials), seperti aluminium foil, glassine, dan polyethylene. Jika pasar produk dalam kasus ini diartikan sebagai pasar produk ‘packaging materials’, du pont dengan cellophane nya hanya menguasai 20% pangsa pasar, angka persentase yang tidak cukup untuk mengatakan bahwa perusahaan itu melakukan monopoli.
Untuk membantu menentukan pasar produk tertentu yang tidak selalu mudah, konsep yang bisa digunakan adalah “cross elasticity demand” atau dapat tidaknya produk yang satu digantikan oleh produk yang lain. Jika dua produk bisa saling menggantikan meskipun secara spesifik mereka berdua berbeda, bisa saja ditetapkan bahwa mereka berada dalam pasar produk yang sama.

2) Pasar Geografik (Geographic market)
Sama dengan pasar produk, penentuan luas pasar secara geografik (local, regional, nasional, atau internasional) juga bisa bermuara pada kesimpulan yang berbeda tentang apakah suatu perusahaan memegang posisi monopoli atau tidak.
Luas sempitnya pasar produk secara geografik sebenarnya bisa dipengaruhi oleh beberapa factor. Dari sisi penjual misalnya, luas tidaknya jangkauan penjualan produknya akan ditentukan oleh biaya transportasi. Produk yang berat serta besar, akan memakan biaya transportasi besar jika dibawa kelain tempat, akan cenderung memiliki pasar yang secara geografik sempit. Sebagai ukuran umum, pasar geografik merupakan tempat dimana penjual produk tertentu melakukan aktivitas usahanya.

b. Merger Vertikal (vertical merger)
merger vertical terjadi antara perusahaan-perusahaan yang salah satunya merupakan supplier bagi yang lain. Dengan kata lain, merger vertical adalah merger diantara perusahaan-perusahaan yang berada dalam hubungan pembeli-penjual (buyer-seller relationship). Merger yang terjadi antara suatu manufacturer dengan distributor suatu produk adalah contoh dari jenis merger ini,karena manufacturer merupakan supplier bagi distributor.
Merger vertical ini juga bisa dibedakan menjadi dua, yaitu:
• Merger vertical maju (forward vertical merger)
Merger vertical maju didikatakan terjadi apabila suatu perusahaan membeli dan menggabungkan perusahaan lain yang merupakan distributornya, misalnya perusahaan otomotif yang membeliperusahaan distributornya. Akibat buruk yang dikhawatirkan adalah bahwa suatu perusahaan lantas tidak mendapat akses kepada perusahaan distributor yang secara vertical telah digabungkan dengan perusahaan pesaingnya.

• Merger vertical mundur (backward vertical merger)
Merger vertical mundur terjadi dalam hal suatu perusahaan membeli dan menggabungkan perusahaan yang lain merupakan supplier-nya. Perusahaan otomotif yang membeli perusahaan ban yang menjadi supplier-nya merupakan contoh merger jenis ini.merger ini bisa membawa akibat merugikan bagi persaingan dalam hal merger itu membuat pelaku usaha kesulitan untuk mendapatkan komponen bagi prroduknya, karena perusahaan distributor komponen itu telah digabungkan dengan perusahaan pesaingnya.

c. Merger persaingan potensial (potential competition merger)
Merger persaingan potensial terjadi apabila suatu perusahaan yang bermaksud memasuki pasar dalam suatu industri dibeli dan digabungkan dengan perusahaan yang sudah eksis di pasar itu, yang akan tersaingi jika ada perusahaan baru masuk dalam pasar industri itu. Hasil dari merger persaingan potensial ini adalah bahwa calon pesaing yang akan hadir di suatu pasar akan menjadi lenyap.
Kasus yang menarik sehubungan dengan merger ini yaitu kasus FTC v. Procter & Gamble Co. yang diputus oleh pengadilan amerika serikat tahun 1067. dalam kasus itu pengadilan melarang merger antara Procter & Gamble dan Clorox. Procter & gamble adalah produsen alat-alat rumah tangga, sedangkan Clorox adalah produsen pemutih pakaian yang memegang 49% pangsa pasar untuk produk pemutih pakaian. Meskipun kedua perusahaan itu tidak dikatakan berada dalam pangsa pasar, pengadilan melarang kedua nya untuk melakukan merger dengan alasan bahwa Procter & Gamble sebagai perusahaan besar akan bisa memproduksi pemutih pakaian dimasa mendatang dan dengan begitu akan memiliki pangsa pasar yang dominant. Jadi, untuk pasar produk pemutih pakaian, pengadilan berpendapat bahwa penggabungan Clorox dengan procter & gamble merupakan merger persaingan potensial. Pengadilan berkeinginan supaya Clorox alih-alih digabung kan dihadapkan dengan calon pesaing yang potensial.

2. Penentuan Harga (Price Fixing)
Praktek kedua yang masuk dalam katagori tindakan antipersaingan adalah menentukan harga (price fixing). Penentuan harga yang bisa terjadi secara vertical maupun horizontal ini di anggap sebagai hambatan perdagangan (restraint of trade) karena membawa akibat buruk terhadap persaingan harga(price competition). Jika penentuan harga di lakukan,kebebasn untuk menentukan harga independen menjadi berkurang.
a) Penentuan harga horizontal (horizontal price fixing)
penentuan harga secara horizontal terjadi apabila lebih dari satu perusahaan yang berada pada produksi yang sama,dengan demikian sebenarnya saling merupakan pesaing,menentukan harga jual produk mereka dalam tingkat yang sama.
b) Penentuan harga vertical (vertical price fixing)
Penentuan harga secara vertical terjadi apabila suatu perusahaan yang berada dalam tahap produksi tertentu, menentukan harga produk yang harus dijual oleh perusahaan lain yang berada dalam tahap produksi yang lebih rendah. Sebagai contoh sederhana, apabila sebuah perusahaan distributor menentukan harga barang yang harus dijual pada konsumen oleh pengecer terjadilah vertical price fixing.

Praktek-praktek berikut ini merupakan beberapa variasi dari tindakan penentuan harga.
1) Resale Price Maintenance (RPM) Arrangements
Resale price maintenance merupakan praktek pemasaran dalam mana seorang (suatu perusahaan) pengecer atas dasar perjanjian dengan distributor atau produsen setuju untuk menjual barang/jasa dengan harga tertentu atau harga minimum tertentu.

2) vertical maximum price fixing
Mirip dengan RPM arrangements, vertical maximum price fixing, terjadi dalam hal produsen atau distributor suatu produk membuat kesepakatan dengan pengecer yang isinya mewajibkan pengecer itu untuk menjual produk dibawah harga maksimum yang ditetapkan oleh produsen atau distributor nya.

3) consignments
Praktek penjualan berikutnya yang memancing perdebatan pro dan kontra adalah consignments. Praktek consignments (penitipan, konsinyasi) dalam konteks usaha terjadi apabila suatu perusahaan pengecer menjual barang yang secara lagal masih menjual milik produsen dan sebagai imbalannya ia memperoleh komisi penjualan. Yang menimbulkan persoalan bagi produsen adalah menentukan harga produk yang dititipkannya. Memang salah satu prinsip hukum persaingan yang sudah diakui, setidaknya di amerika serikat, adalah bahwa sekali produsen atau distributor telah menjual produknya kepada pengecer, ia tidak bisa lagi menentukan berapa harga jual yang harus dipasang oleh pengecer itu terhadap konsumen. Prinsip ini antara lain dikuatkan melalui putusan atas kasus Dr. Miles Medical Company (1911) dan Albrecht v. herald Company (1968) yang terjadi di amerika serikat.
Dalam hubungan consignments prinsip itu bisa diterobos melalui fakta bahwa meskipun secara nyata barang berada di tangan pengecer, kepemilikan barang tersebut tidak berpindah pada si pengecer.

3. Pembagian pasar secara horizontal (horizontal market divisions)
Pembagian pasar secara horizontal merupakan salah satu cara untuk menghindari persaingan yang bisa diambil oleh perusahaan-perusahaan yang saling bersaing dalam suatu usaha.
Tujuan dari pembagian pasar secara horizontal ini sebenarnya adalah mengurangi persaingan dengan cara menentukan pasar yang bisa dikuasai secara eksklusif oleh masing-masing pesaing. Kalau perusahaan-perusahaan sigaret dalam satu pasar nasional mengadakan perjanjian yang berisi pembagian pasar nasional menjadi pasar-pasar regional dalam mana mereka masing-masing bisa melakukan monopoli didalam pasar regional yang ‘ditagihkan’ untuk mereka. Disamping secara geografik, pembagian pasar bisa pula dilakukan dengan menggunakan criteria lain, konsumen misalnya.

4. Pembatasan Perdagangan Secara Vertical Dengan Menggunakan Instrument Nonharga (Non-Price Vertical Restraints)
Vertical price fixing menunjukkan bahwa perdagangan bisa terhambat ketika perusahaan yang berada pada level usaha tertentu mengikat perusahaan lain pada level usaha dibawahnya dengan cara menentukan harga.
Disamping dengan menggunakan harga, perdagangan secara vertical juga bisa terlambat oleh perjanjian-perjanjian vertical yang menggunakan instrument selain haraga (non-price instrument). Setidaknya ada dua instrument non harga yang bisa dipakai untuk menghambat perdagangan serta sekaligus menghindari persaingan.
a. hambatan berdasarkan wilayah (territorial restraints)
hambatan berdasarkan wilayah bisa terjadi apabila produsen dari suatu produk membuat perjanjian dengan distributor atau pengecer tentang wilayah usaha mereka masing-masing.
Produsen minuman ringan (soft-drink) merupakan salah satu perusahaan yang sering melakukan territorial restraints terhadap wilayah usaha distributor atau pengecernya. Perusahaan raksasa Coca-Cola dan pepsi Cola misalnya, lazim membuat batasan mengenai wilayah usaha setiap perusahaan distributor yang membotolkan (bottling) minumannya. Perusahaan-perusahaan pembotolan itu biasanya sudah ditentukan wilayah distribusinya, terutama untuk menghindari persaingan antar distributor.

b. hambatan berdasarkan pengguna produk (customer restrictions)
didalam hubungan dengan distributor atau pengecer produknya, produsen bisa membuat batasan tentang segmen konsumen mana saja yang bisa dijadikan target penjualan oleh distributor atau pengecernya itu. Langkah ini umumnya dilakukan untuk mencegah supaya distributor atau pengecer tidak menyaingi produsen yang sudah mempunyai segmen konsumen besar tersendiri.

5. Tying-In Arrangements
Tying-in arrangements merupakan salah satu strategi penjualan yang juga berpeluang untuk menggangggu persaingan. Secara sederhana tying-in arrangements bisa didefinisikan sebagai penjualan suatu produk dengan syarat bahwa si pembeli harus juga membeli produk lain yang sebenarnya bisa dibeli oleh pembeli itu dari penjual lain. Persyaratan pembelian ini dianggap bersifat ilegal apabila mengganggu persaingan.
Mengenai tying-in arrangements umumnya hukum persaingan Negara-negara menentukan bahwa pada dasarnya praktek ini tidak dengan sendirinya illegal. Pengecer menawarkan satu kantong terigu merek A setengah harga apabila pembeli juga membeli satu kantong gula pasir merek A merupakan contoh dari tying-in yang diperbolehkan jika perusahaan A sebagai produsen terigu merek A, tidak memegang monnopoli, baik di pasar produk terigu atau pun gula pasir.
Hal lain yang membuat praktek ttying-in bisa dibenarkan adalah jika penjual bisa menunjukkan bahwa tying-in dilakukan atas dasar sensitivitas teknologi yang mengharuskan supaya produk tertentu digunakan untuk menghindari kerusakan.
Alasan efisiensi terkadang juga merupakan yang sering kali bisa diterima di pengadilan. Di Jerman misalnya, dalam kasus Wirtschaft und wettbewerb, pengadilan memperbolehkan tindakan dua surat kabar di Stuttgart yang melakukan praktek tying-in dengan cara mengharuskan pemasang iklan di salah satu surat kabar untuk juga beriklan di surat kabar lainnya.
Di samping tying-in, ada pula praktek lain yang mirip yang disebut full-line forcing. Praktek ini terjadi apabila distributor dari suatu produk harus membeli juga keseluruhan “product line” dari produsen.

6. Exclusive Dealing
Exclusive dealing adalah praktek antara penjual dan pembeli (biasanya retailer) yang berisi kesepakatan bahwa penjual bersedia menjual produknya dengan syarat bahwa pembeli tidak membeli produk pesaing penjual. Jadi, kalau tying-in arrangement berisi keharusan untuk membeli produk lain dari produsen yang sama, exclusive dealing berisi larangan untuk bertransaksi dengan perusahaan pesaing penjual. Kalau diperhatikan, baik tying-in arrangement maupun exclusive dealing akan membawa akibat berupa terhambatnya transaksi perusahaan pesaing. Praktek ini juga disebut sebagai refusal to deal.

7. Diskriminasi harga (price Discrimination)
Diskriminasi harga oleh Graham & Richardson didefinisikan sebagai “the power of a firm to charge different prices to different groups of customers”. Penetapan harga yang lebih murah bagi pelanggan tetap merupakan contoh sederhana dari diskriminasi harga. Umumnya diskriminasi harga ini diterapkan oleh perusahaan yang sedang berupaya memperluas atau membuka pasaran baru bagi produknya.
Dari sisi konsumen, memang praktek diskriminasi harga bisa menguntungkan apabila mereka termasuk sebagai konsumen yang dikenai harga yang lebih rendah. Namun, dilihat dari kondisi persaingan, praktek diskriminasi harga terutama pemberian harga rendah bagi consume tertentu, bisa merupakan praktek yang tidak sehat.
Contohnya, perusahaan A dan B menjual produk yang sama dan saling merupakan pesaing utama di san fransisco. Perusahaan A juga menjual barangnya di Oakland, sedangkan perusahaan B tidak. Apabila perusahaan A mengenakan harga yang berbeda bagi konsumennya di San Fransisco dan di Oakland, tindakan ini mungkin merupakan praktek yang tidak sehat. Kemungkinan yang berpeluang besar untuk terjadi dalam contoh tersebut adalah bahwa perusahaan A akan memberikan harga yang lebih rendah bagi konsumen di San Fransisco, karena ia berharap untuk merebut konsumen pesaingnya. sementara untuk menutup hilangnya keuntungan yang diharapkan diperoleh dari konsumen San Fransisco, ia bisa membebankan pada konsumen di Oakland, tempat dimana ia tidak memiliki saingan yang berarti.
Dalam jangka panjang, jika praktek itu dibiarkan terjadi, besar kemungkinan perusahaan B akan gulung tikar. Praktek permainan harga dengan tujuan mematikan pesaing seperti ini secara khusus disebut predatory pricing.

8. Bid-rigging
Bid-rigging adalah praktek antipersaingan yang bisa terjadi diantara para pelaku usaha yang seharusnya saling merupakan pesaing dalam suatu lelang. Secara sederhana, bid-rigging adalah kesepakatan untuk, alih-alih bersaing, mengatur pemenang dalam suatu penawaran lelang, melalui pengelabuan harga penawaran.

9. Boikot (Boycotts)
Boikot dalam konteks persaingan usaha merupakan tindakan mengorganisir suatu kelompok untuk menolak hubungan usaha dengan pihak tertentu. Dengan demikian, boikot merupakan suatu concerted action (tindakan bersama) yang dilakukan oleh sekelompok pengecer yang menolak membeli produk perusahaan tertentu yang karena suatu alasan tidak mereka sukai.

10. Interlocking Directorates
Ketentuan ini melarang seseorang untuk pada saat yang sama menjadi direktur sari beberapa perusahaan dengan criteria tertentu (diantaranya modal, surplus, dan keuangan). Kekhawatiran utama terhadap praktek ini muncul dari kemungkinan bahwa pemusatan kekuasaan untuk membuat keputusan (decision-making power) bisa digunakan untuk menghindari persaingan.

11. Penyalahgunaan posisi dominan (abuse of dominant position)
Penyalahgunaan posisi dominan sesungguhnya merupakan praktek yang memiliki cakupan luas. Ketika seorang pelaku usaha yang memiliki dominasi ekonomi melalui kontrak mensyaratkan supaya konsumennya tidak berhubungan dengan pesaingnya, ia telah melakukan penyalahgunaan posisi dominan. Demikian juga apabila seorang pelaku usaha yang memegang posisi dominan dengan basis “take it or leave it” membuat penentuan harga di luar kewajaran.
Tentang penyalahgunaan posisi dominan ini Negara-negara memiliki pendekatan yang berbeda-beda. Ada Negara-negara yang ketentuan persaingannya menjelaskan tindakan-tindakan yang masuk dalam kategori ini dan ada pula Negara-negara yang menyerahkan penafsiran tentang tindakan ini semata-mata pada otoritas hukum persaingan.
Jepang merupakan salah satu Negara yang memiliki pengaturan yang cukup rinci mengenai “abuse of dominant position” ini. Fair trade commission of japan (ftcj) selaku otoritas persaingan. Jepang telah menyusun suatu designation of unfair businnes practices. Pasal 14 dari designation ini memuat 5 kategori tindakan yang tergolong dalam penyalahgunaan posisi dominan, yaitu sebagai berikut:
a) mensyaratkan pihak lain untuk melakukan transaksi pembelian barang atau jasa dari perusahaan yang dominan, padahal barang atau jasa itu berbeda dari barang atau jasa yang tegas-tegas menjadi objek transaksi.
a) Mensyaratkan pihak lain untuk melakukan penawaran uang, jasa, atau keuangan ekonomi lain secara terus-menerus kepada perusahaan yang dominan.
b) Membuat atau mengubah syarat-syarat transaksi yang merugikan pihak lain.
c) Menimbulkan kerugian terhadap pihak lain dengan syarat-syarat transaksi atau dengan cara selain yang telah disebutkan diatas.
d) Mensyaratkan supaya pihak lain (perusahaan lain) mengikuti pertunjukkan atau memperoleh persetujuan dari suatu perusahaan dominan didalam menunjuk pengurus perusahaan itu.

Ada satu perbedaan yang cukup mendasar antara jepang dan Negara-negara lain (khususnya uni eropa) didalam memandang praktek penyalahgunaan posisi dominan ini. Artikel 86 perjanjian roma yang menjadi dasar pelarangan penyalahgunaan posisi dominan Negara-negara uni eropa menyatakan bahwa pelarangan itu ditujukan kepada perusahaan yang memegang posisi dominan di pasar (market dominance) dan dengan demikian memiliki kekuatan untuk mengontrol pasar Jepang memiliki pendekatan yang agak berbeda tentang penafsiran “posisi yang dominan”, menurut praktek jepang, “posisi yang dominan” tidak harus dipegang oleh perusahaan yang memiliki dominasi pasar. Alih-alih, ‘posis yang dominan’ ini diartikan dalam konteks level transaksi. Dengan demikian, menurut jepang, suatu perusahaan kecil yang tidak memiliki dominasi pasar pun bisa saja memegang posisi yang dominan, apabila mitra transaksinya jauh lebih kecil dari pada perusahaan itu.
Jadi, bisa dilihat bahwa tujuan pelarangan penyalahgunaan posisi dominan di jepang adalah untuk melindungi perusahaan-perusahaan kecil, sementara tujuan itu di uni eropa terutama adalah untuk melindungi struktur yang lebih luas.

B. Tindakan Persaingan Curang
Tidak setiap Negara membuat perbedaan yang tegas antara ‘tindakan antipersaingan’ di satu sisi dan ‘tindakan persaingan curang’ disisi lain. Keduanya memang bisa dianggap memiliki persamaan dalam arti sama-sama merupakan perilaku usaha yang tidak dikehendaki. ‘tindakan antipersaingan’ adalah tindakan yang bersifat mencegah terjadinya persaingan (anticompetitive) dan dengan demikian mengarah pada terciptanya kondisi tanpa/minim persaingan (monopoli, posisi dominan), sedangkan ‘persaingan curang’ adalah tindakan tidak jujur yang dilakukan dalam kondisi persaingan. Bahkan, pelaku usaha kecil yang tidak memiliki potensi memonopoli pasar bisa saja melakukan tindakan persaingan curang.
Heinz Lampert mentebut tindakan persainga curang sebagai persainngan tidak sehat yang melanggar moral yang baik. Secara nonlimitatif Lampert memberikan contoh tindakan yang tergolong dalam persaingan curang, antara lain sbb:
  • Mempengaruhi konsumen melalui tipuan atau informasi yang menyesatkan.
  • Memalsu merek dagang pihak lain
  • Mengirimkan barang yang tidak di pesan sehingga menyebabkan penerima dalam posisi dipaksa
  • Membuat iklan tandingan yang menjelek-jelekkan pesaing.
  • Menyebarkan informasi palsu tentang pesaing.
  • Melakukan boikot.
  • Penurunan harga secara tidak wajar.
Anderson mengatakan bahwa konsep persaingan yang jujur (fair competition) dan persaingan curang (unfair competition) muncul berkaitan dengan metode persaingan. Hampir sama dengan Lampert yang mengatakan persaingan curang sebagai persaingan yang melanggar moral yang baik. Anderson menegaskan bahwa konsep persaingan curang didasarkan pada pertimbangan etika usaha.
Dengan mengacu pada pengaturan di dalam hukum Amerika Serikat (codes of fair competition and fair trade commission act) Anderson mengidentifikasikan tindakan-tindakan berikut sebagai metode persaingan curang, yaitu:
• Menyebarkan informasi palsu tentang produk pesaing
• Meremehkan produk pesaing
• Menyerang pribadi pesaing
• Mengganggu penjual produk pesaing
• Merusak produk pesaing
• Menghambat pengiriman produk pesaing
• Mengintimidasi konsumen produk pesaing
• Menyuap pembeli produk pesaing
• Mengatur boikot terhadap produk pesaing
• Memata-matai pesaing secara ilegal
• Mencuri rahasia perusahaan produk pesaing
• Mengganggu pesaing melalui pengajuan gugatan palsu
• Membuat kesepakatan untuk menyingkirkan pesaing dari pasar
• Membujuk pekerja perusahaan pesaing untuk mogok.
• Menjual produk dengan harga dibawah biaya harga produksi
• Memberikan pengurangan harga secara tidak wajar, baik secara langsung maupun melalui diskon.

JENIS DAN USAHA BANK

Sebelum menguraikan tentang jenis dan usaha bank, terlebih dahulu kita perlu mengetahui pengertian bank. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak (Pasal 1 angka 2 UU Perbankan 1998).

A. Jenis Bank Berdasarkan Fungsinya
1. Bank Sentral, yaitu Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UU No. 13 tahun 1968 tentangg Bank sentral, kemudian di cabut dengan UU No.23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
2. Bank Umum, yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran (Pasal 1 angka 3 UU Perbankan 1998).
3. Bank Perkreditan Rakyat, yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran (Pasal 1 angka 4 UU Perbankan 1998).
4. Bank Umum yang mengkhususkan diri untuk melaksanakan kegiatan tertentu atau memberikan perhatian yang lebih besar kepada kegiatan tertentu. Hal tersebut dimungkinkan oleh ketentuan pasal 5 ayat (2) UU perbankan 1992.

Yang dimaksud dengan mengkhususkan diri untuk melaksanakan kegiatan tertentu adalah antara lain melaksanakan kegiatan pembiayaan jangka panjang, pembiayaan untuk mengembangkan koperasi, pengembangan pengusaha golongan ekonomi lemah/pengusaha kecil, pengembangan ekspor nonmigas dan pengembangan pembangunan perumahan.
Sedangkan prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam anatara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatanusaha atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaaan berdasarkan psinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jua-beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabah) atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah) atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah iqtina), sebagaimana diatur dalam pasal 1 angka 13 UU Perbankan 1998.

B. Jenis Bank Berdasarkan Kepemilikannya
1. Bank Umum Milik Negara, yaitu bank yang hanya dapat dirikan berdasarkan UU.
2. Bank Umum Swasta, yaitu bank yang hanya dapat didirikan dan menjalankan usahanya setelah mendapat izin dari pimpinan BI. Ketentuan-ketentuan tentang perizinan, bentuk hukum dan kepemilikan Bank Umum Swasta ditetapkan dalam Pasal 16, Pasal 21 dan Pasal 22 UU No. 1992 tentang Perbankan yang kemudian pasal-pasal tersebut telah di ubah dengan UU No. 10 tahun 1998. sedangkan syarat-syarat untuk pendiriannya sebelum ini diatur dalam Sk menteri keuangan RI No.220/K.ML.017/1993 tentang Bank Umum. Setelah diundangkannya UU No. 10 tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan pada 10 November 1998, maka pendirian bank umum diatur dengan SK Direksi BI No. 32/33/KEP/DIR tentang Bank Umum tanggal 12 Mei 1999.
3. Bank Campuran, yaitu bank umum yang didirikan bersama oleh satu atau lebih bank umum yang berkedudukan di Indonesia dan didirikan oleh warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia yang dimiliki sepenuhnya oleh warga negara Indonesia, dengan satu atau lebih bank yang berkedudukan di luar negeri.
4. Bank Milik Pemerintah Daerah, yaitu Bank Pembangunan Daerah. Berdasarkan Pasal 54 UU Perbankan 1992 dimana dinyatakan bahwa UU No. 13 tahun 1962 tentang ketentuan-ketentuan pokok Bank Pembangunan Daerah dinyatakan hanya berlaku untuk jangka waktu 1 tahun mulai berlakunya UU tersebut, maka bentuk Bank Pembangunan Daerah (BPD) tersebut akan disesuaikan menjadi Bank umum sesuai dengan UU Perbankan 1992.

C. Bank Muamalat Indonesia
Selain jenis-jenis bank yang tersebut di atas, perlu pula dikemukakan satu bank yang bersifat khusus, yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI). BMI adalah bank yang menerapkan sistem dan operasi perbankan berdasarkan syariah Islam. Operasi perbankan berdasarkan syariah Islam adalah dengan mengikuti tata cara berusaha dan perjanjian berusaha yang dituntun oleh dan yang tidak dilarang oleh Al-quran dan hadis. Dan UU No.10 tahun 1998 pun telah menampung dasar hukum operasional Bank Syariah dalam perubahan atas pasal 1 UU N0. 7 tahun 1992 dengan menyatakan bahwa Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran ( Pasal 1 angka 3 UU No.10 tahun 1998). Gagasan pendirian bank yang beroperasi berdasarkan syariah islam ini dimulai sejak lokakarya bank tanpa bunga yang di adakan di Cisarua, Bogor pada tanggal 18 s.d 20 Agustuss 1990. ide pertamanya berasal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), kemudian didukung dan diprakarsai oleh beberapa pejabat penting pemerintah pengusaha-penguaha yang berpengalaman di bidang perbankan, bahkan kemudian Presiden Soeharto dan wakil presiden Sudharmono bersedia menjading pendukung utama BMI. Didalam pertemuan antara tim Perbankan MUI dengan Presiden Soeharto pada tanggal 27 Oktober 1991 di Bina Graha ditetapkan nama Bank Muamalat Indonesia, dan kemudian akta pendirian BMI ditandatangani di Sahid Jaya Hotel pada tanggal 1 November 1991.
Tujuan Pendirian BMI adalah :
1. Meningkatkan kualitas kehidupan sosial ekonomi masayarakat terbanyak bangsa Indonesia, hingga makin mempersempit kesenjangan sosial ekonomi dan dengan demikian akan melestarikan pembangunan nasional antara lain melalui :
a. Peningkatan kesempatan kerja
b. Peningkatan kuantitas dan kualitas kegiatan usaha
c. Peningakatan pendapatan masayarakat banyak
2. Meningkatkan partisipasi masayarakat banyak dalam proses pembangunan terutama dalam bidang ekonomi keuangan, karena :
a. Masih banyak masyarakat yang enggan berhubungan dengan bank.
b. Masih banyak masyarakat yang menganggap bunga bank sebagai riba
c. Dengan keberhasilan pembangunan di bidang agama (khusunya Islam) makin banyak masyarakat yang menganggap bunga bank sebagai riba.
3. Mengembangkan lembaga bank dan sistem perbankan yang sehat berdasarkan efisiensi dan keadilan, mampu meningkatkan partisipasi masyarakat banyak, hingga menggalakkan usaha-usaha ekonomi rakyat dengan antara lain memperluas jaringan lembaga keuangan perbankan ke daerah-daerah terpencil.

Produk Penghimpunan dana BMI antara lain :
1. Giro Wadi’ah, yaitu simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, sarana perintah pembayaran lain atau dengan cara pemindahbukuan. Kepada penyimpan giro wadi’ah dapat diberikan bonus atau jasa giro, sesuai dengan jumlah dana yang ikut berperan dalam pembentukan laba bank.
2. Deposito Mudharabah, yaitu simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu sesuai dengan perjanjian antara penyimpan dengan bank. Kepada penyimpan deposito mudharabah diberi hak untuk memperoleh pembagian laba bank, misalnya 70% untuk penyimpan dana 30% untuk bank yang diperhitungkan sesuai dengan peranan dananya dalam pembentukan laba bank.
3. Tabungan Mudharabah, yaitu simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan sesuai dengan syarat-syarat tertentu yang telah disepakati antara penyimpan dengan bank. Penyimpan tabungan mudharabah diberi hak untuk memperoleh bagian laba bank, misalnya 50% untuk penyimpan dan 50% untuk bank, yang diperhitungkan sesuai dengan peranan dananya dalam pembentukan laba bank.
Variabel yang menentukan besarnya pembagian laba pada tabungan ini sama dengan deposito mudharabah, namun karena pada tabungan dimungkinkan adanya mutasi, maka variabel besarnya dana yang disimpan diperhitungkan menurut saldo rata-ratanya.

Produk Penyaluran Dana BMI antara lain :
1. Kredit mudharabah (Qiradh), yaitu pinjaman modal investasi dan atau modal kerja, sedangkan pengusaha menyediakan usaha dan manajemennya dengan perjanjian atas dasar bagi hasil.
2. Kredit Murabahah yaitu kredit di mana bank menyediakan pinjaman dana untuk membeli barang apa pun yang dibutuhkan oleh debitor, yang dibayar kembali pada saat jatuh tempo.
3. Kredit Bai’Bithaman Ajil, yaitu kredit di mana bank menyediakan pinjaman dana untuk membeli barang apa pun yang dibutuhkan debitor, yang dibayar kembali pada waktu jatuh tempo secara cicilan.
4. kredit Al-Qardh’ul Hasan, yaitu kredit antara bank dengan nasabah yang dianggap layak menerima pinjaman lunak, baik itu pengusaha agar usahanya dapa bangkit dan mampu melaksanakan kewajiban-kewajibannya maupun untuk perseorangan yang berada dalam keadaan terdesak. Penerima kredit hanya di wajibkan mengembalikan pokok pinjaman saja pada saat jatuh tempo dengan daya beli yang sama seperti sewaktu menerima pinjaman. Tujuan pemberian kredit ini terutama untuk memenuhi kebutuhan nasabah akan uang tunai, baik untuk hal-hal yang bersifat konsumtif (uang sekolah, pengobatan) maupun yang produktif (modal kerja awal).

Jasa-jasa lainnya :
1. Jual-beli Valas = Al Sarf
2. Pemberian Jaminan = Al kafalah, Al Dhamamah
3. Penerbitan L/C = Al Wakalah
4. dan jasa-jasa lainnya sebagaimana yang dapat diberikan oleh bank umum

jenis-jenis kredit dengan sistem tersebut di atas dimungkinkan oleh perumusan kredit dalam UU Perbankan 1992 yang menyatakan :
Kredit adalah Penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang meminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan (Pasal 1 angka 12 UU Perbankan 1992)

Perumusan tersebut merupakan penyempurnaan bunyi perumusan tentang kredit yang dicantumkan Pasal 1 mengenai UU poko perbankan No. 14 tahun 1967 yang telah di cabut dengan UU perbankan 1992 tersebut.
Kemudian dengan diundangkannya UU No. 10 tahun 1998 pengertian kredit disempurnakan dengan perumusan sebagai berkut :
Kredit adalah Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang meminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian jumlah bunga (Pasal 1 angka 12 UU Perbankan 1992)

Sedangkan untuk menampung bank beroperasi dengan prinsip syariah ditambahkan perumusan tentang pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, yaitu penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan terebut setalah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil (Pasal 1 angka 12 UU Perbankan 1998)

D. Usaha Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat
Sesuai dengan pasal 6 UU No. 7 tahun 1992 yang kemudian diubah dengan UU No. 10 tahun 1998, maka usaha-usaha yang dapat dilakukan bank meliputi :
1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
2. Memberikan Kredit.
3. Menerbitkan surat pengakuan utang.
4. Membeli, menjual atau menjamin atas resiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnyya;
a. surat-surat wesel termasuk wesel diakseptasi oleh bank yang masa berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud.
b. Surat pengakuan utang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan surat-surat termaksud
c. Kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah
d. Sertifikat Bank Indonesia
e. Obligasi
f. Surat dagang berjangka waktu sampai dengan satu tahun
g. Instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai dengan satu tahun.
5. Memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun kepentingan nasabah
6. Menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana kepada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek atau sarana lainnya.
7. Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga.
8. Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga.
9. Melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak.
10. Melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek.
11. Membeli melalui pelelangan agunan baik semua maupun sebagian dalam hal debitor tidak memenuhi kewajiban-kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya.
12. Melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit dan kegiatan wali amanat.
13. Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah (dalam UU No. 10 tahun 1998 menjadi: Menyediakan pembiayaan dan atau melakukan ekgiatan lain berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia).
14. Melakukan kegiatan lain yang lazim dialakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dengan UU No. 10 tahun 1998, pasal 6 huruf k UU perbankan 1992 tersebut dihapus dan diciptakan pasal baru yaitu pasal 12A yang berbunyi:
1. Bank Umum dapat membeli sebagian atau seluruh aguanan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan kuasa atau menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal nasabah debitor tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya.
2. ketentuan mengenai tata cara pembelian agunan dan pencairannya sebagaimana dimaksud dalam aya (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Selain melakukan kegiatan usaha tersebut di atas, bank umum dapat pula :
1. Melakukan kegiatan dalam valuta asing dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh BI.
2. Melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank atauu perusahaan lain di bidang keuangan, seperti sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi, serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan, dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh BI.
3. Melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagal kredit, dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya, dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh BI (dalam UU No. 10 tahun 1998 menjadi: Melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan kredit atau kegagalan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh BI)
4. Bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus dana pensiun sesuai dengan ketentuan dalam perundang-undangan dana pensiun yang berlaku.

Sedangkan usaha-usaha Bank Perkreditan rakyat (BPR) antara lain:
1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
2. Memberikan Kredit
3. Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah.
4. Menempatkan dananya dalam bentuk SBI, deposito berjangka, sertifikat deposito dan atau tabungan pada bank lain.

E. Jenis Dana Yang Dapat Dihimpun Bank
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan yang kemudian diubah dengan UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan, jenis dana yang dapat dihimpun oleh bbank adalah sebagai berikut :
1. Giro, yaitu simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayarannya, atau dengan pemindahbukuan (Pasal 1 UU Perbankan 1998)
2. Deposito, yaitu simpanan yang penarikanya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian nasabah pernyimpan dengan bank (Pasal 1 UU Perbankan 1998)
3. Sertifikat Deposito, yaitu simpanan dalam bentuk deposito yang setifikat bukti penyimpanannya dapat dipindahtangankan (Pasal 1 UU Perbankan 1998)
4. Tabungan, yaitu simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, atau alt lainnya yang dipersamakan dengan itu ( pasal 1 UU Perbankan 1998)

LEMBAGA-LEMBAGA PEMBIAYAAN

A. Pendahuluan
Dengan semakin maraknya dunia bisnis, tidak bisa kita elakkan lagi adanya kebutuhan dana yang diperlukan baik olh kalangan usahawan perseorangan maupun usahawan yang tergabung dalam suatu badan hukum di dalam mengembangkan usahanya maupun di dalam meningkatkan mutu produknya, sehigga dapat dicapai suatu keuntungan yang memuaskan maupun tingkat kebutuhan bagi kalangan lainnya. Untuk membutuhkan dana tersebut, saat ini semakin banyak orang yang mendirikan suatu lembaga pembiayaan yang bergerak di bidang penyediaan dana ataupun barang yang akan dipergunakan oleh pihak lain di dalam mengembangkan usahanya. Awal mulanya keberadaan ibutuhkannya lembaga pembiayaan, pertama kali disebutkan di dalam keputusan Presiden Nomor 61 tahun 1988 tanggal 20 Desember 1988, dan dijabarkan lebih lanjut melalui keputusan menteri keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988 tanggal 20 Desember 1988 tentang ketentuan dan tata cara pelaksanaan lembaga pembiayaan. Menurut pasal 1 kepres di atas dijelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan lembaga pembiayaan adalah suatu badan usaha yang di dalamnya melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat barang modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari masayarakat.
Adapun bidang-bidang usaha yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan antara lain meliputi bidang-bidang seperti :
- Sewa guna usaha (Leasing) - Usaha Kartu Kredit, dan
- Modal ventura - Pembiayaan Konsumen
- Perdagangan surat berharaga - Anjak Piutang (Factoring)
Di dalam melakukan bidang-bidang usaha tersebut, tentunya akan dilakukan oleh suatu badan usaha, yang biasanya dilakukan oleh perusahaan dengan bentuk PT ( Perseroan Terbatas ). Untuk itu perlu diketahui satu persatu apa arti dari perusahaan yang bergerak pada masing-masing usaha di atas. Pengertian dari masing-masing bidang usaha tersebut adalah sebagai berikkut :
a. Perusahaan sewa guna usaha (leasing Company) adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara finance lease maupun operating lease untuk digunakan oleh penyewa guna usaha selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala.
b. Perusahaan modal ventura (ventura capital company) adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan yang menerima bantuan pembiayaan (investee company) untuk jangka waktu tertentu.
c. Perusahaan perdagangan surat berharga (securities company) adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan dalam bentuk perdagangan surat berharga.
d. Perusahaan anjak piutang (factoring Company) adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan dalam bentuk pembelian dan atau pengalihan serta pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek suatu perusahaan dari transaksi perdagangan dalam atau luar negeri.
e. Perusahaan kartu kredit (credit card company) adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan untuk membeli barang dan jasa dengan menggunakan kartu kredit.
f. Perusahaan pembiayaan konsumen (consumers finance sompany) adalah badan usaha yang melakukan pembiayaan pengadaan barang untuk kebutuhan konsumen dengan sistem pembayaran angsuran atau berkala.

B. Jenis-jenis Lembaga Pembiayaan
1. Sewa Guna Usaha (Leasing)
Kata leasing sebenarnya berasal dari kata to lease (bahasa Inggris) yang berarti menyewakan. Leasing sebagai suatu jenis kegiatan dapat dikatakan masih baru atau muda dalam kegiatan yang dilakukan di Indonesia, yaitu baru dipakai pada tahun 1974. Di Indonesia sendiri sudah ada beberapa perusahaan leasing yang statusnya suatu lembaga keuangan nonbank.
Fungsi leasing sebenarnya hampir setingkat dengan bank, yaitu sebagai suatu sumber pembiayaan jangka menengah (dari satu tahun hingga lima tahun). Ditinjau dari segi perekonomian nasional. Leasing telah memperkenalkan suatu metode baru untuk memperoleh capital equipment dan menambah modal kerja.
Sampai saat ini belum ada undang-undang khusus yang mengatur tentang leasing. Namun demikian, praktek bisnis leasing telah berkembang dengan cepat, dan untuk mengantisipasi kebutuhan agar secara hukum menpunyai pegangan yang jelas dan pasti, pada tahun 1971 telah dikeluarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian, dan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor : kep-122/MK/IV/1/1974; No. 32/M/SK/2/1974 dan No. 30/Kpb/I/1974, tertanggal 7 Februari 1974.
Menurut keputusan bersama di atas, yang dimaksudkan dengan leasing adalah setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan, untuk suatu jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih (optie) bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama.
Seperti diuraikan diatas, kegiatan leasing dapat dilakukan secara finance maupun secara operating lease.
* Finance lease artinya kegiatan sewa guna usaha di mana penyewa guna usaha pada akhir masa kontrak mempunyai hak opsi untuk membeli objek sewa guna usaha berdasarkan nilai sisa yang disepakati bersama.
* Operating lease adalah kegiatan sewa guna usaha di mana penyewa guna usaha tidak mempunyai hak opsi untuk membeli objek sewa guna usaha.

Sebelum memulai kegiatan usaha di bidang leasing ini, akan didahului dengan suatu kontrak antara pihak penyewa dan pihak yang menyewa. Dengan demikian dalam usaha leasing tentunya terdapat pihak-pihak yang bersangkutan dlam perjanjian leasing yang terdiri dari :
1. Lessor, yaitu pihak yang menyewakan barang, dapat terdiri dari beberapa perusahaan. Pihak penyewa ini disebut juga sabagai investor, equity holders, owner participants atau trusters owners.
2. Lesse, yaitu pihak yang menikmati barang terebut dengan membayar sewa guna yang mempunyai hak opsi.
3. Kreditur atau Lender atau disebut juga debt holders atas loan participants dalam transaksi leasing. Mereka umumnya terdiri dari bank, insurance company (perusahaan asuransi), trust, yayasan.
4. Supplier, yaitu penjual dan pemilik barang yang disewakan. Supplier ini terdiri dari perusahaan (manufactures) yang berada di dalam negeri atau yang mempunyai kantor pusat di luar negeri.

2. Modal Ventura
Dengan banyaknya paket deregulasi yang telah dikeluarkan oleh pemerintah dewasa ini, pada dasarnya mempunyai inti untuk memudahakan dan memberi peluang untuk mengembangkan perekonomian dan memacu pertumbuhan ekonomi dalam segala sektor terutama sektor-sektor yang menurut pengamatan pemerintah cukup produktif untuk dimanfaatkan.
Salah satu dari sekian banyak deregulasi adalah munculnya satu lembaga pembiayaan baru dengan nama modal ventura (ventura capital). Modal ventura merupakan salah atu alternatif yang dapat dimanfaatkan oleh suatu perusahaan, karena seperti diketahui bahwa pemerintah sudah membuat suatu komitmen dn rencana yang menyangkut pembangunan jangka panjang (PJPT tahap II), yang selalu dan senantiasa berupa mempertahankan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Hal ini sejalan dengan asas trilogi pembangunan yang menekankan kepada pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas nasional, karenanya segala sarana penyediaan dana terus diperluas termasuk mengoptimalkan peranan dan lembaga pembiayaan.
Secara resmi, lembaga modal ventura baru ada di Indonesia sejak adanya Keppres No.61 tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan. Yang diatur lebih lanjut dengan keputusan Menteri Keuangan Nomor 1252/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan tata cara pelaksanaan Lembaga pembiayaan. Ketentuan di atas merupakan landasan berpihak yang cukup kuat dan merupakan satu-satunya peraturan pelaksanaan yang ada bagi para pemodal (investor) yang ingin melakukan usaha atau bisnisnya.
Yang dimaksud dengan perusahaan modal ventura (ventura capital company) adalah suatu badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan pasangan usaha (invester company) untuk jangka panjang waktu tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan perusahaan pasangan usaha ( PPU) adalah suatu perusahaan yang memperoleh pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal dari perusahaan modal ventura (PMV).
Lembaga modal ventura juga merupakan suatu alternatif lembaga pembiayaan lain di luar bank. Dikatakan demikian karena memang lembaga ini di dalam memberikan dananya bagi pihak lain berbeda dengan bank. Lembaga modal ventura tidak memerlukan benda jaminan (collacteral) untuk dapat mengeluarkan dananya. Sedangkan bank dalam memberikan kreditnya mewajibkan nasabahnya untuk memberikan jaminan yang diperlukan sebagai suatu syarat yang wajib.
Seperti diketahui tidak semua pihak dapat dan selalu mudah menyediakan benda jaminan (collacteral) untuk bisa mendapatkan dananya di dalam mengembangkan usahanya terlebih para pengusaha menengah dan kecil.
Jenis pembiayaan yang dialkukan modal ventura dapt dibedakan atas 3 (tiga macam), yaitu sebagai berikut :
b. Conventional Loan, Pinjaman jenis ini bisa diberikan tanpa jaminan dan bisa pula disertai dengan jaminan.
c. Conditional Loan, dalam model ini, Modal ventura turut menikmati laba, bila proyek yang dibiayai menanggung keuntungan dan turut pula menanggung rugi seandainya perusahaan yang dibiayainya ternyata mengalami kerrugian.
d. Equity Investment, yaitu modal vnetura yang menyertakan saham untuk mendukung kegiatan perusahaan yang baru berdiri dan antara modal ventura dengan perusahaan yang dibiayai terjalin kerja sama di bidang manajemen.

Untuk Indonesia tampaknya saat ini belum ada perbedaan yang jelas dari ketiga jenis modal ventura tersebut. Selain itu jangka waktunyapun masih dibatasi sampai 10 tahun saja.
Hubungan antara perusahaan modal ventura dan perusahaan pasangan usaha in sebenarnya juga merupakan hubungan kepercayaan (trust) antara kedua belah pihak. Kepercayaan ini merupakan landasan yang kuat dari segala kerja sama untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

3. Anjak Piutang
Lembaga anjak piutang atau factoring merupakan lembaga pembiayaan yang dalam melakukan usaha pembiayaannya dilakukan dalam bentuk pembelian dan atau pengalihan serta pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek suatu perusahaan dari transaksi perdagangan dalam atu luar negeri. Pada jasa factoring terbagi dalam 2 (dua ) bagian, yaitu jasa keuangan dan jasa nonkeuangan. Dalam hal jasa keuangan biasanya perusahaan faktor dapat memberi pre-financing sampai 80% dari piutang dagang. Sedangkan untuk jasa non-financing, perusahaan faktor melayani pengelolaan kredit bagi kepentingan klien.
Lembaga anjak piutang yang lebih dikenal dengan sebutan factoring ini merupakan salah satu lembaga pembiayaan yang diperlukan dalam dunia bisnis. Usaha anjak piutang sebenarnya sudah dikenal sejak 2.000 tahun yang lalu. Pada saat itu bentuk usaha factoring memang masih sederhana. Pihak faktor biasanya bertindak sebagai agen penjualan yang sekaligus pemberi perlindugnan kredit. Kegiatan semacam ini dikategorikan sebagai general factoring.
Tampaknya belum banyak kalangan pengusaha di Indonesia yang memanfaatkan jasa factoring dalam mendukung usahanya, baik itu transaksi ekspro-impor maupun masalah pendanaan lainnya. Dalam praktek baru pengusaha besar jasa yang memnfaatkan jasa ini.
Factoring memang tidak dikenal dalam sistem hukum dagang dan hukum perdata Indonesia. Akan tetapi mengingat hukum perdata sendiri memperbolehkan kebebasan berkontrak berdsarkan Pasal 1338 KUPerdata praktek usaha factoring ini tentu saja sah. Oleh karena usaha factoring ini masih baru, serta belum kuatnya landasan hukum, tentu merupakan salah satu kendala yang menghambat perkembangan usaha factoring.
Umumnya perusahaan factoring mendapatkan keuntungan dari segi biaya yang dikenakan, yang besarnya antara 3% dari jumlah piutan yang dibeli. Akan tetapi, besar kecilnua persentase, tergantung pula dari mudah tidaknya piutang tersebut ditagih, dan berat tidaknya risiko bagi pihak penagih mana kala menagih utangnya. Sedangkan keuntungan bagi pihak penjual piutang (kreditur dari pihak terutang), jelas akan memudahkan kelancaran jalannya usaha, yaitu karena mengalirnya dana secara terus-menerus.

4. Usaha Kartu Kredit
Perusahaan kartu kredit (credit card company) adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan untuk membeli barang dan jasa dengan menggunakan kartu kredit.
Kartu kredit yang lebih dikenal dengan credit card ini adalah suatu kartu plastic yang berukuran hampir sama dengan ukuran KTP, yang diterbitkan oleh issuer (penerbit) dan dipergunakan oleh cardholder (pemegang kartu) dan berfungsi sebagai alat pembayaran pengganti uang tunai dan pihak penerima adalah kaum usahawan/pedagang (merchant) yang telah ditentukan oleh penrbit. Selain itu credit cardi-pun dapat diuangkan oleh pemegangnya kepada penerbitnya.
Pada kartu kredit, setiap transaksi atau pencairan yang dilakukan pemegang kartu kredit tersebut cukup dengan menunjukkan kartu kreditnya untuk dicatat dan diperiksa kebenarannya. Sedangkan kartu kreditnya tetap dikembalikan kepada pemegangnya, dan sama sekali tidak dapat dipindah-pindahkan kepada pihak lain.
Penerbitan kartu kredit itu sendiri sebenarnya merupakan satu pemberian fasilitas kredit oleh suatu bank penerbit kepada pemegang kartu. Pemberian fasilitas ini tidaklah berdasarkan akte-akte secara otentik melainkan hanya dengan akte-akte di bawah tangan dan tidak mutlak harus ada jaminan kredit. Akan tetapi bukan berarti kartu kredit mudah diperoleh oleh siapa saja, melainkan harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang sangat selektif yang ditentukan oleh penerbit. Selain itu transaksi-transaksi yang dilakukan oleh pemegang kartu kredit dapat melampaui pagu kredit bahkan dapat melampaui jumlah jaminan (depositonya), sehingga tidak cukup mengover kreditnya, maka kebonafiditas pemegang kartu kredit akan merupakan syarat yang sangat penting.
Dengan memperhatikan kondisi di atas, tampak bahwa hukum yang berlaku yang mengatur masalh kartu kredit adalah hukum kebebasan berkontrak antara para pihak berlandaskan Pasal 1338 KUPerdata dikatakan demikian oleh karena belum ada pengaturan yang khusus yang mengatur masalah kartu kredit tersebut.
Sekalipun belum ada dasar hukum yangg akan menjamin kepastian hukum yang khusus mengatur masalah kartu kredit ini, tidak menjadikan hambatan bagi masyarakat untuk melakukan transaksi-transaksi bisnis sehari-hari. Kesemuanya ini tentu dilandasi oleh itikad baik masing-masing pihak untuk bertransaksi dan menghindarkan kemungkinan sengketa atau perselisihan.

5. Pembiayaan Konsumen
Lembaga pembiayaan konsumen (consumers finance) adalah suatu lembaga yang dalam melakukan pembiayaan pengadaan barang untuk kebutuhan konsumen dilakukan dengan sistem pembayaran secara angsuran atau berkala.
Bila ada seseorang yang menginginkan barang-barang konsumen seperti mobil, pesawat TV, radio, tape recorder, lemari Es, tempat tidur, dan lain sebagainya, sementara penghasilannya tidak cukup untuk membeli secara lunas, maka tidak perlu kecil hati. Sebab telah ada sebuah lembaga yang dinamakan lembaga pembiayaan konsumen (consumer sfinance) yang dapat membantu seseorang untuk mendapatkan barang-barang konsumsi tersebut. Lembaga pembiayaan konsumen ini akan memberikan kemudahan bagi mereka yang memiliki dana tersebut, bahkan kemudahannya melebihi kemudahan yang diberikan oleh bank.
Kehadiran lembaga pembiayaan konsumen ini sebenarnya secara informal sedah tumbuh sejak lama sebagai bagian dari aktivitas trading. Namun secara formal baru di akui sejak tahun 1988 melalui SK Menteri Keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988 yang secara formal mengangkat kegiatan usaha pembayaran ke permukaan, sebagai bagian resmi sektor jasa keuangan.
Lembaga pembiayaan konsumen in berbeda dengan bank, walaupun kedua-duanya merupakan sumber dana yang diperlukan seseorang. Bila pembiayaan konsumen akan melihat barang-barang apa saja yang dibiayai. Maka pada kredit bank, pihak bank cukup memandang siapa konsumen yang akan mendapat bantuan dana. Kedua lembaga ini mempunyai kesamaan seperti, objeknya sama yaitu barang-barang konsumsi, dan mengenakan bunga sebagai biaya.
Bahwa setiap konsumen menginginkan adanya kemudahan, keringanan, pelayanan yang cepat, waktu yang singkat, prosedur yang tidak birokratis dan tidak berbelit-belit. Oleh karena itu, beberapa hal akan menjadi pertimbangan bagi konsumen untuk memilih lembaga pembiayaan mana yang dapat membantu untuk mendapatkan barang-barang konsumen yang akan dipergunakan, yaitu antara lain sebagai berikut :
 Persyaratan yang tidak rumit
 Proses penelitian konsumen oleh bank/lembaga keuangan
 Jangka waktu untuk memutuskan
 Uang muka yang diminta banyak atau sedikit ?
 Jangka waktu pembayaran yang dimungkinkan. Sebab konsumen ada yang minta waktu pendek, dan ada yang miau jangka panjang
 Berapa jumlah rupiah yang dapat diberikan
 Berapa suku bunga yang ditawarkan, apakah cukup kompetitif/bersaing atau tidak
 Adakah biaya-biaya lain seperti biaya administrasi, provisi, notaris, dll.
HUBUNGAN-HUBUNGAN BISNIS

A. Pendahuluan
Di dalam melaksanakan kegiatan bisni ssehari-hari, ternyata dapat dilakukan dengan berbagai macam cara. Ada yang melakukannya dengan bekerja sama dengan pihak lokal dan ada pula yang melakukannnya dengan pihak asing. Ada yang melakukannya untuk pribadi, dan ada pula yang melakukannya untuk kepentingan perusahaan.
Hubungan-hubungan bisnis demikian tentunya dilakukan karena mempunyai kepentingan dan tujuan sendiri-sendiri. Secara pasti, tujuan mereka melakukan hubungan bisnis tidak lain dimaksudkan untuk saling mencari keuntungan satu sama lain. Sealin itu ada tujuan lain seperti untuk mempercepat proses pemasaran produknya ke masyarakat luas. Ada pula yang bertujuan membantu pihak lain karena tidak diizinkannya pihak lain memasarkan produknya secara langsung di suatu Negara. Namun ada pula yang melakukannya karena ketidakmampuan untuk berbisnis, ataupun masalah permodalannya. Serta tujuan-tujuan lainnya. 
Sebagai contoh dalam bisnis franchise, para pihak berhubungan dengan maksud selain untuk memasarkan produk bisnis franchise, juga di lain pihak karena adanya pihak lain yang tidak mempunyai modal. Demikian ul dengan hubungna bisnis yang berbentuk joint venture. Bisnis ini merupakan kerja sama antara dua pihak karena adanya saling kepentingan masing-masing pihak.
Untuk memperjelas arti hubungan bisnis dan beragamnya bentuk hubungan bisnis, pada bab ini akan diuraikan beberapa hubungan bisnis yang cukup menarik dan selalu menjadi pembicaraan masyarakat luas serta sering menjadi telaah lebih lanjut, yaitu hubungan bisnis dalam bentuk keagenan/distributor, franchise, joint venture, dan usaha bangun guna serah atau lebih dikenal dengan nama BOT (Built Operate and Transfer).

B. Jenis-Jenis Hubungan Bisnis
1. Keagenan atau Distributor
Latar belakang terjadinya hubungan bisnis keagenan ini disebabkan oleh adanya pihak luar negeri yang tidak diperbolehkan untuk menjual barangnya (produksinya) secara langsung, baik ekspor/impr ke Indonesia. Untuk itu pihak asing yang biasa disebut dengan prisipal harus menunjuk agen-egennya atau perwakilannya di Indonesia untuk memasarkan produknya.
Hubungan bisnis dengan nama keagenan dan dengan nama distributor aadalah berbeda. Namun dalam praktek bisnis sehari-hari keduanya biasa digabungkan. Bila seseorang/badan bertindak sebagai agen, berarti ia bertindak untuk dan atas nama prinsipal. Sedangkan bila seseorang/badan bertindak sebagai distributor, berarti ia bertindak untuk dan atas nama dirinya sendiri.
Dalam kegiatan bisnis, keagenan biasanya diartikan sebagai suatu hubungan hukum di mana seseorang/pihak agen diberi kuasa bertindak untuk dan atas nama orang/pihak prinsipal untuk melaksanakan transaksi bisnis dengan pihak lain. Jadi kriteria utama untuk dapat dikatakan adanya suatu keagenan adalah wewenang yang dipunyai oleh agen tadi yang bertindak untuk dan atas nama prinsipal.
Sedangkan, seorang distributor tidak bertindak untuk dan atas nama pihak yang menunjuknya sebagai distributor (biasanya supplier, atau manufacture). Seorang distributor bertindak untuk dan atas nama sendiri.
Pertanyaan berikutnya adalah apakah perbedannya antara agen/distributor dengan makelar dan komisioner? Makelar (broker) adalah seorang yang pekerjaannya adalah bertindak sebagai perantara dalam suatu transaksi bisnis antara pihak-pihak yang tersangkut. Makelar disini tidak mempunyai wewenang untuk bertindak dan atas nama salah satu pihak dalam suatu transaksi. Sedangkan apabila seseorang ingin melaksanakan jual beli, baik jual beli barang ataupun jasa melalui perantara, dengan memberikan kuasa kepada perantara tadi untuk bertindak atas namanya tapi atas tanggungjawab sendiri dengan menerima komisi atas jasa-jasanya, perantara tadi disebut dengan komisioner.
Dalam perjanjian bisnis yang diadakan antara agen/distributor dengan prisipalnya, biasanya dilakukan dengan membuat suatu kontrak tertulis yang isinya ditentukan oleh para pihak sesuai dengan kepentingan para pihak tersebut, asal saja tidak bertentangan dengan hukum dan kesusilaan sesuai Pasal 1388 KUHPerdata.
Seorang prinsipal, misalnya, dapat merujuk seseorang untuk menjadi agennya dengan hanya berisi beberapa baris kalimat saja. Si agen kemudian membubuhkan tanda tangannya sebagai tanda telah mengethui dan menerima adanya penunjukkan dirinya sebagai agen dari prisipal tersebut.
Apabila agen/distributor ingin mengalihkan haknya kepada pihak lain sebagain maupun seluruhnya, tentu dibolehkan sesuai dengan isi Pasal 1388 KUHPerdata mengenai hal kebebasan berkontrak. Di sini para pihak bebas menentukan apakah hak dan kewajiban mereka akan dialihkan atau tidak.
Dalam praktek perjanjuan yang diadakan antara para pihak ternyata terdapat 3 (tiga) kemungkinan variasi yang terjadi, yaitu sebagai berikut:
1. Kemungkinan pertama, dinyatakan bahwa masing-masing pihak baik prinsipal maupun agen tidak berhak untuk mengalihkan sebagian atas seluruh hak dan kewajibannya, tanpa adanya persetujuan dari pihak lai.
2. Kemungkinan kedua, prinsipal boleh mengalihkan apa yang menjadi hak dan kewajibannya kepada pihak ketiga , tetapi agen tidak.
3. Kemungkinan ketiga, prinsipal boleh mengalihkan apa yang menjadi hak dan kewajibannya kepada pihak ketiga, akan tetapi agen hanya diperbolehkan untuk mengalihkan hak dan kewajibannya apabila diperoleh persetujuan untuk itu dari pihak prinsipal.

Dalam perjanjian juga para pihak biasanya akan merumuskan secara jelas peristiwa apa-apa saja yang menjadi perselisihan (events of defaults) yang memberikan dasar bagi masing-masing pihak untuk memutus perjanjian keagenan/distributor di antara mereka. Biasanya yang dikategorikan sebagai events of defaults antara lain adalah :
1. Apabila agen distributor lalai melaksanakan kewajibannya, sebagaimana tercntum pada perjanjian keagenan/distributor termasuk kewajiban melakukan pembayaran.
2. Apabila agen/distributor melaksanakan apa yang sebenarnya tidak boleh dilakukan.
3. Apabila para pihak jatuh pailit;
4. Keadaan-keadaan lain yang menyebabkan para pihak tidak dapat melaksanakan apa yang menjadi kewajiban-kewajibannya.

Bila para pihak ingin memutuskan perjanjian, tetap harus dpierhatikan ketentuan Pasal 1266 KUHPerdata yang pada dasarnya menyatakan bahwa pembatalan suatu perjanjian hanya dapat dilakukan setelah adanya keputusan pengadilan. Dengan perkataaan lain, prinsipal yang bermaksud memutuskan perjanjian keagenan dengan agennya, tidak cukup hanya dengan mengirimkan pemberitahuan secara tertulis saja akan maksudnya itu. Prinsipal harus mengajukan gugatan ke pengadilan negeri yang berwenang dan menunggu adanya keputusan pengadilan yang membenarkan dilakukannya pemutusan perjanjian keagenan.
Oleh karena sistem hukum perjanjian kita menganut sistem ekonomi terbuka, maka dalam praktek untuk menghindari prosedur tadi, para pihak dengan tegas menyatakan di dalam salah satu pasal perjanjiannya bahwa untuk perjanjian keagenan, mereka setuju untuk mengenyampingkan berlakunya ketentuan Pasal 1266 KUHPerdataa. Dengan mengeyampingkan Pasal 1266 ini, para pihak dapat melakukan pemutusan perjanjian keagenan dengan ketentuan-ketentuan yang mereka perjanjikan dalam perjanjiannya.
Hal ini perlu diperhatikan dalam suatu perjanjian keagenan/distributor adalah adanya pilihan hukum yang akan dipakai para pihak. Sebab dalam hukum internasional kita kenal adanya asas pilihan hukum ( choice of law)

2. Franchise
Franchise pandang bukan sebagai suatu usaha (bisnis), melainkan sebagai suatu konsep, metode ataupun system pemasarannya yang dapat digunakan oleh suatu perusahaan (franchisor) untuk mengembangkan pemasarannya tanpa melakukan inbestasi langsung pada outlet (tempat) penjualan, melainkan dengan melibatkan kerja sama pihak llain (franchiseei) selaku pemilik outlet sosok ini merupakan konsep tradisional.
Kata franchise sebenarnya berasal dari bahasa Perancis yang berarti bebas, atau lebih lengkap lagi bebas dari perhambaan (free form servitude). Dalam bidang bisnis franchise berarti kebebasan yang diperoleh seorang wirausaha untuk menjalankan sendiri suatu usaha tertentu di wilayah tertentu.
Franchise ini merupakan suatu metode untuk melakukan bisnis, yaitu suatu metode untuk memasarkan produk atau jasa ke masayarakat. Lebih spesifik lagi, franchising adalah suatu konsep pemasaran. Sedangkan pakar lain melihat franchise tidak hanya sekadar suatu metode atau konsep tetapi lebih merupakan suatu system. Suatu metode atau konsep yang dapat dioperasionalkan dalam kerangka atau tatanan yang membuat hubungan lebih teratur dan terarah, antarsubsistem yang satu dengan subsistem yang lain. Oleh karenanya franchise diartiakn sebagai suatu system pemasarran atau system usaha untuk memasarkan produk atau jasa tertentu.
Dapat juga disebutkan bahwa franchise adalah hubungan berdasarkan kontrak lisensi yang menimbulkan cara memasarkan barang atau jasa dengan memberi unsur kontrol tertentu kepada pemasok (franchisor) sebagai imbalan bagi yang diperoleh oleh pihak yang mendapat hak (franchisee) untuk menggunakan merek dan nama braang franchisor.
Perusahaan yang memberikan lesensi disebut Franchisor dan penyalurnya disebut franchisee. Perusahaan kecil mendefinisikan franchising sebagai suatu system dari distribusi di mana suatu perusahaan yang dimiliki oleh seseorang diselenggarakan seolah-olah merupakan bagian dari suatu rangkaian yang besar, lengkap dengan nama produk, merek dagang, dan prosedur penyelenggaraan standar.
Ada 4 (empat) hal yang menonjol dalam hal pemasaran konsep franchise yaitu product, price, place/distribution dan promotion (4P). keempat hal yang spesifik ini terutama tampak pada aspek distribusinya yang dalam operasionnalnya melibatkan kerja sama dengan pihak lain yang independen.
Franchise dapat didefinisikan sebagai suatu system pemasaran atau distribusi barang dan jasa, di mana sebuah perusahaan induk (franchisor) memberikan kepada individu atau perusahaan lain yang berskala kecil dan menengah (franchisee), hak-hak istimewa untuk melaksanakan suatu system usaha tertentu dengan cara yang sudah ditentukan, selama waktu tertentu, di suatu tempat tertentu.
British Franchise Association (BFA) mendefinisikan franchise sebagai berikut: franchise adalah contractual licence yang diberikan oleh suatu pihak (franchisor) kepada pihak lain (franchisee ) yang :
a. Mengizinkan franchisee untuk menjalankan usaha selama periode franchise berlangsung, suatu usaha tertentu yang menjadi milik franchisor.
b. Franchisor berhak untuk menjalankan Kontrol yang berlanjut selama periode franchise.
c. Mengharuskan franchisor untuk memberikan bantuan pada francchisee dalam melaksanakan usahanya sesuai dengan subjek franchisenya (berhubungan dengan pemberian pelatihan, merchandising atau lainnya).
d. Mewajibkan franchisee untuk secara periodik selama periodik franchise berlangsung, membayar sejumlah uang sebagai pembayaran atas franchise atau produk atau jasa yang diberiakn oleh franchisor kepada franchisee.
e. Bukan merupakan transaksi antara perrusahaan induk (holding company) dengan cabangnya atau antara cabang dari perusahaan induk yang sama, atau antara individu dengan perusahaan yang dikontrolnya.

Setiap hubungan bisnis yang ada selalu saja ada faktor kerugian dan keuntungannya. Demikian juga dengan bisnis franchise ada keuntungan dan kerugian yang terjadi di dalamnya. Keuntungan dari bisnis franchise dapat dikemukakan sebagai berikut :
1. Diberikannya latihan dan pengarahan yang diberikan oleh franchisor, latihan awal ini diikuti oleh pengawasan yang berlanjut.
2. Diberikannya bantuan financial dari franchisor. Biaya permulaan tinggi, dan sumber modal dari pengusaha sering terbatas. Bila prospek usaha dianggap suatu risiko yang baik, franchisor sering memberikan dukungan financial kepada franchisee.
3. Diberikannya penggunaan nama perdagangan, produk atau merek yang telah dikenal, nama-nama seperti Wendy’s, perwakilan Walgreen, Dairy Queen, Holiday Inn, Mc Donald’s dan NAPA tentu telah dikenal secara luas.

Sedangkan kerugian dalam bisnis franchise antara lain sebagai berikut :
1. Adanya program latihan yang dijanjikan oleh franchisor kadangkala jauh dari apa yang diinginkan oleh francchisee.
2. Perincian setiap hari tentang penyelenggaraan perusahaan sering diabaikan.
3. Hanya sedikit sekali kebebasan yang diberikan kepada franhisee untuk menjalankan akal budi mereka sendiri. Mereka mendapatkan diri mereka terikat pada suatu kontrak yang merlarang unruk membeli peralatan baik peralatan maupun perbekalan dari tempat lain.
4. Pada bisnis franchise jarang mempunyai hak untuk menjual perusahaan kepada pihak ketiga tanpa terlebih dahulu menawarkannya kepada franchisor dengan harga yang sama.

3. Penggabungan Perseroan Terbatas (Joint Venture)
Kata joint Venture jika diterjemahkan dapat berarti berusaha secara bersama-sama. Usaha bersama tersebut dapat mencakup semua jenis kerja sma. Seorang ahli bernama Friedman membedakan adanya dua macam joint venture yaitu :
1. Joint venture yang tidak melaksanakan penggabungan modal, sehingga kerja sama tersebut hanya terbatas pada know-how yang dibawa ke dalam joint venture. Know-how di sini mencakup “technical servise agreements, franchise and brand use agreemenr, contruction and other job performance ccontract, management contracts and rental agreements”. Menurut Friedman, penggabungan know-how ke dalam joint venture biasanya merupakan babak pertama menuju kerja sama yang lebih permanen, yang pada saatnya akan beralih pada kerja sama berdasarkan penggabungan modal.
2. Jenis kedua adalah joint venture yang di tandai oleh partisipasi modal. Untuk membedakan jenis pertama dengan jenis kedua, Friedman menggunakan istilah joint venture untuk yang pertama, dan equity joint venture untuk jenis yang kedua.

Bila kita lihat pengertian joint venture seperti yang dikemukakan. Tampaknya Friedman agak berlainan dengan yang dikenal dalam praktek sehari-hari, karena partisipasi sesuatu perusahaan dalam usaha perusahaan sudah digolongkan pada joint venure.
Dalam pengertian sehari-hari, joint venture seringkali merupakan suatu perusahaan baru yang didirikan bersama-sama oleh beberapa perusahaan yang berdiri sendiri dengan menggabungkan potensi usaha termasuk Know-how dan modal, dalam perbandingan yang telah ditetapkan menurut perjanjiann atau kontrak yang telah sama-sama disetujui.
Istilah joint venture sering juga dinyatakan dengan istilah lain seperti Foregin Collaborations, International Enterprise, dan sebagainya. Pada hakikatnya istilah tersebut ialah usaha joint venture seperti yang disebut diatas, walaupun multinational enterprise mencakup Negara-negara yang lebih besar jumlahnya, seperti perusahaan-perusahaan raksasa Amerika, Eropa, dan Jepang, yang bekerja sama dengan modal-modal domestic di mana-mana. Misalnya : General Motors Ford Motor, Standar Oil, General Electric, Hitachi dan sebagainya.
Dari pengertian di atas, dapat disebutkan bahwa usaha joint venture memiliki tanda-tanda sebagai berikut :
a. Adanya perusahaan baru yang didirikan bersama-sama oleh beberapa perusaahan lain.
b. Adanya modal perusahaan joint venture yang terdiri dari know-how dan modal saham yang disediakan oleh perusaahaan-perusahaan pendiri. Kekuasaan dalam joint venture sesuai dengan banyaknya saham yang ditanam oleh masing-masing perusaahaan pendiri.
c. Bahwa perusahaan-perusahaan pendiri joint venture tetap memiliki eksistensi dan kemerdekaan masing-masing.
d. Khusus untuk Indonesia seperti yang kita kenal sampai sekarang, joint venture merupakan kerja sama antara perusahaan domestic dan perusaahaan asing, tidak menjadi soal apakah modal pemerintah atau modal swasta.

Ada beberapa alasan yang dapat dikemukankan mengapa pelu dilakukan usaha penggabungan suatu perseroan. Alasan-alasan dimaksudd antara lain sebbagai berikut :
1. Untuk mengambil alih suatu perusahaan yang sedang berjalan untuk memperluas suat pasaran.
2. Untuk memperoleh keuntungan-keuntungan pajak.
3. Untuk mendapatkan sumber-sumber baru bagi barang-barang.
4. Untuk memperoleh cadangan unag tunai.

Perlu dikemukakan bahwa penggbungan joint venture berbeda dengan teori yang ada pada literature yang menyebutkan adanya 3 (tiga) bnetuk penggabungan usaha suatu badan hukum yaitu konsolidasi, merger, dan akuisisi.
 Konsolidasi berarti bergabungnya dua atau lebih suatu badan usaha menjadi suatu badan usaha baru. Misalnya : PT A, PT B, PT C dilebur menjadi satu perseroan yang baru misalnya menjadi PT D.
 Merger berarti penggabungan beberapa badan usaha, di mana sampai saat ini peraturan mengenai merger hanya ada untuk usaha di bidang perbankan saja sesuai dengan SK Menteri Keuangan Nomor: 278/KMK.01/1989 tanggal 25 maret 1989 dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor: 21/15/BPPD. Misalnya : PT Bank A, PT Bank B, PT Bank C bergabung dengan PT Bank A. PT Bank B, dan PT Bank C dibubarkan/dimatikan (dissolve).
 Akuisisi berarti pengambilalihan suatu badan usaha oleh badan usaha lain dengan tetap menggunakan badan usaha yang lama.

4. Usaha Bangun Guna Serah BOT (Built Operate and Transfer)
Lembaga BOT sebagai bentuk hubungan bisnis yang terakhir ini tampaknya masih jarang dikenal oleh masyarakat luas. Namun dalam praktek bisnis sehari-hari bentuk lembaga BOT sudah mulai berjalan dan menjadi perhatian yang menarik yang menarik untuk ditelusuri lebiih jauh.
Menurut Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 248/KMK.04/1995 tanggal 2 Juni 1995, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Bangun Guna Serah adalah suatu bentuk perjanjian kerja sama yang dilakukan antara pemegang hak atas tanah dengan investor, yang menyatakan bahwa pemegang hak atas tanah memberikan hak kepada investor untuk mendirikan bangunan selama masa perjanjian bangun guna serah (BOT), dan mengalihkan kepemilikan bangunan tersebut kepada pemegang hak atas tanah setelah masa guna serah berakhir.
Hubungan bisnis bangun guna serah ini akan membawa keuntungan bagi kedua belah pihak. Di satu pihak si pemilik tanah tidak mempunyai modal untuk membangun di atas tanah tersebut. Sedangkan si pemilik modal (investor) mempunyai dana, namun tidak memiliki tanah untuk membangun. Dengan demikian lembaga ini membawa kepentingan yang sama-sama baik bagi kedua belah pihak. Hal ini tentu saha harus jelas disebutkan klausula-klausula perjanjian bangun guna serah yang akan mereka buat. Dan perjanjian yang akan dibuat oleh si pemilik maupun si investor tentunya akan berpedoman pada ketentuan hukum yang berlaku seperti KUHPerdata seta adanya itikad baik untuk melaksanakannya.
Bila ditilik dari sudut perpajakannya, ternyata hubungan bisnis bangun guna serah telah diatur secara jelas dalam SK Menteri di atas, Misalnya dapat disebutkan bahwa biaya mendirikan bangunan di atas tanah yang dikeluarkan oleh investor merupakan nilai perolehan investor untuk mendapatkan hak menggunakan atau hak mengusahakan bangunan tersebut, dan jumlah biaya yang dikeluarkan tersebut oleh investor diamortisasi (disusutkan) dalam jumlah yang sama besar setiap tahunnya selama masa perjanjian bangun guna serah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar