Hukum Bisnis (Business Law)
A. Pengertian Hukum Bisnis
Istilah
“hukum bisnis” sebagai terjemahan dari istilah “Business Law” sangat
banyak di pakai dewasa ini, baik di kalangan akademis maupun di kalangan
para artikel. Merkipun begitu, banyak istilah lain yang sungguhpun
tidak sama persis sama artinya, tetapi mempunyai ruang lingkup yang
mirip-mirip dengan istilah hukum bisnis. Istilah-istilah terhadap hukum
bisnis terebut sebagai berikut :
1. Hukum Dagang (sebagai terjemahan dari “Trade Law”)
2. Hukum Perniagaan (sebagai terjemahan dari commercial Law )
3. Hukum Ekonomi (sebagai terjemahan dari “economic law”)
istilah
“hukum dagang atau “hukum perniagaan” merupakan istilah dengan cakupan
yang sangat tradisional dan sangant sempit. Sebab, pada prinsipnya kedua
istilah tersebut hanya melingkupi topic-topik yang terdapat dalam kitab
undang-undang hukum dagang (KUHD) saja. Padahal, begitu banyak topik
hukum bisnis yang tidak diatur atau tidak lagi diatur dalam kitab
undang-undang hukum dagang (KUHD). Misalnya, mengenai perseroan
terbatas, kontrak bisnis, pasar modal, merger dan akuisisi, perkreditan,
hak atas kekayaan intelektual, perpajakan, bisnis internasional dan
masih banyak lagi. Sementara dengan istilah “hukum ekonomi cakupannya
sangat luas, berhubungan dengan adanya pengertian ekonomi dalam arti
mikro dan makro, ekonomi pembangunan dan ekonomi sosial, ekonomi
manajemen dan akuntansi, yang kesemuanya tersebut mau tidak mau harus di
cakup oleh istilah “hukum ekonomi”. Jadi, kita dilihat dari segi
batasan ruang lingkupnya, maka jika istilah hukum dagang atau hukum
perniagaan ruang lingkupnya sangat luas. Karena itu, memang istilah yang
ideal adalah “hukum bisnis” itu sendiri.
Selain
itu, jika istilah “hukum dagang” atau istilah “hukum perniagaan”, kedua
istilah tersebut sudah sangat tradisional, bahkan sudah
menjadiklasik”,maka dengan istilah “hukum bisnis” penekanannya adalah
kepada hal-hal yang modern yang sesuai dengan perkembangannya yang
mutakhir. Itulah sebabnya, dibandingkan dengan istilah-istilah lainnya
tersebut, istilah “hukum bisnis” saat ini lebih popular dan sangat
banyak digunakan orang, baik di Indonesia maupun di banyak Negara lain,
bahkan oleh masyarakat internasional.
Sebenarnya,
apakah yang dimaksud dengan istilah “hukum bisnis” itu ? sebagaimana
diketahui bahwa istilah “hukum bisnis” terdiri dari 2 (dua) kata, yaitu
kata “hukum” dan kata “bisnis”. Banyak definisi sudah diberikan kepada
kata “hukum” meskipun tidak ada 1 (satu) definisi pun yang dapat
dikatakan lengkap dan menggambarkan arah arti hukum secara utuh.
Sedangkan
terhadap istilah “bisnis” yang dimaksudkan adalah suatu urusan atau
kegiatan dagang, industri atau keuangan yang dihubungkan dengan produksi
atau pertukaran barang atau jasa (Abdurrachman, 1991:150), dengan
menempatkan uang dari para entrepreneur dalam risiko tertentu dengan
usaha tertentu dengan motif untuk mendapatkan keuntungan (Friedman, jack
P., 1987:66).
Dengan
demikian, yang dimaksud dengan hukum bisnis adalah suatu perangkat
kaidah hukum (termasuk enforcement-nya) yang mengatur tentang tata cara
pelaksanaan urusan atau kegiatan dagang, industri atau keuangan yang
dihubungkan dengan produksi atau pertukaran barang atau jasa dengan
menempatkan uang dari para entrepreneur dalam risiko tertentu dengan
usaha tertentu dengan motif (dari entrepreneur tersebut) adalah untuk
mendapatkan keuntungan tertentu.
Adapun yang merupakan ruang lingkup dari hukum bisnis ini, antara lain adalah sebagai berikut :
1. Kontrak Bisnis
2. Jual beli
3. Bentuk-bentuk perusahaan
4. Perusahaan go public dan pasar modal
5. Penanaman modal asing
6. Kepailitan dan likuidasi
7. Merger dan akuisisi
8. Perkreditan dan pembiayaan
9. Jaminan hutang
10. Surat berharga
11. Perburuhan
12. Hak atas kekayaan intelektual
13. Anti monopoli
14. Perlindungan konsumen
15. Keagenan dan distribusi
16. Asuransi
17. Perpajakan
18. Penyelesaian sengketa bisnis
19. Bisnis internasional
20. hukum pengangkutan (darat, laut, udara, dan multimodal)
B. Hukum Bisnis di Indonesia
Sebenarnya,
dasar-dasar hukum bisnis sudah lama sekali ada di Indonesia. Paling
tidak, dasar hukum yang tertulis sudah ada dalam kitab Undang-undang
Hukum Dagang dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang mulai
diberlakukan di Indonesia sejak tahun 1848 berdasarkan asa konkodansi.
Bahkan, dasar-dasar dari hukum bisnis yang sangat tradisional sudah
terlebih dahulu ada, baik dalam hukum adat (seperti hukum
kontrak/perjanjian adat), atau hukum jual beli dagang secara sederhana
yang mengatur interaksi jual beli rakyat Indonesia dengan para saudagar
asing kala itu, seperti dengan saudagar-saudagar Portugis Belanda, Arab,
Hindustan, dan lain-lain.
Namun demikian, dasar hukum dari hukum bisnis di Indonesia yang tertulia adalah sebagai berikut:
1. KUH Dagang yang belum banyak di ubah.
2. KUH dagang yang sudah banyak berubah.
3. KUH Dagang yang sudah diganti dengan Perundang-undangan yang baru.
4. KUH Perdata yang belum banyak diubah.
5. KUH Perdata yang sudah banyak berubah.
6. KUH Perdata yang sudah diganti dengan Perundag-undangan yang baru.
7. Perundang-undangan yang tidak terikat dengan KUH Dagang maupun KUH Perdata.
Berikut ini penjelasan dari masing-masing kategori tersebut, yaitu sebagai berikut:
1. KUH Dagang yang belum banyak di ubah
Masih
banyak ketentuan dalam KUH Dagang yang pada prinsipnya belum berubah
yang mengatur tentang berbagai aspek dari hukum bisnis, meskipun sudah
barang tentu sudah banyak dari ketentuan tersebut yang sudah usang
dimakan zaman. Ketentuan-ketentua dalam KUH Dagang yang pada prinsipnya
masih berlaku adalah pengaturan tentang hal-hal sebagai berikut:
a. Keagenan dan distributor (makelar dan komisioner)
b. Surat berharga (wesel, cek dan aksep)
c. Pengangkutan laut
2. KUH Dagang yang sudah banyak berubah
Disamping
itu, masih ada ketentuan dalam KUH Dagang yang pada prinsipnya masih
berlaku, akan tetapi telah banyak berubah yang mengatur tentang berbagai
aspek dari hukum bisnis. Ketentuan-ketentuan dalam KUH Dagang yang pada
prinsipnya masih berlaku, tetapi telah banyak berubah adalah pengaturan
tentang hal-hal berikut:
a. Pembukuan Dagang
b. Asuransi
3. KUH Dagang yang sudah diganti dengan Perundang-undangan yang baru
Selanjutnya,
ada juga ketentuan dalam KUH Dagang yang telah dicabut dan diganti
dengan perundang-undangan yang baru sehingga secara yuridis formal tidak
berlaku lagi. Yakni ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang berbagai
aspek dan hukum bisnis berupa:
a. Perseroan Terbatas
b. Pembukuan Perseroan
c. Reklame dan penuntutan kembali dalam kepailitan
4. KUH Perdata yang belum banyak diubah
Kemudian,
masih ada ketentuan dalam KUH Perdata yang pada prinsipnya belum
berubah yang mengatur tentang berbagai aspek dari hukum bisnis.
Ketentuan-ketentuan dalam KUH Perdata yang pada prinsipnya masih berlaku
adalah pengaturan tentang hal-hal sebagai berikut:
a. Kontrak
b. Jual Beli
c. Hipotik (atas Kapal)
5. KUH Perdata yang sudah banyak berubah
Disamping
itu, masih ada ketentuan dalam KUH Perdata yang pada prinsipnya masih
berlaku, tetapi telah banyak berubah yang mengatur tentang berbagai
aspek dari hukum bisnis. Ketentuan-ketentuan dalam KUH Perdata yang pada
prinsipnya masih berlaku, tetapi telah banyak berubah adalah pengaturan
tentang hal sebagai berikut:
- Perkreditan (Perjanjian Pinjam_meminjam)
6. KUH Perdata yang sudah diganti dengan Perundang-undangan yang baru
Selanjutnya,
ada juga ketentuan dalam KUH Perdata yang telah dicabut dan diganti
dengan perundang-undangan yang beru sehingga secara yuridis formal tidak
berlaku lagi. Yakni ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang berbagai
aspek dari hukum bisnis berupa:
a. Hak tanggungan (dahulu hipotik atas tanah)
b. Perburuhan
7. Perundang-undangan yang tidak terkait dengan KUH Dagang maupun KUH Perdata
Banyak
juga ketentuan perundang-undang an Indonesia yang mengatur berbagai
facet dari hukum bisnis yang tidak erikat, baik dengan KUH Dagang maupun
dengan KUH Perdata. Ketentuan yang tidak terikat dengan KUH Perdata
atau KUH Dagang tersebut, antara lain adalah ketentuan-ketentuan tentang
hal-hal sebagai berikut:
a. Perusahaan Go Public dan pasar modal
b. Penanaman modal asing
c. Kepailitan dan likuidasi
d. Akusisi dan merger
e. Pembiayaan
f. Hak atas kekataan intelektual (HAKI)
g. Anti monopoli
h. Perlindungan konsumen
i. Penyelesaian sengketa bisnis
j. Bisnis internasional
KONTRAK BISNIS
A. Pengertian
Dalam
tampilannya yang klasik, untuk istilah kontrak ini sering disebut
dengan istilah “perjanjian”, sebagai terjemahan dari “agreement” dalam
bahasa inggris, atau “overeenkomst” dalam bahsa Belanda. Di samping itu,
ada juga istilah yang sepadan dengan istilah “kontak”, yaitu istilah
“transaksi” yang meerupakan terjemahan dari istilah Inggris
“transaction”. Namun demikian, istilah “kontrak” (sebagai terjemahan
dari istilah Inggris “contract”) adalah paling modern, paling luas dan
paling lazim digunakan, termasuk pemakainnya dalam dunia bisnis, dan
hukum yang mengetur tentang kontak itu di sebut dengan “hukum kontrak”.
Ada beberapa pengertian yang dimaksud dengan kontrak:
- kontrak adalah suatu kesepakatan yang diperjanjikan (promissory agreement) diantara 2 (dua) atau lebih pihak yang dapat menimbulkan, memodifikasi, atau menghilangkan hubungan hukum. (Black, Henry Campbell, 1968: 394).
- kontrak sebagai suatu perjanjian atau serangkaian perjanjian di mana hukum memberikan ganti rugi terhadap wanprestasi dari kontrak tersebut, dan oleh hukum, pelaksanaan dari kontrak tersebut dianggap merupakan suatu tugas yang harus dilaksanakan.
- Kontrak adalah suatuu perbuatan di mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih(KUH Perdata Pasal 1313)
- Kontrak adalah suatu "peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal ". (Subekti, 1983:1)
B. Syarat Sahnya Kontrak
Berdasarkan
Pasal 1338 ayat (1) jelas bahwa perjanjian yang mengikat hanyalah
perjanjian yang sah yaitu haruslah memenuhi persyaratan yuridis
tertentu, Supaya sah pembuatan perjanjian harus mempedomani Pasal 1320
KUH Perdata.
Pasal 1320 KUH Perdata menentukan empat syarat sahnya perjanjian:
1. Kesepakatan
Yang
dimaksud dengan kesepakatan di sini adalah adanya rasa ikhlas atau
saling memberi dan menerima atau sukarela di antara pihak-pihak yang
membuat perjanjian tersebut. Kesepakatan tidak ada apabila kontrak
dibuat atas dasar paksaan, penipuan atau kekhilafan.
2. Kecakapan
Kecakapan
di sini artinya para pihak yang membuat kontrak haruslah orang-orang
yang oleh hukum dinyatakan sebagai subyek hukum. Pada dasarnya semua
orang menurut hukum cakap untuk membuat kontrak. Yang tidak cakap adalah
orang-orang yang ditentukan hukum, yaitu anak-anak, orang dewasa yang
ditempatkan di bawah pengawasan (curatele), dan orang sakit jiwa.
Anak-anak
adalah mereka yang belum dewasa yang menurut Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan belum berumur 18 (delapan belas) tahun.
Meskipun belum berumur 18 (delapan belas) tahun, apabila seseorang telah
atau pernah kawin dianggap sudah dewasa, berarti cakap untuk membuat
perjanjian.
3. Hal tertentu
Hal
tertentu maksudnya objek yang diatur kontrak tersebut harus jelas,
setidak-tidaknya dapat ditentukan. Jadi tidak boleh samar-samar. Hal ini
penting untuk memberikan jaminan atau kepastian kepada pihak-pihak dan
mencegah timbulnya kontrak fiktif. Misalnya jual beli sebuah mobil,
harus jelas merk apa, buatan tahun berapa, warna apa, nomor mesinnya
berapa, dan sebagainya. Semakin jelas semakin baik. Tidak boleh misalnya
jual beli sebuah mobil saja, tanpa penjelasan lebih lanjut.
4. Sebab Yang Dibolehkan
Maksudnya
isi kontrak tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang
sifatnya memaksa, ketertiban umum, dan atau kesusilaan. Misalnya jual
beli bayi adalah tidak sah karena bertentangan dengan norma-norma
tersebut. KUH Perdata memberikan kebebasan berkontrak kepada pihak-pihak
membuat kontrak secara tertulis maupun secara lisan. Baik tertulis
maupun lisan mengikat, asalkan memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam
Pasal 1320 KHU Perdata. Jadi, kontrak tidak harus dibuat secara
tertulis.
C. Asas Asas Kontrak
Sebagaimana kita ketahui dalam ilmu hukum dikenal beberapa asas hukum terhadap suatu kontrak, antara lain :
1. Asas Kontrak sebagai Hukum Mengatur
Hukum
mengatur (aanvullen recht) adalah peraturan-peraturan hukum yang
berlaku bagi subjek hukum, misalnya para pihak dalam suatu kontrak. Akan
tetapi, ketentuan hukum seperti ini tidak mutlak berlakunya, karena
jika para pihak mengatur sebaliknya, maka yang berlaku adalah apa yang
diatur oleh para pihak tersebut. Jadi, peraturan yang bersifat umum
mengatur dapat disimpangi oleh para pihak. Pada prinsipnya hukum kontrak
termasuk kategori hukum mengatur, yakni sebagian besar (meskipun tidak
menyeluruh) dari hukum kontrak tersebut dapat disimpangi oleh para pihak
dengan mengaturnya sendiri. Oleh karena itu, hukum kontrak ini disebut
hukukm yang mempunyai sistem terbuka (open system). Sebagai lawan dari
hukum mengatur adalah hukum yang memaksa (dwingend recht, mandatory).
Dalam hal ini yang dimaksud dengan hukum memaksa adalah aturan hukum
yang berlaku secara memaksa atau mutlak, dalam arti tidak dapat
disimpangi oleh para pihak yang terlibat dalam suatu perbuatan hukum,
termasuk oleh para pihak dalam suatu kontrak.
2. Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract)
Asas
ini merupakan konsekuensi dari berlakunya asas kontrak sebagai hukum
mengatur. Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan asas kebebasan
berkontrak adalah suatu asas yang mengajarkan bahwa dalam suatu kontrak
para pihak paa prinsipnya bebas untuk membuat atau tidak membuat
kontrak, demikian juga kebebasanya untuk mengatur sendiri isi kontrak
tersebut. Asas kebebasan berkontrak ini dibatasi oleh rambu-rambu hukum
sebagai berikut:
a. harus memenuhi syarat sebagai suatu kontrak
b. tidak dilarang oleh undang-undang
c. tidak bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku
d. harus dilaksanakan dengan itikad baik
3. Asas Pacta Sunt Servanda
Istilah
”pacta sunt servanda” mempunyai arti bahwa janji itu mengikat, yang
dimaksud dengan asas kebebasan berkontrak ini ialah bahwa kontrak yang
dibuat secara sah oleh para pihak tersebut secara penuh sesuai isi
kontrak tersebut. Istilah lain dari asas ini adalah ”my word is my
bonds”, yang artinya dalam bahasa Indonesia bahwa jika sapi dipegang
talinya, jika manusia dpegang mulutnya, mengikat secara penuh atas
kontrak atas kontrak yang dibuat oleh para tersebut oleh hukum
kekuatanya dianggap sama saja dengan kekuatan mengikat dari suatu
undang-undang. Oleh karena itu, apabila suatu pihak dalam kontrak yang
telah dibuatnya oleh hukum disediakan ganti rugi atau bahkan pelaksaan
kontrak secara paksa.
4. Asas Konsensual
Yang
dimaksud dengan asas konsensual dari suatu kontrak adalah bahwa jika
suatu kontrak telah dibuat, maka dia telah sah dan mengikat secara
penuh, bahkan pada prinsipnya persyaratan tertulis pun tidak disyaratkan
oleh hukum, kecuali untuk beberapa jenis kontrak tertentu, yang memang
dipersyaratkan syarat tertulis.
5. Asas Obligatoir
Asas
obligatori adalah suatu asas yang menetukan bahwa jika suatu kontrak
telah dibuat, maka para pihak telah terikat, tetapi keterikatan itu
hanya sebatas timbulnya hak dan kewajiban semata-mata, sedangkan
prestasi belum dapat dipaksakan karena kontrak kebendaan (zakelijke
overeenkomst) belum terjadi. Jadi, jika terhadap kontrak jual beli
misalnya, maka dengan kontrak saja, hak milik belum berpindah, jadi baru
terjadi kontrak obligatoir saja. Hak milik tersebut baru dapat
berpindah setelah adanya kontrak kebendaan atau sering disebut serah
terima (levering). Hukum kontrak di Indonesia memberlakukan asas
obligatoir ini karena berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Kalaupun hukum adat tentang kontrak tidak mengakui asas obligatoir
karena hukum adat memberlakukan asas kontrak riil, artinya suatu kontrak
haruslah dibuat secara riil, dalah hal ini harus dibuat secara terang
dan tunai. Kontrak harus dilakukan di depan pejabat tertentu, misalnya
di depan penghulu adat atau ketua adat, yang sekaligus juga dilakukan
levering-nya. Jika hanya sekedar janji saja, seperti dalam sistem
obligatoir, dalam hukum adat kontrak semacam ini tidak mempunyai
kekuatan sama sekali.
D. Menyusun Kontrak Bisnis
Banyak
orang bisnis tidak menyadari bagaimana pentingnya peran yang dimainkan
soleh seorang business lawyer dalam suatu negosiasi transaksi bisnis.
Sehingga, mereka baru daatang ke lawyer setelah timbul sengketa. Padahal
dalam banyak hal, sengketa tersebut umumnya dapat dielakkan jika saat
permulaan proses pembuatan kontrak sudah diikutsertakan lawyer. Keadaan
nasi yang telah menjadi bubur ini sangat sering terjadi dewasa ini. Baik
jika terjadi negosiasi antara sesama orang bisnis domestik, apalagi
jika salah satu pihaknya adalah orang asing. Bahkan, jika salah satu
pihak adalah pihak asing, pihak domestik mestilah ekstra hati-hati.
Karena biasanya pihak asing tersebut sudah berkonsultasi terlebih dahulu
dengan lawyernya, sehingga kedudukannya dari segi legal sudah
benar-benar safe and kuat. Celakanya, dalam suatu kontrak, semakin kuat
kedudukan salah satu pihak, semakin besar pula ancaman terhadap pihak
lainnya.
1. Teknik Negosiasi
Agar
negosiasi bisnis berjalan dengan baik, maka yang mesti hadir di meja
negosiasi adalah mereka yang menguasai seluk beluk bisnis plus lawyer.
Mereka yang mewakili kepentingan bisnis akan melihat dari aspek
bisnisnya, sementara lawyer akan melihat dari aspek hukum dan
formulasinya ke dalam draft kontrak. Untuk itu kepada para lawyer
sendiri dituntut untuk tidak hanya menguasai ilmu hukum kontrak, tetapi
juga menguasai dasar-dasar bisnis yang dinegosiasikan. Misalnya, kalau
negosiasi mengenai kontrak joint veture produksi barang barang
elektronik, lawyer tersebut juga harus mengerti tentang bisnis
elektronik yang bersangkutan. Tidak perlu mendetil, tetapi cukup
dasar-dasarnya saja.
Disamping
itu, jika salah satu pihak merupakan pihak asing. Lawyernya juga
dituntut untu bisa berbahasa inggris secara sempurna. Speaking,
listening, writing and reading. Banyak juga terjadi dalam praktek ,
ketika lawyer domestik berhadapan mitra negosiasinya yang membawa lawyer
asing, maka pihak domestic hanya “nrimo” saja sambil angguk-angguk
kepala. Ini biasanya disebabkan karena penguasaan bahasa inggris yang
minim, tidak menguasai teknis dan bisnis bidang yang di negosiasi,
ataupun kurang persiapan sebelum datang ke meja negosiasi.
Malahan
dewasa ini, bagi seorang lawyer yang datang ke meja negosiasi,
diharapkan pula untuk bisa cepat dan mulus. Karena itu, apakah law firm
ataupun lawyer sendiri sudah mesti menyisihkan dananya untuk membeli
perangkat portable computer, yang memang sudah merupakan kebutuhan
pokoknya.
Bahwa
yang namanya negosiasi itu mempunyai teknik-teknik tersendiri. Hal itu
disamping merrupakan bakat, tetapi juga dapat dipelajari, lewat
pengalaman orang lain ataupun lewat pengalaman sendiri. Harus dihindari
adanya situasi “kalah-menang” sebagai akibat negosiasi. Negosiasi “win
to win” sudah merupakan mode dalam dunia bisnis.
Sering
kali terjadi, para lawyer bertahan dengan kaku pada masalah-masalah
yang tidak prinsipil. Bahkan dengan masalah-masalah marginal tersebut,
bisa menyebabkan negosiasi gagal. Ataupun terpaku pada suatu deadlock.
Padahal justru yang dituntut pada seorang lawyer adalah suatu alternatif
pemecahan masalah. Semakin banyak alternatif, semakin baik bagi suatu
negosiasi. Bagi lawyer asing, hal tersebut tidak menjadi masalah, karena
sudah sejak di bangku kuliah di fakultas hukum, mereka dirangsang untuk
mencari sebanyak mungkin alternatif. Lain halnya dengan lawyer
domestik, yang di bangku kuliah hukum diajari secara dokmatis, tanpa
merangsang adanya alternatif bagi mahasiswa. Dan juga dalam kehidupan
masyarakat Indonesia yang cenderung totaliter, di mana nilai budaya di
sini kurang bisa menerima alternatif lain atau kurang bisa menghargai
pendapat orang lain selain dari pendapat sendiri. Jika orang-orang
seperti ini duduk di meja preundingan, sangat besar kemungkinan untuk
terjadinya deadlock dari suatau negosiasi
2. Bahasa Kontrak
Kecekatan
merumuskan kontrak dngan baik juga memerlukan keahlian tersendiri.
Dalam hal ini, kepada lawyer diharapkan untuk bisa menguasai
teknik-teknik legal drafting. Apabila kontrak tersebut berbahasa
Indonesia, menjadi masalah karena bahasa Indonesia belum cukup
berkembang, dan belum banyak menyediakan bahasa baku untuk suatu
kontrak. Karena itu, kepada lawyer diharapkan untuk dapat merumuskan
kontrak dengan acuan sebagai berikut :
1. Bahasa yang terang sehingga tidak terjadi ambiguity
2. kalimat yang terang
3. memakai bahasa yang baik dan benar
4. sebanyak mungkin menggunakan terminology yang sering dipakai dalam bahasa kontrak
5.
bahsa terjemahan kadang-kadang tidak dapat dielakkan dan harus dicari
padanannya yang tepat dalam bahasa Indonesia. Misalnya kata “whereas”
sering diterjemahkan dalam kontrak sebagai “bahwa”, atau sitilah lain
“factoring” diterjemahkan sebagai “anjak piutang”
Apabila
kontrak harus dibuat oleh/di hadapan notaris, maka terdapat pula apa
yang namanya bahasa notaris yang khas itu. Umumnya merupakan bahasa
terjemahan dari bahasa Belanda. Bahasa khas bahkan kaku dari notaris
tersebut kental sekali terlihat pada bagian komparasi atau akhir akta.
Misalnya akta dimulai dengan “Pada hari ini … telah hadir di hadapan
saya, Badu, sarjana Hukum, notaris di Jakarta … telah saya, notaries,
kenal”.
Mestinya
bahasa notaries seperti tersebut dapat disederhanakan sehingga sesuai
dengan kaidah bahsa Indonesia yang benar. Tetapi entah mengapa, para
notaries sangat enggan melakukannya.
Jika
kontrak harus dibuat dalam bahasa inggris, masalah akan menjadi suit,
karena di samping para lawyer harus menguasai bahasa inggris dengan
baik, pemilihan kata-kata yang selektif, tetapi juga banyak frase kata
bahasa inggris kontrakk yang sudah baku bahkan absolute (kuno). Hal ini
tidak dapat dielakkan, karena diluar negeri sendiri dipraktekkan orang,
misalnya terdapat jargon-jargon seperti witnesseth, whereas, In witness,
limitation, hereinafter, theretofor dan masih banyak lagi.
Jargon-jargon tersebut tidak dipergunakan dalam bahasa inggris standar
sehari-sehari. Para lawyer di samping harus mengetahui dengan persis apa
arti kata-kata tersebut, juga harus mengetahui bagaimana dan di mana
penggunaannya.
Dalam
suatu negosiasi kontrak, berlaku suatu dail seperti yang berlaku pada
olahraga, bahwa permainan di kandang sendiri jauh lebih menguntungkan
daripada bermain di kandang orang. Prinsip ini berlaku terhadap dua hal
(1) Tempat negosiasi diusahakan di tempat tinggal kita, (2) Usahakan
draft kontrak nya kita yang buat, sedangkan pihak lain cukup
meriviewnya. Dalam praktek, jika kontraknya dalam bahasa Inggris lawyer
domestik sering hanya diberikan kesempatan meriview saha terhadap
kontrak yang sudah di draft oleh pihak asing. Sebabnya tentu kendala
bahasa. Anehnya, bahkan lawyer domestik sepertinya senang dengan cara
seperti ini. Padahal dia telah dipaksa untuk menari dengan irama gendang
pihak asing. Yang harus diingat bahwa siapa yang men-draft suatu
kontrak, maka 75% dia sudah memenangkan pertandingan.
3. Detil Kontrak
Sejauh
mana detil harus dimasukkan dalm suatu kontrak? Rumus yang berlaku umum
adalah semakin banyak detil yang dimasukkan dalam suatu kontrak semakin
baik. Karena kalu kepada masalah sekecil-kecilnya sudah disetujui,
kemungkinanuntuk timbul dispute di kemudian hari dapat ditekan serendah
mungkin. Karena itu tidak mengherankan jika dalm dunia bisnis terdapat
kontrak yang jumlah halamannya puluhan bahkan ratusan. Hanya saja demi
alas an praktis terkadang kontrak sengaja dibuat tipis. Hal ini
dilakukan karena (1) yang dilakukan baru ikatan dasar, dimana para pihak
belum bisa berpartisipasi atau belum cukup waktu untuk memikirkan
detil-detilnya. Kontrak seperti ini sering disebut Memorandum of
Understanding (MOU), atau Basic Agreement, atau Preliminary Agreement,
(2) Agar terlebih dahulu ada suatu komitmen di antara para pihak,
sementara detil-detilnyadibicarakan di kemudian hari. Unruk itu
disepakati dahulu prisip-prinsip dasar dari suatu kontrak. Sedangkan
terms dan conditions akan dibicarakan di kemudian hari. Hal tersebut
sering klai terjadi terhadap kontrak-kontrak tertentu, seperti terhadap
kontrak konstruksi misalnya. (3) Karena kurang pengalaman/pengetahuan
dari lawyer, terkadang tidak mampu untuk mengaturnya secara detil.
Karena itu, diaturlah hal-hal pokok saja. Sementara detil-detilnya
diatur kemudian sambil jalan dalm bentuk addendum atau supplement.
Sehingga terciptalah kontrak tipis tetapi tebal lampirannya. Kontrak
berbadan kecil tetapi berbuntut panjang seperti ini sangatlah tidak
dianjurkan, mengingat para pihak yang itikadnya kurang baik dan berada
di atas angin, dapat dengan mudah mengelak dari kewajibannya, dengan
melakukan tough negotiation terhadap suatu addendum atau bahkan tidak
mau sama sekali menandatangani addendum tersebut.
Apabila
sebelum suatu kontrak yang lengkap disepakati “say hello” dahulu dengan
menandatangani suatu MOU, banyak pihak meragukan sejauh mana MOU
tersebut mengikat secara hukum. Ada Negara-negara yang menganggap MOU
hanya semacam gentlement agreement sehingga kekuatan hukumnya tidak
sekuat kontrak biasa.
sistem
hukum di Indonesia tidak mengenal istilah gentlement agreement. Prisip
hukum yang berlaku adalah agreement is agreement. Tidak peduli apapun
istilah yang dipakai. Adal syarat-syarat suatu kontrak, antara lain
seperti tersebut dalam pasal 1320 KUH Perdata sudah dipenui, maka
perjanjian tersebut sudah mengikat secara hukum, walaupun dibuat dalam
bentuk yang sangat sederhana sekalipun. Bahkan kontrak-kontrak lisanpun
sama kekuatan mengikatnya. Hanya jika kontrak dibuat secara lisan,
terdapat kesulitan dari segi evidensinya. Karenanya, hal ini sangat
tidak dianjurkan.
Pasal
1320 KUH Perdata tersebut menentukan bahwa suatu kontrak sudah sah jika
terpenuhi syarat (1) adanya kesepakatan kehendak, (2) cakapp berbuat
(cukup umum, waras), (3) hal yang spesifik, (4) sebab yang
diperbolehkan. Jika keempat syarat tersebut sudah dipenuhi, maka kontrak
sudah sah dan mengikat secara hukum. Tidak peduli apapun nama yang
diberikan kontrak yang bersangkutan. Apakah namanya agreement, contract,
atau cuma MOU saja. Dalam praktek, untuk menghindari keragu-raguan dari
kekuatan hukum suatu MOU, sering juga dihindari pemakaian nama MOU,
tetapi memakai nama netral seperti cooperation Agreement atau Agreement
saja.
Dalam
uraian di atas terlihat banyak persyaratan diperlakukan bagi seorang
lawyer untuk dapat menangani suatu kontrak bisnis. Itu sebabnya sangat
sedikit lawyer yang benar-benar dapat menyusun/negosiasi atau meriview
kontrak, terutama yang bersifat Internasional, yang banyak berkeliaran
adalah mereka yang mengaku dirinya Business lawyer, padahal sama sekali
tidak mengerti seluk beluk kontrak dan negosiasi.
E. Pemakaian Bahasa Dalam Kontrak
Bahasa
kontrak dapat dilihat dari dua segi, yaitu bahasa kotrak notaris dan
bahasa kontrak bawah tangan. Untuk bahasa kontrak notaris, yang khas,
antara lain, adanya bagian-bagian kontrak seperti bagian komparasi atau
penutup yang dibuat dalam bahasa yang tidak berjalan mulus. Hal ini
disebabkan banyak dari bahasa tersebut merupakan terjemahan bahasa
Belanda. Seyogyanya bahasa yang baku tersebut dapat disesuaikan dengan
bahasa Indonesia yang lebih baik dan benar.
Selanjutnya
akan di telaah bahasa kontrak yang berlaku baik kontrak notaries atau
bukan, dengan mengambil contoh kontrak bawah tangan tentang Perjanjian
Sewa Beli. Beberapa karakteristik dari bahasa kontrak dapat disebutkan,
antara lain:
1. Berlebihan
Sering
bahasa kontrak itu terlalu panjang dan berbelit-belit, sehingga
terkesan berlebihan. Sampai batas tertentu, hal itu masih bisa diterima,
karena memang tidak bisa dielakkan. Tapi, bila tidak mempunyai tujuan
khusus atau tujuannya agar kontrak tersebut terkesan canggih, hal
demikian sebaiknya dihindari. Bahasa yang redundant ini dipakai dalam
kontrak, antara lain, dengan alasan sebagai berikut:
a.
Mempertegas atau memperinci makana dari kalimat yang bersangkutan.
Misalnya, terdapat frase …untuk dan atas nama dirinya sendiri. Dalam hal
ini diperbedakan antara untuk dirinya sendiri dan atas nama dirinya
sendiri karena kemungkinan ada kasus seorang bertindak atas nama sendiri
tapi untuk kepentingan orang lain. Karena itu, sudah menjadi bahasa
baku dalam kontrak untuk menggabung kedua penggalan kalimat tersebut
menjadi “untuk dan atas nama dirinya sendiri”.
b.
Berfungsi sebagai double cover. Kalimat berlebihan sering juga dipakai
dalam kontrak untuk memberi sebanyak mungkin perlindungan kepada para
pihak, ibarat pemakaian double cover dalam tinju. Contohnya,
diintroduksikannya pranata hukum kuasa mutlak yang diberikan oleh
pembeli kepada penjual. Terlepas dari status hukum kuasa mutlak yang
masih dalam perdebatan, dalam konteks perjanjian sewa beli, pemberian
kuasa oleh pembeli kepada penjual jelas berlebihan. Sebab seperti juga
disebutkan dalam kontrak bersangkutan, slama pembeli belum melunasi
semua harga cicilan, benda tersebut secara hukum masih teteap milik
penjual, sehingga tidak memerlukan surat kuasa dari (pembeli) yang belum
menjadi miliknya. Yang diperlukan hanyalah sekadar “izin” saja dari
pembeli yang memang berkuasa atas benda tersebut. Bila perlu izin
tersebut tidak boleh ditahan oleh pembeli. Jadi mutlak harus
diberikan.Tapi, dengan izin yang dirasakan belum kuat bagi penjual.
Karena itu, diintroduksikan pranata kuasa mutlak. Untuk kepentingan
perlindungan para pihak, dalam hal ini pihak penjual, tentu walaupun
berlebihan, hal tersebut bermanfaat digunakan.
2. Pilihan Kata Menggigit
Berbeda
dengan bahasa ilmiah yan gcenderung datar, pilihan kata dalam kontrak
cenderung tegas, ekstrem, bahkan bombastis. Hal ini dilakukan agar
tertutup kemungkinan penafsiran macam-macam dari kata tersebut, sehingga
merugikan salah satu pihak. Sejauh dapat dipertanggungjawabkan dari
segi pengertiannya, hal tersebut mestinya dapat di pertahankan.
Contohnya, pemakaian kata “mutlak” dalam kaliat : … mutlak sebagai ganti
rugi…, atau “semata-mata” dalam …berhak sematamata menurut
pertimbangannya sendiri.
3. Acuan Yang Jelas
Agar
tidak timbul penafsiran yang ambisius, maka setiap kata yang punyak
acuan ke kata/kalimat lain harus jelas kata tersebut merefer kemana.
Dalam hal ini, di dalam kontrak sering muncul dalam tiga hal:
a. kata ganti
Di
dalam kontrak, dalam banyak hal, pemakaian kata ganti dielakkan,
disangsikan akan merefer ke kata/kalimat lain selain dari yang
dimaksudkan semula. Karena itu, dalam kontrak jarang kita temukan
kata-kata “dia”, “nya”, dan lain-lain.
b. Kata sambung
Agar
jelas acuannya, sering dalam kontrak pemakaian kata sambung tertentu
terasa aneh. Sangat jarang, misalnya, di gunakan kata “yang mana”, ”di
mana”, “dengan nama”, dan sebagainya. Contoh, “…dari jumlah uang…,
jumlah uang mana sebagai… frase jumlah uang mana dalam kalimat tersebut
menurut bahasa Indonesia biasa dapat diganti dengan “di mana” atau “yang
mana” tapi tidak cocok untuk bahasa kontrak.
c. Kata acuan lainnya
Selain
dari kata ganti dan kata sambung, terdapat kata acuan lain yang jarang
digunakan dalam kontrak, atau meskipun digunakan, terdapat kata acuan
lain yang jarang digunakan dalam kontrak. Atau, kalaupun digunakan,
ditempatkan bersama-sama dengan petunjuk lainnya agar jelas merefer ke
mana. Kerena itu, dalm kontrak jarang dipergunakan kata-kata tersebut,
tersebut di atas, karena itu, karenanya, dan sebagainya, kecuali
bersama-sama dengan petunjuk lain. Contoh, dipakai frase “… sepeti
diatur dalam Pasal 8 di bawah ini”. Tidak , misalnya, digunakan saja
frase ”seperti tersebut di bawah ini” atau “ seperti akan disebut
selanjutnya”. jika di dalam kontrak digunakan kata “tersebut”, maka
mesti dipertegas sehingga menjadi, misalnya ” tersebut dalam pasal
berapa”
4. Bahasa Terjemahan
Di
samping dalam bagian tertentu dari akta notaris yang terasa sekali
terjemahannya dari bahasa Belanda, dalam materi kontrak (notarial atau
bukan) terasa ada kata-kata yang merupakan terjemahan, umumnya dari
bahasa Inggris. Bahasa terjemahan tersebut kadang memang diperlukan.
Biasanya karena masih belum ada padanannya yang baku dalam bahasa
kontrak Indonesia.
Di
samping itu sering terdapat kata-kata dalam bahasa inggris yang sangat
terkait dengan sistem hukum Anglo-saxon, sehingga tidak relevan untuk
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Contoh
, kata-kata …terlebih dulu menerangkan…(bagian pembukaan) adalah
merupakan terjemahan dari bahasa Inggris kuno witnesseth. Kadang-kadang
diterjemahkan pula menjadi mukaddimah atau pendahuluan. Tapi, kata-kata
Inggris seperti in witness whereof atau signed sealed and deliver yang
sering dimuat di akhir kontrak yang berasal dari Negara Anglo-saxon,
kiranya sama sekali tidak diperlukan sehingga tidak perlu diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia.
5. Istilah khusus dalam hukum/kontrak
Banyak juga kata-kata yang khusus dipakai dalam hukum/kontrak tapi jarang dipergunakan dalam bahasa Indonesia sehari-hari.
Contoh
frase “memelihara mesin sebagai kepala rumah tangga yang baik”.
Istilah tersebut sudah lazim ditemukan dalam dunia hukum, sehingga tidak
dapat dielakkan dalam kontrak. Contoh lain adalah kata force majeure,
wanprestasi, dan sebagainya.
6. Mempermudah operasionalisasi kotrak
Hal
lain yang penting diperhatikan adalah bagaimana agar pelaksanaan
kontrak ikmudian hari tidak mendapat benturan yang berarti, baik karena
penggunaan bahasa yang tidak benar ataupun karena adanya konsep tertentu
yang tidak jelas.
Contoh
adanya ketentuan tentang “denda keterlambatan” bagi para pihak yang
terlambat melaksanakan prestasinya. Sebenarnya yang dimaksud dengan
“denda” disini tidak lain dari “ganti rugi” saja. Hanya agar perhitungan
ganti rugi jelas adanya dan tidak menimbulkan disputes di kemudian
hari, maka ditetapkan ganti rugi berupa fixed amount untuk tiap hari
keterlambatannya. Ini dalam kontrak dagang disebut “denda”. Dalam hukum
Anglo-saxon hal demikian sering disebut dengan liquidated damages.
7. Mencari pedoman walaupun kabur
Kelaziman
lain dalam kontrak adalah menggunakan istilah-istilah yang lbih
merupakan kompromi dari dua kepentingan yang berbeda. Biasanya istilah
tersebut mempunyai makna yang kabur. Kadang istilah demikian
dipergunakan sebagai patokan belaka. Tentunya kalau bisa dicari/cara
yang leibh konkret dan jelas ketimbang kata yang kabur seperti itu jauh
lebih baik. Walaupun harus diakui bahwa hal itu tidakk selamanya dapat
dilakukan.
Contoh,
pemakaian kata “yang sepantasnya”. Tentunya masih bisa dipertanyakan,
sejauh mana yang dikatakan pantas. Dalam kontrak perjanjian sewa beli
tersebut pihak penjuallah yang menentukan berpa pemotongan harga dalam
hal pembayaran lebih cepat dari semestinya. Tapi, untuk menghindari
kemungkinan penetapan besarnya pemotongan sepihak yang rendah,
dipakailah kata “sepantasnya”.
Sesunguhpun
begitu, tetap dianjurkan agar sedapat mungkin dibuat lebih kokret.
Misalnya, pengertian “sepantasnya” tersebut diganti dengan “sekian
persen”. Kata lain yang berkonotasi serupa adalah selayaknya,
sepatutnya, masuk akal dan sebagainya. Atau, dalam bahasa Inggris,
misalnya , kata reasonable, in good faith, properly, ordinary wear and
tear, dan sebagainya.
8. Agar lebih khidmat atau menyeramkan
Agar
para pihak selalu menjunjung tinggi setiap janji yang telah dibuat,
maka ada usaha untuk membuat kesan seolah-olah perjanjian tersebut mesti
dihormati atau ditakuti.
Contoh,
frase “telah ditandatangani dengan materai yang cukup” ungkapan dengan
materai yang cukup mestinya tidak perlu disebutkan karena materainya
jelas terlihat ditempel pada perjanjian tersebut. Dalam hal ini tujuan
penyebutan itu adalah agar para pihak lebih menghormati atau lebih takut
serta tidak meragukan keabsahan kontrak yang bersangkutan. Ini
diharapkan agar para pihak tidak mudah melakukan wanprestasi terhadap
kontrak yang bersangkutan. Demikian juga dengan kata-kata “bertanggung
jawab secara hukum”, “bertanggung jawab penuh”, ataupun adanya usaha
untuk meregistrasi di depan notaris dengan stempel notaris berwarna
merah dan berlambang burung garuda.
A. Pendahuluan
Ketika
suatu perusahaan ingin ganti baju dari suatu perusahaan tertutup (close
corporation) kepada perusahaan Go Publik (Public Corporation), sederet
prosedur harus dilalui dan sejumlah dana mesti disisihkan untuk
keperluan tersebut.
Menurut
Pasal 1 angka 22 dari Undang-Undang Pasar Modal No.8 Tahun 1995, yang
merupakan acuan utama kegiatan pasar modal, perusahaan publik adalah
perseroan yang sahamnya telah dimiliki sekurang-kurangnya oleh 300 (tiga
ratus) pemegang saham dan memiliki modal setor sekurang-kurangnya Rp
3.000.000.000 (tiga miliar rupiah) atau suatu jumlah pemegang saham dan
modal disetor yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Jika
suatu perusahaan akan go public, haruslah siap mengambil resiko,
disamping siap pula menikmati manfaat daripadanya. Diantara keuntungan
dari perusahaan yang go public adalah :
1. Masuknya fresh money yang melimpah
2.
Net worth perusahaan akan lebih baik sehingga alternatif perolehan dana
selanjutnya akan lebih banyak. Misalnya lewat right issue.
3. Memungkinkan ekspansi perusahaan lewat akuisisi tanpa harus membayar cahs, tetapi lewat pengisuan saham.
4.
Perusahaan akan lebih terkenal, dengan prestise yang tinggi, sehingga
operasi bisnisnya lebih baik dan merketnya akan lebih meluas.
5.
Likuidasi perusahaan dan saham akan lebih baik, karena setiap saat
perusahaan/pemegang saham dapat memperjualbelikan sahamnya.
6.
Lebih menjamin kelestarian perusahaan, karena terhindar dari
mismanagement. Sebab, setiap aktivitas yang menyimpang dalam suatu
perusahaan publik, langsung disorot oleh publik.
Disamping
keuntungan terdapat juga kerugiannya yang mesti diwanti-wanti oleh
perusahaan yang akan go publik, walaupun kerugian tersebut secara umum
jauh tidak berarti dibanding dengan keuntungan yang diperoleh.
Kerugian-kerugian go publik antara lain :
1.
Keharusan membuka semua informasi dapat menguntungkan kompetitor dan
sangat mengekang pihak pemilik ataupun pengurus/komisaris.
2.
Pemilik bisnis kehilangan fleksibilitasnya dalam berbisnis, karena
adanya keharusan mendapat izin tertentu dari pemegang saham, termasuk
pemegang saham publik atau laporan atau izin dari otoritas tertentu
terhadap tindakan tertentu.
3.
Beberapa alternatif bisnis bisa dilepas oleh perusahaan karena ditakuti
akan berdampak negatif terhadap fluktuasi harga di pasar saham.
4. Masalah administrasi dan dana tambahan yang mesti dikeluarkan terutama pada proses go publik.
5. Kehilangan control dan dari pemegang saham sendiri, terutama jika porsi saham yang dijual terlalu besar.
6. Kecenderungan pemberian deviden yang besar, sehingga pembayaran pajak tinggi dan investment dari perusahaan mengecil.
Sementara
itu, banyak pihak terlibat ketika suatu perusahaan melangkah go public.
Ada notaris, akuntansi, appraisal, underwriter, konsultan hukum dan
lain-lain. Mereka terlibat sesuai bidangnya masing-masing dengan
tanggung jawabnya masing-masing pula. Tetapi adalah juga reasonable,
jika dalam hal-hal tertentu, satu atau dua diantara mereka bertanggung
jawab bersama-sama.
Disamping
itu, pmerintah juga ikut campur secara cukup dalam terhadap perusahan
baik pada proses go public maupun setelah menjadi perushaan public. Hal
ini disebabkan karena suatu perusahaan public menyangkut kepentingan
mesyarakat investor yang meluas bahkan ikut menjadi andil terhadap baik
tidaknya kerugian ekonomi secara makro. Karena itu, sebagai pemerintah
dalam Negara social welfare, pmerintahan bertindak untuk dan atas nama
masyarakat untuk masuk dan terlibat dalam masalah-masalah yang
menyangkut kepentingan masyarakat sacara luas.
B. Restrukturisasi Anggaran Dasar
Sebelum
suatu perusahaan go public, anggaran dasar perusahaan harus
direkstrukturisasi terlebih dahulu sehingga sesuai dengan persyaratan
perusahaan go publik. Maka perlu dikawinkan di antara
ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
a. ketentuan dalam KUHD tentang PT
b. Petunjuk-petunjuk dari Departemen kehakiman tentang akta pendirian PT
c. Ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan pasar modal
d. kebiasaan dalam praktek PT dan praktek pasar modal
Diantara
yang acapkali direkstrukturisasi adalah masalah kapitalisasi
perusahaan. Untuk bisa go public tentunya modal perusahaan harus relatif
besar, mengingat akan tidak efisien jika saham yang dijual di bursa
nanti dalam jumlah kecil. Untuk itu dilakukan peningkatan modal dasar
perusahaan. Menurut Undang-Undang Pasar Modal No. 8 Tahun 1995, modal
disetor dari perusahaan publik tidak boleh kurang dari Rp
3.000.000.000,-, disamping itu, telah menjadi standar dari anggaran
dasar PT go public bahwa issud shares haruslah sama dengan paid up
capital. Maksudnya tidak boleh ada saham yang ditempatkan yang tidak
disetor penuh. Sehingga struktur modalnya menjadi modal dasar yang
terdiri dari saham portepel dan saham setor. Nilai nominal saham juga
harus diubah sehingga sesuai denga ketentuan pasar modal, yaitu Rp
1.000,- atau Rp 500,- setiap nilai nominal saham PT biasa yang biasanya
jauh diatas Rp 1.000,- atau Rp 500,- harus diturunkan terlebih dahulu,
sehingga jumlah lembar sahamnya menjadi membengkak. Walaupun sudah
semakin terasa bahwa nilai Rp 1.000,- atau Rp 500.- itu terlalu kecil
untuk ukuran sekarang, sehingga menjadi tidak efisien.
Personalia
dalam perusahaan juga biasanya menjadi titik focus dalam
restrukturisasi anggaran dasar. Mereka yang mempuyai latar belakang dan
moral yang “cacat” mesti telebih dahulu disingkirkan. Hal tersebut
dilakukan disamping demi menjaga image perusahaan, juga agar proses go
publiknya lancar. Menyingkirkan direktur, komisaris atau personalia
lainnya tidak terlalu sulit karena dapat dilakukan dengan RUPS dan PHK.
Sungguhpun mempunyai resiko-resiko tertentu, terutama jika yang
bersangkutan tidak mau menerimanya dan memberikan reaksi. Yang paling
krusial adalah jika yang akan dikeluarkan dari perusahaan tersebut
adalah salah satu atau lebih pemegang saham.
C. Posisi Hukum dari Prospektus
Secara
hukum, kedudukan prospectus sama dengan kedudukan iklan dari suatu
produk, dimana tidak saja isinya harus benar, tetapi juga tidak boleh
misleading . Sunguhpun sistem perjanjian kita kurang dapat menerima
propektus/iklan sebagai suatu “offer” dari perjanjian, paling tidak
pihak yang terkait dengan propektus telah melakukan suatu perbuatan yang
pada gilirannya bisa menimbulkan kerugian bagi orang lain. Dus, pasal
“catch all” 1365 BW dapat diterapkan karena telah merupakan
onrechtmatige daad. Misleading prospectus itu dapt berupa (1) memberikan
keterangan yang tidak benar,(2) memberikan keterangan yang setengah
benar, dan (3) tidak memberikan keterangan terhadap fakta materiil.
D. Masalah Yuridis Yang Sering Terjadi Dalam Praktek
Terkadang
pihak emiten sering mengabaikan aspek yuridis yang ada dalam
perusahaan, karena sebelum go public hal yang menjadi masalah tersebut
kelihatannya wajar-wajar saja. Padahal setiap masalahnya cukup marginal
tetapi membutuhkan proses dan waktu yang lama untuk dapat mengatasinya.
Beberapa masalah yuridis yang sering mengganjal dalam praktek adalah
yang berhubungan dengan (1) keabsahan pendirian perseroan dan permodalan
(2). Penguasaan Atas Asset (3) Perkara-Perkara di Pengadilan (4)
Izin-Izin dan (5) Kewajiban Lainnya.
ad 1. Keabsahan Pendirian Perusahaan Dan Permodalan
Cukup
sering terjadi ketidakberesan dari akta-akta yang dipunyai oleh suatu
PT yang akan go public, sehingga perlu dibereskan lebih dahulu. Misalnya
ada akta tentang perubahan anggaran dasar tetapi tidak disampai dip
roses k Departemen Keakiman. Menurut ketentuan, setiap terjadi perubahan
anggaran dasar yang merupakan perubahan anggaran dasar dalam arti
sebenarnya, perlu mendapat izin dari Menteri Kehakiman. Jika hal ini
terjadi, tentu izin tersebut harus terlebih dahulu diurus, dan untuk itu
memerlukan waktu. Atau pernah pula kejadian pengikatan saham terjadi
beberapa kali dalam satu PT tetapi terdapat missing link.
ad 2. Penguasaan Atas Asset
Harus
pula jelas relasi yuridis antar perusahaan dengan asset-asetnya.
Misalnya jenis haknya apa, dan didukung oleh dokumntasinya yang benar.
Karena tingkatan hak itu bermacam-macam, maka tidak semua jenis hak
dapat menjadi alas hukum yang kuat terhadap asset perusahaan. Sering
pula terjadi suatu asset, misalnya tanah, dimaksudkan sebagai haknya
perusahaan, tetapi secara legal tidak demikian. Misalnya ada secara
defacto asset perusahaan tetapi di seertifikat masih merupakan hak milik
para pemegang saham atau pengurusnya. Dalam praktek fakta ini sering
diabaikan.
ad 3. Perkara-Perkara di Pengadilan
Jika
ada perkara di pengadilan atau Arbitrase, harus diumumkan kepada
public. Bahkan juga harus dianalisis apakah perkara tersebut material
atau tidak terhadap eksistensi perusahaan. Dari perundang-undangan yang
ada, ada kesan bahwa yang diwajibkan hanya disclosure kepada public.
Artinya, ada perkara atau tidak, material atau tidak, asal telah
dilakukan disclosure , go public tetap jalan. Terserah apakah nanti mau
beli saham atau tidak. Padahal seyogyanya, jika perusahaan mempunyai
masalah yangm material, maka tidak pantas go public sehingga izin go
public mestinya tidak boleh diberikan. Bahkan konsultan hukum mestinya
jangan bersedia mendampingi perusahaan untuk go public jika masalahnya
seserius itu. Bahkan tidak hanya perkara di pengadilan/arbitrase,
masalah-masalah yang potensial untuk jadi dispute atau dispute/perilaku
yang potensial masuk pengadilan pun mestinya harus di disclose.
ad 4. Izin-Izin Dan Kewajiban Lainya
Banyak
izin atau kewajiban lain dari perusahaan mesti dituntaskan atau
setidak-tidaknya dalam proses penuntasan ketika perusahaan tersebut
dalam proses go public. Misalnya sudahkah ada kesepakatan kerja bersama
dengan pekerjanya, asuransi, izin Undang-Undang Gangguan, Koperasi
karyawan, KTP pengurus/komisaris yang masih berlaku dan bukti
kewarganegaraan, wajib daftar perusahaan, NPWP, wajib AMDAL, koperasi,
pembayaran pajak secara benar, izin lokasi, IMB, dan sebagainya. Jika
diantara kewajiban tersebut yang belum diurus pada saat go public,
minimal kewajiban tersebut sudah diproses pengurusannya secara serius.
Adalah bijaksana jika semua hal-hal yuridis yang diperkirakan mengganjal
apalagi jika penanggulannya memakan waktu lama, hendaknya dituntaskan
terlebih dahulu jauh-jauh hari sebelum perusahaan yang bersangkutan go
public.
E. Penutup
Masih
banyak hal-hal yang mnyangkut dengan proses go public dari suatu
perusahaan belum diatur oleh peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Ini bukan saja akan mempersulit para pelaku yang terlibat dalam proses
go public tersebut, bahkan jug adapt membwa resiko baik terhadap para
pelaku itu sendiri, terhadap perusahaan yang bersangkutan, terhadap
pemerintah, bahkan rakyat juga ikut menanggung beban. Disamping itu
praktek go public di Negara kita juga masih miskin pengalaman. Dan
terutama dari segi yuridis, terkesan melempem. Dan, yurispudensi juga
tidak dapat menolongnya berhubung sangat jarang kasus berkenaan dengan
proses go public yang sempat sampai ke pengadilan. Dalam keadaan seperti
ini belajar dari Negara lain tentu sangat dianjurkan.
KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PERLINDUNGAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
A. Kebijakan Dan Kesiapan Indonesia Di Bidang Hak Kekayaan Intelektual
Dalam
dasawarsa terakhir ini, telah semakin nyata bahwa pembangunan harus
bersandarkan pada industri yang menghasilkan nilai tambah yang tinggi.
Kesepakatan Indonesia untuk merealisasikan gagasan mengenai ASEAN Free
Trade Area (AFTA) serta keikutsertaan Indonesia sebagai anggota World
Trade Organization (WTO) dan Asia Pacific Economic Cooperation (APEC),
telah menunjukan keseriusan Pemerintah dalam mendukung sistem
perekonomian yang bebas/terbuka, dan secara tidak langsung memacu
perusahaanperusahaan di Indonesia untuk lebih meningkatkan daya
saingnya.
Semakin
derasnya arus perdagangan bebas, yang menuntut makin tingginya kualitas
produk yang dihasilkan terbuti semakin memacu pekembangan teknologi
yang mendukung kebutuhan tersebut. Seiring dengan hal tersebut,
pentingnya peranan hak kekayaan intelektual dalam mendukung perkembangan
teknologi kiranya telah semakin disadari. Hal ini tercermin dari
tingginya jumlah permohonan hak cipta, paten, dan merek, serta cukup
banyaknya permohonan desain industri yang diajukan kepada Direktorat
Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia.
Pemerintah
sangat menyadari bahwa implementasi sistem hak kekayaan intelektual
merupakan suatu tugas besar. Terlebih lagi dengan keikutsertaan
Indonesia sebagai anggota WTO dengan konsekuensi melaksanakan ketentuan
Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights
(Persetujuan TRIPS), sesuai dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 1994
tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization
(Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia).Berdasarkan
pengalaman selama ini, peran serta berbagai instansi dan lembaga, baik
dari bidang pemerintahan maupun dari bidang swasta, serta koordinasi
yang baik di antara senua pihak merupakan hal yang mutlak diperlukan
guna mencapai hasil pelaksanaan sistem hak kekayaan intelektual yang
efektif.
Pelaksanaan
sistem hak kekayaan intelektual yang baik bukan saja memerlukan
peraturan perundang-undangan di bidang hak kekayaan ntelektual yang
tepat, tetapi perlu pula didukung oleh administrasi, penegakan hukum
serta program sosialisasi yang optimal tentang hak kekayaan intelektual.
B. Peraturan Perundang-undangan dan Konvensi-konvensi International.
Pada
saat ini Indonesia telah memiliki perangkat peraturan
perundang-undangan di bidang hak kekayaan intelektual yang cukup memadai
dan tidak bertentangan dengan ketentuan sebagaimana yang dipersyaratkan
dalam Persetujuan TRIPS. Peraturan perundangundangan dimaksud mencakup :
1.
Undang-undang No. 12 Tahun 1997 tentang Perubahan Undangundang No. 6
Tahun 1982 tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang No. 7 tahun 1987 (UU Hak Cipta); dalam waktu dekat,
Undang-undang ini akan direvisi untuk mengakomodasikan perkembangan
mutakhir dibidang hak cipta;
2. Undang-undang No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman;
3. Undang-undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang;
4. Undang-undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri;
5. Undang-undang No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu;
6. Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten (UU Paten); dan
7. Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek;
Di
Indonesia, sistem perlindungan merek telah dimulai sejak tahun 1961,
sistem perlindungan hak cipta dimulai sejak tahun 1982, sedangkan sistem
paten baru dimulai sejak tahun 1991. Sebelum disempurnakan melalui
peraturan perundang-undangan yang ditetapkan pada tahun 2001, beberapa
waktu yang lalu (tahun 1997) terhadap ketiga peraturan
perundang-undangan tersebut telah dilakukan perubahan untuk menyesuaikan
dengan kebutuhan dan Persetujuan TRIPS. Sebagaimana dimaklumi,
Persetujuan TRIPS merupakan kesepakatan internasional yang paling
comprehensif, dan merupakan suatu perpaduan yang unik dari
prinsip-prinsip dasar GATT – General Agreement on Tariff and Trade
(khususnya tentang national treatment dan most-favoured nation) dengan
ketentuan-ketentuan substantif dari kesepakatan-kesepakatan
internasional bidang hak kekayaan intelektual, antara lain Paris
Convention for the protection of industrial Property dan Berne
Convention for the Protection of Literary and Artistic Works.
Sejalan
dengan perubahan berbagai undang-undang tersebut di atas, Indonesia
juga telah meratifikasi 5 konvensi internasional di bidang hak kekayaan
intelektual, yaitu sebagai berikut :
- Paris Convention for the Protection of Industrial Property dan Convention Establishing the World Intellectual Property Organization (Keputusan Presiden No. 15 tahun 1997 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden No. 24 Tahun 1979);
- Patent Cooperation Treaty (PCT) and Regulation under the PCT (Keputusan Presiden No. 16 Tahun 1997);
- Trademark Law Treaty (Keputusan Preiden No. 17 Tahun 1997);
- Berne Convention for the Protection of Literary and Artisctic Works (Keputusan Presiden No. 18 Tahun 1997);
- WIPO Copyright Treaty (Keputusan Presiden No. 19 Tahun 1997);
C. Administrasi Hak Kekayaan Intelektual
Secara
institusional, pada saat ini telah ada Direktorat Jendral Hak Kekayaan
Intelektual yang tugas dan fungsi utamanya adalah menyelenggarakan
administrasi hak cipta paten, merek, desain industri, dan desain tata
letak sirkuit terpadu. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual
(semula disebut Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek) dibentuk
pada thaun 1998. Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual yang baik
sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat, baik yang berasal dari
dunia industri dan perdagangan, maupun dari institusi yang bergerak di
bidang penelitian dan pengembangan.
Sejauh
ini pegawai di lingkungan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual
berjumlah 450 orang. Dibandingkan dengan yang ada di beberapa negara
yang telah maju. Direktorat Jendral HaKI merupakan institusi yang
relatif masih muda/naru. Oleh sebab itu, dapat dimaklumi seandainya
dalam pelaksanaan tugasnya, masih dijumpai berbagai macam kendala.
Walaupun demikian, melalui berbagai program pelatihan yang intensif
telah ada beberapa staf yang memiliki pengetahuan yang cukup memadai
guna mendukung peningkatan sistem hak kekayaan intlektual sebagaimana
diharapkan.
Perlu
pula kiranya dikemukakan bahwa dalam rangka lebih meningkatkan
pelayanan dan kemudahan bagi masyarakat, sejak januari 2000, pengajuan
permohonan hak kekayaan intelektual dapat dilakukan di Kantor-kantor
Wilayah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Selanjutnya,
Kantor-kantor Wilayah akan menyampaikan permohonan tersebut kepada
Direktorat Jenderal HaKI untuk diproses ebih lanjut. Di samping itu,
pada saat ini, dengan bantuan World Bank sedang dilaksanakan
penyempurnaan sistem otomasi di Direktorat Jenderal HaKI yang diharapkan
dapat lebih menunjang proses administrasi dimaksud.
Tidak
sebagaimana bidang kekayaan intelektual lain yang administrasinya
dikelola oleh Direktorat Jenderal HaKI, bidang varietas tanaman
ditangani oleh Departemen Pertanian.
D. Penegakan Hukum Hak Kekayaan Intelektual
Sebagaimana
telah dikemukakan diatas, keterlibatan berbagai pihak secara
terkoordinasi dan intensif sangat diperlukan untuk menjamin
terlaksananya sistem hak kekayaan intelektual yang diharapkan. Sesuai
dengan Keputusan Presiden Nomor 189 Tahun 1998, Departemen Kehakiman dan
Hak Asasi Manusia cq. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual
telah ditugasi melakukan koordinasi dengan semua instansi Pemerintah
yang berkompeten mengenai segala kegiatan dan permasalahan di bidang hak
kekayaan intelektual.
E. Peningkatan Kesadaran Masyarakat
Secara
bertahap dan berkesinambungan telah diupayakan sosialisasi mengenai
peran hak kekayaan intelektual di berbagai aspek dalam kehidupan
sehari-hari seperti : kegiatan perindustrian dan perdagangan, investasi,
kegiatan penelitian dan pengembangan, dan sebagainya. Berbagai lapisan
masyarakat pun telah dilibatkan dalam kegiatan ini.
Tumbuhnya
berbagai sentra hak kekayaan intelektual, klinik hak kekayaan
intelektual, dan pusat hak kekayaan intelektual lain, baik yang dimotori
oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Pendidikan
Nasional, Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi, Perguruan-perguruan
Tinggi dan cukup banyaknya permintaan dari masyarakat yang diajukan
kepada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual menunjukan telah
tumbuhnya kesadaran masyarakat di bidang hak kekayaan intelektual. Di
samping itu, apresiasi yang positif dari anggota masyarakat juga
terlihat dalam wujud pendaftran karya-karya intelektual mereka, seperti
terekam dalam jumlah pendaftaran yang sudah disinggung di atas.
F. Kebijaksanaan Pemerintah Dalam Melaksanakan Beberapa Ketentuan Dalam Persetujuan TRIPS
Pada
intinya semua peraturan perundang-undangan di bidang hak kekayaan
intelektual telah disusun dengan memperhatikan kepentingan masyarakat
dan selaras dengan ketentuan minimum sebagaimana yang dipersyaratkan
oleh Persetujuan TRIPS. Walaupun demikian, berikut ini dikemukakan
beberapa di antara ketentuan dalam Persetujuan TRIPS yang kiranya
memerlukan penelahaan lebih lanjut. Hal itu pada saatnya akan
disampaikan oleh pejabat yang akan kami tugasi untuk itu.
G. Perlindungan hak kekayaan intelektual di bidang bioteknologi.
Kita
maklumi bersama bahwa dalam beberapa dasawarsa terakhir peranan bidang
ilmu yang baru ini (bioteknologi) dalam kehidupan sehari-hari sangatlah
besar. Sebagai penerapan proses biologi untuk membuat produk yang
berguna bagi masyarakat (seperti : makanan dan minuman, obat-obatanm dan
komposisi/bahan kimia), pemanfaatan bioteknologi secara tepat terbukti
dapat meningkatkan : kesehatan masyarakat, mencegah penyebarluasan
penyakit dan hama, efisiensi dan kualitas produk hasil pertanian, mutu
hasil industri, dan kualitas lingkungan hidup melalui produksi gas dan
limbah industri yang diinginkan.
Walaupun
demikian, tidak sedikit pula pendapat dan hasil pengamatan yang
menyangsikan atau bakan kurang mendukung upaya pengembangan lebih lanjut
dari teknologi baru tersebut yang di banyak negara justru berkembang
secara pesat. Topik Utama yang selalu dan masih terus dipertanyakan
(dipertentangkan) di antaranya adalah :
Jaminan keamanan produk hasil rekayasa genetik (penerapan bioteknologi)
terhadap linkungan dan terhadap mereka yang
mengkonsumsi/menggunakannya.
Kepatutannya terhadap moralitas agama, etika, dan kesusilaan;dan
Manfaat dan risiko penggunaannya
Berbagai
forum baik di tingkat nasional maupun internasional telah menelaah
mengenai hal-hal tersebut. Dalam kaitan dengan hak kekayaan intelektual,
dengan pertimbangan tidak sedikitnya invensi yang dapat dihasilkan oleh
bidang ilmu baru ini, sewajarnya bila sistem hak kekayaan intelektual
memberi perlindungan yang memadai. Article 27.3. Persetujuan TRIPS
menyatakan bahwa :
Members may also exlude from patentability :
(a) Diagnostic, therapeutic and surgical methods for treatment of human or animal;
(b)
Plants and animal other than micro organism, and essentially
biological processes for the production of plants or animal other than
non-biological and microbiological processes. However, Members shall
provide for the protection of plant varieties either by patents or by an
effective sui generis system or by any combination thereof. The
provisions of this paragraph shall be reviewed four years after the date
of entry into force of the WTO Agreement.
Sementara itu, UU Nomor 14 tahun 2001 tentang Paten berbunyi :
Paten tidak diberikan untuk invensi tentang :
a.
Proses atau produk yang pengumuman dan penggunaan atau pelaksanaannya
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku moralitas
agama, ketertiban umum atau kesusilaan;
b. Metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan atau pembedahan yang diterapkan terhadap manusia dan atau hewan;
c. Teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika; atau
d. i. semua mahluk hidup, kecuali jasad renik;
ii. proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan kecuali proses non-biologis atau proses mikrobiologis
Di
samping itu, sebagaimana yang telah diuraikan di atas, berdasarkan UU
nomor 29 Tahun 2000 Indonesia juga melindungi invensi mengenai varietas
(baru) tanaman. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas jelaslah bahwa
bentuk perlindungan hak kekayaan intelektual sebagaimana yang
dipersyaratkan dalam Persetujuan TRIPS telah tersedia di Indonesia.
Walaupun demikian, dapat dikemukakan mengenai adanya masukan dari
sebagian negara anggota WTO agar ketentuan tersebut dapat lebih
disempurnakan guna mendukung Ketentuan yang ditetapkan dalam Convention
on Biological Diversity (CBD), yang oleh Indonesia telah diratifikasi
melalui Undang-undang No. 5 Tahun 1994 tentang Ratifikasi Konvensi
Keanekaregaman Hayati. Usulan yang diajukan adalah agar mencakup juga
beberapa aspek penting sehubungan dengan akses sumber daya genetika
(acces to genetic resources) dalam ketentuan pemberian paten misalnya :
dengan menyebutkan asal-usul bahan/materi yang digunakan (source of
origin), melampirkan bukti bahwa para peneliti sebelumnya telah
memberitahukan secara memadai kepada pihak/otoritas yang berkompeten di
tempat yang bersangkutan (prior informed consent), serta melengkapinya
dengan kesepakatan pembagian hasil yang sepadan (benefit sharing
agreement). Pendapat lain yang juga telah dimunculkan adalah untuk
mengupayakan sistem perlindungan bagi traditional knowledge yang lebih
memadai di luar sistem Hak kekayaan intelektual yang telah ada sekarang
ini. World Intellectual Property Organization (WIPO) telah membentuk
suatu Inter Governmental Committee on Intelectual Property and Genetic
resources, Traditional Knowledge anf Folklore dengan tugas pokok
berupaya untuk memperoleh solusi yang bijaksana mengenai permasalahan
tersebut. Dalam sidangnya yang pertama pada bulan Mei 2001, Committee
tersebut membahas 3 tema pokok yaitu :
Access to genetic resources and benefit sharing;
Protection or traditional knowledge, innovation and creativity; dan
Protection of expression of folklore including handicrafts.
Dalam
hal ini Pemerintah berpandangan untuk mendukung upaya yang telah
dirintis oleh WIPO. Sebagai salah satu realisasi dukunan Pemerintah
dalam hal ini, perlu kiranya disampaikan bahwa pada tanggal 17-19
Oktober 2001 dengan bekerjasama dengan WIPO, Pemerintah akan
menyelenggarakan WIPO-Asia Pacific Symposium on the Protection of
Intellectual Property Rights, Traditional Kowledge and Related Issues,
di Yogyakarta. Kegiatan tersebut akan diikuti oleh wakil-wakil dari 26
negara di kawasan Asia Pasifik dan mengikutsertakan semua pihak yang
berkompeten di dalam negri. Diharapkan dalam forum ini akan dapat
disiapkan/disusun posisi negara-negara Asia Pasifik dalam menangani
permasalahan tersebut. Di samping itu mengingat bidang ilmu
(bioteknologi) yang relatif baru ini erat kaitannya dengan kemungkinan
dihasilkannya jasad renik (micro-organisme) yang baru, perlu pula
kiranya dikemukakan adanya isu yang berkembang pada akhir-akhir ini di
dalam negri yang pada intinya menolak pematenan atas segala bentuk
mahluk hidup. Padahal, sebagaimana dimaklumi, UU paten (pada pasal 7
huruf d) telah mengakomodasi usulan tersebut kecuali untuk invensi
mengenai jasad renik. Sehubungan dengan hal ini beberapa pertimbangan
yang telah dikaji dan diuraikan berikut ini dapat ditelaah lebih lanjut.
a)
Sistem paten bertujuan untuk merangsang perkembangan teknologi dan
munculnya ide dan gagasan baru, yang sudah tentu hanya dapat terjadi
karena adanya ridha dan perkenan Tuhan Yang Maha Kuasa. Kurang
bijaksanalah bila hal yang berguna bagi kesejahteraan manusia, justru
dihambat kemungkinan pemberian penghargaan terhadapnya.
b)
Mahluk hidup, pada dasarnya memang merupakan ciptaan-Nya. Walaupun
demikian, atas kreativitas seseorang, maka khusus bagi jasad renik yang
memenuhi kriteria paton (terutama persyaratan mengenai kebaruan, lankah
inventif, dan dapat diterapkan dalam industri) selayaknya dapat diberi
paten. Perlu kiranya diinformasikan bahwa ketiga persyaratan utama
tersebut tidak mudah dipenuhi, dan bahwa pemberian paten tersebut
merupakan penghargaan yang diberikan oleh negara atas kreativitas
inventor yang bersangkutan. Kreativitas tersebut tidak sekadar memilah
(screen) jasad renik tertentu dari sekumpulan jasad renik, melainkan
memanipulasi dan menintervensi karakteristik tertentu yang diperoleh
melalui proses/kegiatan pemilahan dianggap merupakan suatu discovery dan
karena itu bukan merupakan invensi yang dapat diberi paten. Beberapa
manfaat yang sangat dirasakan oleh masyarakat luas dengan pendayagunaan
jasad renik atau dengan berhasil dibentuknya jasad renik baru
diantaranya adalah :
- Jasad renik yang dapat mengkonsumsi minyak, yang bisa digunakan untuk mengatasi masalah tumpahan minyak di laut;
- Jasad renik yang dapat digunakan untuk menghasilkan
berbagai vaksin baru;
- Ragi yang digunakan untuk menghasilkan tempe pada temperatur rendah; dan sebagainya.
Sejak
diberlakukannya UU Paten lama (UU No. 6 tahun 1989 tentang Paten) pada
tahun 1991, permohonan paten dari masyarakat Indonesia mengenai jasad
renik memang masih rendah. Namun, beberapa institusi seperti Departemen
Pertanian cq. Badan Litbang, Institut Pertanian Bogor, Fakultas
Pertanian – Universitas Pajajaran, dan Institut Teknologi bandung
memandang tetap perlu adanya perlindungan paten bagi invensi mengenai
(atau yang berkaitan dengan) jasad renik. Hal ini diperlukan untuk
mengantisipasi dihasilkannya invensi mengenai (atau yang berkaitan
dengan) jasad renik mengingat bahwa kegiatan penelitian dan pengembangan
di bidang tersebut telah gencar dilakukan.
c)
Adanya kekhawatiran bahwa sistem paten dapat menyebabkan harga produk
menjadi mahal. Yang jelas, melalui mekanisme pasar (termasuk kemungkinan
memboikot pembeliannya, bila perlu), pengendalian mengenai masalah ini
kiranya akan dapat dilakukan dengan efektif. Di samping itu, dalam UU
Paten di samping adanya ketentuan tentang lisensi wajib, telah pula
dicakup ketentuan mengenai dimungkinkannya ketentuan entang lisensi
wajib, telah pula dicakup ketentuan mengenai dimungkinkannya pararel
impor, serta diakomodasikannya ketentuan Bolar. Melalui
ketentuan-ketentuan itu, kekhawatiran tersebut akan dapat diatasi.
d)
Demikian pula, adanya kekhawatiran bahwa sistem paten dapat menyebabkan
beredarnya produk yang membahayakan ingkungan merupakan argumentasi
yang tidak benar. Tanpa adanya sistem paten pun, harus diakui cukup
banyak peredaran produk yang membahayakan lingkungan. Oleh karena itu,
menurut hormat kami, pengaturan mengenai masalah lingkungan perlu diatur
secara tersendiri. Kurang tepat jika hal ini harus dimuat sekaligus
dalam Undang-undang Paten. Disamping itu, UU Paten telah pula mengatur
ketentuan yang memungkinkan diajukannya gugatan pembatalan terhadap
paten yang dipandang tidak memenuhi persyaratan tertentu.
e)
Sifat monopolistik sistem paten Sebagai bagian dari sistem hak kekayaan
intelektual, dengan paten dimungkinkan adanya monopoli atas invensi
yang merupakan miliknya. Walaupun demikian, Undang-undang Paten telah
mengatur bahwa sifat ini tidak bersifat tak terbatas. Hal ini ercermin
dengan adanya pengaturan mengenai jangka waktu perlindungan paten
(selama 20 tahun dan tidak dapat diperpajang), lisensi wajib,
pelaksanaan paten oleh Pemerintah, atau pembatalannya karena tidak
dipenuhinya kewajiban tertentu.
f)
Adanya pandangan bahwa sistem paten tidak propublik dan anti petani
Melalui sistem paten, kreativitas seseorang diakui dan dihargai, dan
karena itu, sepantasnya apabila kepada inventor yang bersangkutan
diberikan imbalan (berupa royalti) yang sepadan atas segala jerih payah,
waktu, dan biaya yang telah dikeluarkannya untuk menghasilkan suatu
invensi. Demikian pula, siapa pun yang akan memanfaatkan/menggunakan
invensi itu sewajarnya untuk membayar sedikit lebih mahal dibandingkan
dengan produk yang telah ada sebelumnya mengingat adanya
kelebihan-kelebihan tertentu pada invensi tersebut. Tidak ada ketentuan
yang mengharuskan pihak ketiga atau siapa pun untuk menggunakan atau
memanfaatkan invensi itu. Bagi pihak lain, tetap terbuka kemungkinan
untuk menggunakan produk sejenis yang telah ada (sehingga perlu membayar
lebih mahal). Justru sebaliknya, sistem paten membuka kemungkinan bagi
siapa pun untuk meningkatkan lebih lanjut invensi tersebut, sehingga
invensi yang semula perlu diproduksi dengan biaya yang cukup mahal dapat
dibuat dengan cara lain yang menekan ongkos produksinya. Lebih dari
itu,adanya kemungkinan diajukannya lisensi wajib atau pelaksanaan paten
oleh Pemerintah dalam sistem paten, menyebabkan argumentasi itu tidak
tepat, bersifat tendensius, dan menyiratkan kurang dipahaminya sistem
paten secara menyeluruh.
g)
Akses terhadap sumber daya genetika dan pembagian keuntungan yang adil.
Ketentuan mengenai akses terhadap sumber daya genetika dan kemungkinan
pembagian keuntungan yang adil bagi masyarakat yang berlokasi di sekitar
sumber itu, sebagaimana digariskan dalam CBD memang tidak diatur dalam
Undang-undang Paten. Pertimbangan utamanya adalah karena ketentuan
mengenai hal tesebut seyogyanya tidak hanya mengatur invensi terhadap
sumber daya genetika yang dipatenkan, melainkan juga mengenai akses
terhadap sumber daya genetika itu sendiri, penelitian dan pengembangan,
serta eksplorasinya, yang dapat saja tidak terkait dengan masalah
paten.Pengaturan mengenai hal ini, sapat dan perlu segera diwujudkan
sebagai ketentuan lebih lanjut dari Undang-undang No. 5 Tahun1994
tentang Ratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati seperti telah
disinggung di atas.
H. Electronic commerce
Di
samping bioteknologi, bidang ilmu pengetahuan lain yang berkembang
secara pesat dalam beberapa tahun terakhir ini adalah teknologi digital
dan teknologi di bidang telekomunikasi berbasis digital. Hal yang perlu
dikaji lebih lanjut adalah sejauh mana Persetujuan TRIPS menjamin adanya
perlakuan yang seimbang/sepadan 9equal treatment) antara aktifitas
perdagangan yang menggunakan fasilitas internet bila dibandingkan dengan
dilakukan secara konvensional. Dengan ungkapan lain, apa saja yang
perlu diatur unutk menjamin bahwa electronic commerce berjalan secara
wajar/baik.
I. Alih teknologi
Beberapa
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan di bidang hak kekayaan
intelektual telah mengakomodasikan ketentuan yang baik secara langsung
ataupun tidak langsung mensyaratkan dilaksakanannya paten. Perlu
disadari bahwa, betapapun idealnya pengaturan mengenai alih teknologi,
pada akhirnya segalanya tergantung kepada kemampuan kita sendiri untuk
menyempurnakan dan mengembangkan teknologi yang bersangkutan. Oleh
karena itu, peran serta berbagai instansi yang terkait untuk lebih
meningkatkan efektifitas alih teknologi perlu diintensifkan.
J. Penanggulangan terhadap pembajakan optical disc
Tingginya
tingkat pembajakan optical disc tidak hanya mengkhawatirkan pihak
pemegang hak cipta, melainkan juga Pemerintah. Walaupun peraturan
perundang-undangan mengenai hak cipta yang tersedia pada saat ini
relatif sudah cukup memadai mengatur mengenai hal yang berkaitan dengan
pendayagunaan optical disc, koordinasi dengan semua pihak yang
berkompeten perlu lebih diintensifkan guna menekan tingginya produk
hasil bajakan yang pada saat ini beredar di masyarakat luas. Kegiatan
sosialisasi dan penyuluhan yang terprogram dengan baik bagi berbagai
pihak masih perlu terus ditingkatkan. Di samping itu, langkah-langkah
yang bersifat lebih konkrit perlu segera dipersiapkan dan
ditindaklanjuti secara sistematis.
A. Persaingan
1. Pengertian
Persaingan
atau competition oleh Webster didifinisikan sebagai “…a struggle or
contest between two more persons for the same objects”
Dengan
memperhatikan terminology tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam setiap
persaingan akan terdapat unsur-unsur sebagai berikut :
a. ada dua pihak atau lebih yng terlibat dalam upaya saling mengungguli.
b. Ada kehendak diantara mereka untuk mencapai tujuan yang sama.
Anderson
berpendapat bahwa persaingan di bidang ekonomi merupakan salah satu
bentuk persaingan yang paling utama diantara sekian banyak persaingan
antar manusia, kelompok masyarakat, atau bahkan bangsa. Pendapat ini di
dukung oleh fakta histories bahwa pada masa lalu Negara-negara eropa
bersaing secara tajam untuk mendapatkan dan menguasai sumber daya
ekonomi di wilayah asia, afrika, dan amerika selatan.
Salah
satu bentuk persaingan di bidang ekonomi adalah persaingan usaha
(business competition) yang secara sederhana bisa didefinisikan sebagai
persaingan antara para penjual di dalam ‘merebut’ pembeli dan pangsa
pasar.
Menurut
Khemani, persaingan ekonomi adalah “…a situation where firms or sellers
independently strive for buyer’s patronage in order to achieve a
particular business objective, for example, profits, sales or market
share… competitive rivalry may take place in terms of price, quantity,
service, or combination of these and other factors that custumers may
value,”
Dari
definisi itu dikemukakan adanya dua pihak (firms or sellers) yang
bertujuan mencapai tujuan usaha tertentu seperti keuntungan, penjualan,
ataupun pangsa pasar.
Kondisi
persaingan sebagai salah satu karakteristik utama sistem ekonomi pasar
cenderung lebih disukai dari pada kondisi non persaingan. Dilihat secara
objectif, kondisi persaingan memang lebih banyak memberikan keuntungan
di bandingkan kondisi non persaingan.
2. Aspek positif persaingan
Secara garis besar, persaingan bisa membawa aspek positif apabila dilihat dari dua perspektif yaitu; ekonomi dan non ekonomi.
a) Perspektif ekonomi
Argumentasi
sentral untuk mendukung persaingan berkisar di seputar masalah
efisiensi. Mengikuti argumentasi ini, sumber daya ekonomi akan bisa di
alokasikan dan didistribusikan secara paling baik, apabila para pelaku
ekonomi dibebaskan untuk melakukan aktivitas mereka dalam kondisi
bersaing dan bebas menentukan pilihan-pilihan mereka sendiri.
Sementara itu, dalam konteks pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan, persaingan juga membawa implikasi positif berikut:
1.
persaingan merupakan sarana untuk melindungi para pelaku ekonomi
terhadap eksploitasi dan penyalahgunaan. Kondisi persaingan menyebabkan
kekuatan ekonomi tidak terpusat pada tangan tertentu. Dalam kondisi
tanpa persaingan, kekuatan ekonomi akan tersentralisasi pada beberapa
pihak saja. Kekuatan in pada tahap selanjutnya akan menyebabkan
kesenjangan besar dalam posisi tawar-menawar (bargaining position),
serta pada akhirnya membuka peluang bagi penyalahgunaan dan eksploitasi
kelompok ekonomi tertentu. Sebagai contoh sederhana, persaingan antar
penjual dalam industri tertentu akan membawa dampak positif terhadap
komsumen/pembeli, karena mereka diperebutkan oleh para penjual serta
dianggap sebagai sesuatu yang berharga.
2.
Persaingan mendorong alokasi dan relokasi sember-sumber daya ekonomi
sesuai dengan keiginan konsumen,. Karena ditentukan oleh permintaan
(demand), perilaku para penjual dalam kondisi persaingan akan cenderung
mengikuti pergerakkan permintaan para pembeli. Dengan demikian, suatu
perusahaan akan meninggalkan usaha yang tidak memiliki tingkat
permintaan yang tinggi. Singkatnya, pembeli akan menentukan produk apa
dan produk yang bagaimana yang mereka sukai dan penjual akan bisa
mengfisienkan alokasi sumber daya dan proses produksi seraya beraharap
bahwa produk mereka akan mudah terserap oleh permintaan pembeli.
3.
persaingan bisa menjadi kekuatan untuk mendorong penggunaan sumber daya
ekonomi dan metode pemafaatannya secara efisien. Dalam hal perusahaan
bersaing secara bebas, maka mereka akan cenderung menggunakan sumber
daya yang ada secara efisien. Jika tidak, resiko yang akan di hadapi
oleh perusahaan adalah muncul nya biaya berlebihan (excessive cost) yang
pada gilirannya akan menyingkirkan dia dari pasar.
4.
persaingan bisa merangsang peningkatan mutu produk, pelayanan, proses
produksi, dan teknologi. Dalam kondisi persaingan, setiap pesaing akan
berusaha mengurangi biaya produksi serta memperbesar pangsa pasar
(market share). Metode yang bisa ditempuh untuk mencapai tujuan itu
diantaranya adalah dengan meningkatkan mutu produk, pelayanan, proses
produksi, serta inovasi teknologi.
b) perspektif non-ekonomi
dari sisi politik, scherer mencatat bahwa setidaknya ada tiga argumen untuk mendukung persaingan dalam bidang usaha, yaitu:
1.
dalam kondisi penjual maupun pembeli terstruktur secara atomistic
(masing-masing sebagai unit-unit terkecil dan independen) yang ada dalam
persaingan, kekuasaan ekonomi atau yang didukung factor ekonomi
(economic or economic supported power) menjadi terbesar dan
terdesentralisasi. Dengan demikian pembagian sumber daya alam dan
pemerataan pendapatan akan terjadi secara mekanik, terlepas sama sekali
dari campur tangan kekuasaan pemerintah maupun pihak swasta yang
memegang kekuasaan. Gagasan melepaskan aktivitas sipil (termasuk
aktivitas ekonomi) dari campur tangan penguas (khusus nya pemerintah)
ini sejalandengan ideology liberal yang mewarnai sistem pemerintahan
Negara-negara barat.
2.
sistem ekonomi pasar yang kompetitif akan bisa menyelesaikan
persoalan-persoalan ekonomi secara impersonal, bukan melalaui personal
pengusaha maupun birokrat. Dalam keadaan seperti ini, kekecewaan politis
masyarakat yang usaha nya terganjal keputusan pengusaha maupun penguasa
tidak akan terjadi. Dengan kalimat yang lebih sederhana, dalam kondisi
persaingan, jika seseorang warga masyarakat terpuruk dalam bidang
usahanya, ia tidak akan terlalu merasa sakit karena ia jatuh bukan
karena kekuasaan orang tertentu, melainkan suatu proses yang mekanistik
(permintaan-penawaran). Hal seperti itu bisa dipastikan tidak akan
terjadi dalam hal seseorang ‘jatuh’ akibat keputusan penguasa atau
pengusaha yang memegang dominasi ekonomi. Dalam ruang lingkup yang lebih
luas, proses impersonal dan mekanistis dari persaingan ini bisa saja
menentukan stabilitas politik suatu komunitas.
3.
kondisi persaingan juga berkaitan erat dengan kebebasan manusia untuk
mendapatkan kesempatan yang sama di dalam berusaha. Dalam kondisi
persaingan, pada dasarnya setiap orang akan punya kesempatan yang sama
untuk berusaha dan dengan demikian hak setiap manusia untuk
mengembangkan diri (the right to self-development) menjadi terjamin.
3. Aspek Negatif Persaingan
meskipun
secara umum dapat dikatakan bahwa aspek positifnya lebih menonjol,
kondisi persaingan dalam beberapa hal juga memiliki aspek-aspek negatif.
Beberapa aspek negatif yang dikemukakan oleh Anderson adalah sebagai
berikut:
1.
sistem persaingan memerlukan biaya dan kesulitan-kesulitan tertentu
yang tidak didapati dalam sistem monopoli. Dalam keadaan persaingan,
pihak penjual dan pembeli secara relatif akan memiliki kebebasan untuk
mendapatkan keuntungan ekonomi. Mereka masing-masing akan memiliki
posisi tawar menawar yang tidak terlalu jauh beda, sehingga konsekuensi
logis nya adalah bahwa akan ada waktu yang lebih lama dan upaya yang
lebih keras dari masing-masing pihak untuk mencapai kesepakatan. Biaya
yang harus dibayar untuk hal ini adalah biaya kontraktual (contractual
cost) yang tidak perlu ada seandainya para pihak tidak bebas
bernegosiasi.
2.
persaingan bisa mencegah koordinasi yang diperlukan dalam industri
tertentu. Salah satu sisi negatif dari persaingan adalah bahwa
persaingan bisa mencegah koordinasi fasilitas teknis dalam bidang usaha
tertentu yang dalam lingkup luas sebenarnya diperlukan demi efisiensi.
Misalnya, pengguna telepon produk suatu perusahaan tertentu menjadi
kesulitan menggunakan pengguna telepon produk perusahaan lain, apabila
kedua perusahaan itu merupakan pesaing independent yang tidak
mengkoordinasikan fasilitas teknis mereka.
3.
persaingan apabila dilakukan oleh pelaku ekonomi yang tidak jujur, bisa
bertentangan dengan kepentingan publik. Resiko ekstrim dari pesaing
yang sangat relevan tentunya adalah kemungkinanditempuhnya
praktek-praktek curang (unfair competition)karena persaingan dianggap
sebagai kesempatan untuk dapat menyingkirkan pesaing dengan cara apapun.
B. Monopoli
1. Pengertian
Hukum
mengartikan monopoli sebagai suatu penguasaan atas produksi dan atau
pemasaran barang atau atas penggunaan atas jasa tertentu oleh 1 (satu)
pelaku usaha atau 1 (satu) kelompok usaha tertentu. Secara etimologi,
kata monopoli berasal dari kata yunani ”monos” yang berarti sendiri dan
”polein” yang berarti penjual. Dari akar kata tersebut, secara sederhana
orang lantas memberi pengertian monopoli sebagai suatu kondisi dimana
hanya ada satu penjual yang menawarkan (supply) suatu barang atau jasa
tertentu.
Dalam
perkembangannya, meskipun dimaksudkan untuk menggambarkan fakta yang
kurang lebih sama, istilah monopoli sering dipakai orang untuk menunjuk
tiga titik berat yang berbeda.
•
Istilah monopoli dipakai untuk menggambarkan suatu struktur pasar
(keadaan korelatif permintaan dan penawaran). Meiners misalnya
memberikan definisi “a market structure in which the output of an
industry is controlled by a single seller or a group of sellers making
joint decisions regarding production and price”. Dari pendapat itu dapat
dilihat bahwa Meiners sedikit ‘keluar’ dari definisi etimologis.
Menurutnya, monopoli itu bisa dilakukan oleh lebih dari satu penjual
yang membuat keputusan bersama tentang produk atau harga.
•
Istilah monopoli juga sering di gunakan untuk menggambarkan suatu
posisi. Maksudnya adalah posisi penjual yang memiliki pengasaan dan
kontrol eksklusif atas barang atau jasa tertentu.
•
Istilah monopoli juga dipergunakan untuk menggembarkan kekuatan yang
dipegang oleh penjual untuk menguasai penawaran, menentukan harga, serta
memanipulasi harga.
Meskipun
ada titik berat yang berbeda-beda dalam penggunaan istilah, monopoli
secara umum menggambarkan fakta yang sama, yakni pemusatan kekuatan
penawaran eksklusif pada pihak penjual dalam suatu pasar.
Berbeda
dengan persaingan yang bersifat mendesentralisasikan kekuatan ekonomi,
didalam ekonomi justru terkandung pengertian adanya pemusatan kekuatan.
Karena
keadaan yang tidak seimbang antara penjual dan pembeli, umumnya
monopoli dianggap sebagai kondisi yang negatif. Hal ini cukup logis,
karena dalam kondisi monopoli terbuka kemungkinan cukup besar bagi
penyalahgunaan oleh pemegang kekuasaan monopoli. Meskipun demikian ada
aspek positif yang dapat diambil dari monopoli disamping aspek negatif
yang lebih sering di kemukakan.
2. Aspek Positif Monopoli
1.
monopoli bisa memaksimalkan efisiensi pengelolaan sumber daya ekonomi
tertentu. Apabila sumber daya alam minyak bumi dikelola oleh satu unit
usaha tunggal yang besar, maka ada kemungkinan bahwa biaya-biaya
tertentu bisa dihindari.
2.
monopoli juga bisa menjadi sarana untuk meningkatkan pelayanan terhadap
konsumen dalam industri tertentu. Dalam usaha pelayanan telekomunikasi
misalnya, para pengguna asa akan bisa saling berhubungan tanpa kesulitan
karena hubungan itu di fasilitasi oleh satu perusahaan yang memiliki
basis teknologi yang bisa dimanfaatkan oleh semua konsumen.
3.
monopoli bisa menghindarkan duplikasi fasilitas umum. Ada kalanya
bidang usaha tertentu akan lebih efisien bagi public apabila dikelola
oleh satu perusahaan. jika distribusi air minum diberikan pada lebih
dari satu perusahaan yang saling bersaing, yang mungkin terjadi adalah
bahwa mereka akan membangun instalasi sendiri (penampungan, pipa-pipa)
air minum mereka. Dari segi kepentingan publik, duplikasi fasilitas air
minuum itu bisa dianggap sebagai sesuatu yang kurang efisien.
4.
dari sisi produsen, monopoli bisa menghindarkan biaya pariwar/iklan
serta biaya diferensiasi. Jika terjadi persaingan, setiap perusahaan
yang bersaing akan saling mencoba merebut konsumen dengan banyak cara.
Pariwara tampaknya menjadi cara yang cukup penting untuk menjangkau
konsumen. Dalam hal terjadi monopoli, kedua biaya itu tidak relevan.
Karena perusahaan akan selalu berada pada pihak yang lebih dibutuhkan
oleh konsumen, ia tidak perlu bersusah-susah mendapatkan konsumen
melalui pariwara atau difernsiasi produk.
5.
dalam monopoli biaya kontraktual bisa dihindarkan. Persaingan membuat
kekuatan ekonomi tersebar(dispersed). Maka, para pelaku ekonomi akan
memiliki kekuatan yang relitaf tidak jauh berbeda. Konsekuensinya, jika
mereka akan saling bertransaksi, waktu, biaya, dan tenaga yang
diperlukan menjadi lebih besar. Kondisi ini tidak dijumpai dalam kondisi
monopoli dimana peluang untuk bernegosiasi tidak terlampau besar.
6.
monopoli bisa digunakan sebagai sarana untuk melindungi sumber daya
tertentu yang penting bagi masyarakat luas dari eksploitasi yang
semata-mata bersifat ‘profit-motive’.
3. Aspek Negatif Monopoli
1.
monopoli membuat konsumen tidak mempunyai kebebasan memilih produk
sesuai dengan kehendak dan keinginan mereka. Jika penawaran sepenuhnya
dikuasai oleh seorang produsen, secara praktis para konsumen tidak punya
pilihan. Dengan kata lain, mau tidak mau ia harus menggunakan produk
satu-satunya itu.
2.
monopoli membuat posisi konsumen menjadi rentan di hadapan produsen.
Ketika produsen menempati posisi sebagai pihak yang lebih dibutuhkan
dari pada konsumen, terbuka peluang besar bagi produsen untuk merugikan
konsumen melalui penyalahgunaan posisi monopolistiknya. Antara lain bisa
menentukan harga secara sepihak secara menyimpang dari biaya produksi
riil.
3.
monopoli juga berpotensi menghambat inovasi teknologi dan proses
produksi. Dalam keadaan tidak ada pesaing, produsen lantas tidak
memiliki motivasi yang cukup besar untuk mencari dan mengembangkan
teknologi dan proses produksi yang baru. Akibatnya, inovasi teknologi
dan proses produksi akan mengalami stagnasi.
4.
terjadi peningkatan harga suatu produk sebagai akibat tidak ada
kompetisi dan persaingan bebas. Harga yang tinggi ini pada gilirannya
akan menyebabkan inflasi yang merugikan masyrakat luas.
5.
pelaku usaha mendapat keuntungan (profit) di ats kewajaran yang normal.
Ia akan seenak nya menetapkan harga untuk mendapatkan keuntungan yang
sebesar-besar nya karena konsumen tidak ada pilihan lain dan terpaksa
membeli suatu produk tersebut.
6.
terjadi ketidak ekonomisan dan ketidak efisienan yang akan di bebankan
kepada konsumen dalam rangka menghasilkan suatu produk, karena
perusahaan monopoli cenderung tidak beroperasi pada average cost yang
minimum.
7.
ada entry barrier dimana perusahaan lain tidak dapat masuk ke dalam
bidang usaha perusahaan monopoli tersebut, karena penguasaan pangsa
pasar yang besar. Perusahaan-perusahaan kecil tidak diberi kesempatan
untuk tumbuh berkembang dan akan jatuh satu persatu.
8.
pendapatan jadi tidak merata, karena sumber dana dan modal akan
tersedot kedalam perusahaan monopoli. Masyarakat banyak harus berbagi
dengan banyak orang dalam bagian yang sangat kecil, sementara perusahaan
monopoli dengan sedikit orang akan menikmati bagian yang lebih besar.
4. Jenis-Jenis Monopoli
a) berdasarkan siapa yang memegang atau memiliki kekuasaan monopoli:
• Monopoli Swasta (Private Monopoly)
yaitu monopoli yang dipegang oleh pihak non public, seperti perusahaan swasta, koperasi, dan perseorangan.
• Monopoli Public (Public Monopoly)
Yaitu monopoli yang dipunyai oleh badan publik (public body), seperti Negara, Negara bagian, dan pemerintah daerah.
b) berdasarkan sisi keadaan yang menyebabkannya:
• Natural Monopoli
yaitu
monopoli yang disebabkan oleh factor-faktor alami yang eksklusif. Jika
suatu daerah terdapat bahan tambang langka yang tidak dijumpai didaerah
lain, pengelolaan sumber daya itu akan memiliki natural monopoli.
• Sosial Monopoli
Yaitu
monopoli yang tercipta dari tindakan manusia atau kelompok social.
Monopoli terhadap hak cipta yang diberikanoleh Negara kepada seorang
pencipta misalnya, merupakan contoh dari monopoli social.
c) berdasarkan legal atau tidaknya:
• Monopoli Legal
yaitu monopoli yang tidak dilarang oleh hukum di suatu Negara.
• Monopoli Illegal
Yaitu monopoli yang dilarang oleh hukum di suatu Negara.
Mengingat
banyak nya sistem hukum yang memiliki pengaturan berbeda-beda, tentu
saja kriteria legal dan illegal antara Negara yang satu dengan Negara
yang lain juga berbeda. Apa yang dikatakan sebagai monopoli legal di
suatu Negara belum tentu merupakan monopoli legal pula di Negara yang
lain.
C. Persaingan, Monopoli Dan Hukum
Dengan
memandang persaingan dan monopoli sekedar sebagai suatu instrument,
satu hal yang relevan bagi suatu ekonomi adalah mengatur bagaimana
instrument itu digunakan. Atau dengan kata lain, bagaimana persaingan
dan monopoli diatur sehingga menonjolkan aspek-aspek positifnya.
Biarpun
hukum bukan merupakan satu-satunya instrument yang memiliki kekuatan
mengatur, secara luas dipahami bahwa hukum adalah sarana pengatur yang
memiliki kekuatan memaksa yang memadai. Dalam dunia usaha memang dikenal
ada etika usaha (business ethic) yang menjadi code of conduct. Meskipun
demikian kekuatan yang mendorong ditaatinya etika semacam itu lebih
terletak pada moralitas yang sering terkalah kan oleh
kepentingan-kepentingan yang dianggap lebih signifikan. Berbeda dari
etika yang lebih banyak dimotori oleh moralitas, hukum di dorong oleh
daya paksa yang lebih konkret berupa sanksi.
A. Pengertian dan Istilah
Berbagai istilah yang dikenal dan sering digunakan untuk menunjuk instrumen hukum yang mengatur persaingan dan monopoli.
1. Hukum anti monopoli atau undang-undang antimonopoly (antimonopoly law).
hukum ini berisi ketentuan-ketentuan untuk menentukan atau meniadakan monopoli.
2. Hukum antitrust atau undang-undang antitrust (antitrust law).
Istilah
‘trust’ digunakan untuk menunjukkan perusahaan besar yang terbentuk
dan mempunyai kekuatan monopolistiik. Secara hakiki istilah ‘hukum
antitrust’ memiliki pengertian yang sama dengan istilah ‘hukum
monopoly’. Kedua nya dipakai untuk menunjukkan ketentuan-ketentuan hukum
yang ditunjukkan untuk meniadakan monopoli.
3. Hukum persaingan (competition law).
Hukum
persaingan merupakan instrument hukum yang menentukan tentang bagaimana
persaingan itu harus dilakukan. Meskipun secara khusus menekankan pada
aspek ‘persaingan’, hukum persaingan usaha juga berkaitan erat dengan
pemberantasan monopoli, karena yang juga menjadi perhatian dari hukum
persaingan adalah mengatur persaingan sedemikian rupa sehingga ia tidak
menjadi sarana untuk mendapatkan
monopoli.
4. Hukum praktek-praktek perdagangan curang (unfair trade practices law).
Istilah ini secara khusus memberi penekanan pada persaingan di bidang perdagangan.
5. Hukum persaingan ‘sehat’ (fair competition law).
Istilah
ini memiliki pengertian yang sama persis dengan competition law.
Bedanya, istilah ini menegaskan bahwa yang ingin dijamin adalah
terciptanya persaingan yang sehat.
B. Tujuan Hukum Persaingan Usaha
Khemani
mencatat bahwa tujuan hukum persaingan usaha bisa dibedakan menjadi dua
yaitu (1) tujuan yang semata-mata dilandasi oleh pertimbangan ekonomis,
(2) tujuan yang dilandasi oleh pertimbangan nonekonomis.
Ketika
hukum persaingan usaha dilandasi oleh pertimbangan ekonomi (economic
considerations), yang diharapkan bisa dicapai oleh hukum persaingan
usaha adalah terciptanya efisiensi ekonomi.
Khemani
mengemukakan bahwa tujuan-tujuan hukum persaingan usaha setiap Negara
berada pada satu titik tertentu diantara kedua kutub ekstrim
pertimbangan ekonomi dan nonekonomi.
Tujuan-tujuan utama hukum persaingan usaha:
1) Memelihara kondisi kompetisi yang bebas (maintenance of free competition).
Bank
dunia menegaskan bahwa perlindungan terhadap persaingan tidaklah
identik dengan perlindungan terhadap pesaing (competitors). Hukum
persaingan usaha ditujukan untuk melindungi persaingan, bukannya untuk
melindungi pesaing. Tujuan ini dilandasi baik oleh alasan ekonomi
(efisiensi dalam persaingan) maupun ideoligi (kebebasan yang sama untuk
berusaha dan bersaing). Tujuan pemeliharaan kondisi kompetisi yang bebas
ini sesungguhnya merupakan upaya untuk memaksimalkan aspek-aspek
positif yang ada pada persaingan. Persaingan yang sehat akan membawa
dampak terhadap alokasi dan relokasi sumber daya ekonomi secara efisien.
Disamping itu, persaingan yang bebas akan memacu inovasi dalam
teknologi maupun proses produksi. Prancis menekankan bahwa tujuan
kebijakan persaingan Negara itu adalah menjamin kebebasan ekonomi
(securing economic freedom), khususnya kebebasan untuk bersaing (freedom
of competition). Jerman menganggap bahwa kebebasan ekonomi individual
setara dengan kebebasan lain dalam sistem demokratik konstitusional.
2) Mencegah penyalahgunaan kekuatan ekonomi (prevention of abuse of economic power)
Tujuan
ini lebih mementingkan pelarangan tindakan tertentu (penyalahgunaan
kekuatan ekonomi) dan lebih dimaksudkan untuk menjamin supaya persaingan
terjadi secara proporsional, dalam arti pihak yang kuat secara ekonomi
tidak merugikan pelaku usaha yang lain dalam persaingan.
Tujuan
penyalahgunaan kekuatan ekonomi ini sebenarnya erat sekali dengan
adagium “power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely”
dari Lord Acton. Tujuan ini dilandasi oleh pemikiran pembentukan
kekuatan ekonomi yang rentan terhadap penyalahgunaan yang merugikan
pelaku ekonomi lain yang lebih lemah.
3) Melindungi Konsumen (Protection Of Consumer).
Di
amerika serikat, persoalan perlindungan konsumen merupakan isu yang
cukup menonjol dalam hukum persaingan usaha. The federal trade
competition (FTC), sebagai salah satu pilar penegak hukum antitrust AS
disamping Department Of Justice (DOJ), bahkan secara tegas menyatakan
bahwa:
“consumer choice is a powerful incentive for the sellers of any products to keep their prices low and their quality high…
To
ensure costumer choice, the antitrust law set two basic requirements:
companies cannot agree to limit competition in ways that hurt consumers;
and a single company cannot monopolize an industry through unfair
practices.”
Satu
persoalan konkret yang muncul sehubung dengan tujuan maksimalisasi
kesejahteraan konsumen ini adalah apakah ketentuan persaingan usaha
semata-mata ditujukan kepada perlindungan konsumen ataukah juga harus
memperhatikan kepentingan produsen. Beberapa Negara, khususnya Negara
yang sedang berkembang yang mementingkan pertumbuhan ekonomi, menganggap
bahwa tekanan persaingan global menuntut supaya mereka melindungi
produsen dalam industri tertentu, setidaknya dalam jangka pendek.
Perlakuan khusus terhadap industri tertentu ini sering kali mengabaikan
kepentingan konsumen.
Dengan
melihat beberapa tujuan utama yang ingin dicapai oleh hukum persaingan
usaha, pada hakikatnya hukum ini dimaksudkan untuk mengatur persaingan
dan monopoli demi tujuan-tujuan yang menguntungkan.
Apabila
hukum persaingan usaha diberi arti yang lebih luas, bukan hanya
meliputi pengaturan persaingan, melainkan juga soal boleh tidaknya
monopoli untuk mengatur sumber daya mana yang harus dikuasai Negara dan
mana yang boleh dikelola oleh swasta.
Untuk
Negara-negara yang bercirikan Negara kesejahtaraan (walfare state),
soal alokasi sumber daya dianatar sector public dan swasta menjadi cukup
penting, mengingat bahwa Negara kesejahteraan juga berkepentingan untuk
mencapai kesejahteraan umum warganya dengan sumber daya yang terbatas,
bukan sekedar menjamin keamanan swasta untuk mengejar kesejahteraan
mereka sendiri. Dalam keadaan seperti ini, kehadiran ketentuan secara
tegas memisahkan sumber daya public dan sumber daya privat menjadi tidak
terhindarkan untuk meniadakan tumpang tindih alokasi public privat yang
pasti terjadi bila tidak ada peraturan tegas tentnag itu.
Ketika
suatu Negara memiliki sumber daya, katakanlah minyak bumi, dalam jumlah
besar, Negara itu akan memiliki dua pilihan. Ia bisa saja membebaskan
komoditi itu bagi persaingan yang melibatkan perusahaan-perusahaan
swasta. Jika pilihan itu yang diambil, konsekuensi yang harus dihadapi
adalah bahwa eksploitasi akan dilakukan oleh perusahaan-perusahaan itu
atas nama keuntungan pribadi mereka. Pilihan lain adalah menerapkan
monopoli public terhadap komoditi vital tersebut. Apabila ini yang
dipilih, konsekuensinya adalah bahwa untuk industri ini tidak ada
persaingan, karena hanya ada satu pihak yang berwenang menguasai minyak
bumi. Monopoli ini akan menjadi lebih baik kalau ditujukan pada
tercapainya kesejahteraan umum. Persoalannya mungkin akan berbeda kalau
monopoli dipegang oleh swasta. Khusus untuk hal ini, suatu instrument
hukum akan diperlukan untuk memberikan kejelasan mengenai apa yang boleh
dimonopoli oleh Negara.
tiap
Negara memiliki kewenangan eksklusif untuk menyusun legislasi mereka
masing-masing. Atas dasar ini dapat dipahami bila ditemukan ketentuan
persaingan usaha yang berbeda antara satu Negara dengan yang lain.
Meskipun demikian, persamaan-persamaan dasar ini wajar ada karena setiap
ketentuan persaingan usaha dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan
yang sebenarnya tidak terlalu jauh berbada. Persamaan-persamaan ini
terefleksikan oleh Khemani yang berpendapat bahwa “competition laws
generally consist of substantive conduct and structural provisions
relating to business activity, together with additional procedural
provisions on administration and enforcement”.
Dari pendapat itu dikatakan bahwa pada umumnya hukum persaingan usaha berisi hal-hal berikut:
1. ketentuan-ketentuan tentang perilaku yang berkaitan dengan aktivitas-aktivitas usaha.
2. ketentuan-ketentuan struktural yang berkaitan dengan aktivitas usaha.
3. ketentuan-ketentuan prosedural tentang pelaksanaan dan penegakan hukum persaingan usaha.
Hukum
persaingan usaha berisi ketentuan-ketentuan substansial tentang
tindakan-tindakan yang dilarang (beserta konsekuensi hukum yang bisa
timbul) dan ketentuan-ketentuan prosedural mengenai penegakan hukum
persaingan.
Tidakan-tindakan
yang dilarang oleh hukum persaingan usaha sebenarnya bisa dibedakan
menjadi dua kategori, yaitu tindakan anti persaingan (anticompetition)
dan tindakan persaingan curang (unfair competition practice, unfair
methods of competition). Memang tidak semua Negara membuat pembedaan
yang tajam mengenai dua kategori ini, lagipula perbatasan antara
keduanya terkadang tidak tampak jelas. Namun, agar tidak sistematik,
pembahasan tentang ketentuan-ketentuan substansial hukum persaingan akan
dilakukan dengan berpijak pada dua kategori tindakan tersebut.
A. Tindakan Antipersaingan
Tindakan
antipersaingan merupakan satu kategori untuk menunjuk jenis-jenis
tindakan yang bersifat menghalangi atau mencegah persaingan atau
tindakan untuk menghindari persaingan. Memang secara ideal persaingan
memiliki banyak aspek positif, tetapi bagi pelaku usaha, persaingan
sering kali dipandang sebagai sesuatu yang kurang menguntungkan.
Persaingan adalah proses perebutan pangsa pasar, konsumen, dan
keuntungan. Untuk bisa menang dalam persaingan, sering kali para pelaku
usaha harus menekan harga untuk merebut konsumen. Penekanan harga ini
tentunya akan berakibat pada berkurangnya keuntungan yang mereka
peroleh. Disamping harga, yang mereka sering pakai sebagai “senjata”
dalam persaingan usaha adalah peningkatan mutu produk dan pelayanan
terhadap konsumen. Sama halnya dengan persaingan harga (price
competition), persaingan dalam peningkatan mutu produk dan pelayanan ini
juga akan bermuara pada berkurangnya keuntungan. Bagi pelaku usaha yang
bersifat profit motif, konsekuensi ini cenderung dipandang negatif.
Dengan demikian adalah suatu yang logis apabila para pelaku usaha
memilih untuk tidak bersaing. Kecenderungan seperti ini bahkan telah
ditemukan oleh Adam Smith dalam masterpiece-nya, the wealth of
nations(1776). Dia mengatakan:
“people
of the same trade seldom meet together, even for merriment and
diversion, but the conversation ends in a conspiracy against the public,
or in some contrivance to raise prices”.
Tindakan-tindakan yang masuk dalam kategori tindakan antipersaingan, yaitu:
1. Merger
Merger
berasal dari akar kata kerja ‘to merge’, secara luas dipahami sebagai
proses penggabungan dua perusahaan atau lebih menjadi satu perusahaan.
Dengan ilustrasi sederhana dapat digambarkan bahwa merger terjadi
apabila dua perusahaan bergabung dan salah satunya masih mempertahankan
identitasnya (perusahaan A + perusahaan B = perusahaan A atau perusahaan
B). Merger sesungguhnya dapat dipandang sebagai salah satu bentuk
integrasi usaha yang sering dilakukan untuk mencapai proses produksi
yang lebih efisien. Meiners mengatakan bahwa suatu usaha dikatakan
terintegrasi apabila tahap-tahap dalam proses produksi atau
distribusinya dilakukan di dalam satu perusahaan (in-house) atau jika
tidak diikat oleh kontrak. Contohnya perusahaan general motors yang
memproduksi auto mobil. Operasi general motors merupakan operasi yang
bersifat terintegrasi, karena proses produksinya terikat dalam satu
koordinasi usaha. Sebenarnya setiap komponen otomotif (mesin, kerangka,
aksesoris) bisa saja diproduksi oleh perusahaan-perusahaan yang mandiri.
Perusahaan-perusahaan independent itu bisa saja menjual produknya
kepada satu perusahaan yang merakit komponen-komponen itu menjadi produk
akhir otomotif. Namun, pengalaman menunjukkan bahwa proses produksi
yang terintegrasi semacam itu lebih memakan biaya. Biaya produksi bisa
ditekan dengan integrasi usaha yang salah satunya berbentuk merger.
Merger memang bisa membawa keuntungan nyata bagi persaingan dan bagi
konsumen. Meskipun demikian, jika merger bermuara pada berkurangnya
jumlah perusahaan dalam satu industri, yang dikhawatirkan adalah
berkurangnya kompetisi. Pada umumnya merger dikatakan memiliki efek
antipersaingan apabila dua kondisi berikut terpenuhi:
a. pasar terkonsentrasi secara substansial setelah terjadi merger.
b. Perusahaan lain menjadi kesulitan untuk memasuki pasar dan menjadi pesaing.
Bank
dunia juga mencatat bahwa merger pada dasarnya merupakan aktivitas yang
biasa diambil oleh para pelaku usaha demi tercapainya efisiensi dalam
industri tertentu. Semua Negara yang telah memiliki hukum persaingan
usaha mereka cenderung untuk mengatur merger yang membawa dampak negatif
terhadap persaingan. Ketika suatu perusahaan yang bergerak di bidang
penerbitan melakukan merger dengan perusahaan di bidang minuman ringan
(beverages), damapak negatif terhadap persaingan dalam industri
penerbitan ataupun minuman ringan, kecil untuk terjadi. Namun, apabila
merger dilakukan antara perusahaan penerbitan dengan perusahaan serupa
yang menjadi pesaing utamanya, damapk negatif terhadap persaingan lebih
mungkin untuk terjadi.
Dilihat dari pihak-pihak yang bergabung, merger bisa dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Merger horizontal (horizontal merger)
suatu
merger dikatakan merger horizontal apabila dilakukan antara
perusahaan-perusahaan yang sebelumnya merupakan pesaing dalam suatu
usaha.
Di
amerika serikat, merger horizontal bisa dikaitkan dengan
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Sherman Act 1890. section 1 dan 2
dari ketentuan tersebut ialah sbb:
Section
1 : every contract, combination in the from of trust or otherwise or
conspiracy, in restraint of trade or commerce among the several states,
or with foreign nations, is hereby declared to be illegal.
Section
2 : every person who shall monopolize, or attempt to monopolize or
combine or conspire with any other person or persons, to monopolize any
part of the trade or commerce among the several states, or with foreign
nations, shall be deemed guilty of a felony. Dalam section 1 dan 2
tersebut memang tidak secara tegas disebut-sebut tentang merger
horizontal. Intinya, ketentuan-ketentuan tersebut berisi pelarangan
terhadap perjanjian, penggabungan, persekongkolan, dan monopolisasi.
Dengan begitu, penggabungan maupun merger tidak akan dilarang apabila
tidak mengarah pada monopoli.
Akibat
monopolistik dari merger yang diisyaratkan oleh Sherman Act ini
ternyata cukup menyulitkan dalam praktek. Sering kali sulit dibuktikan
secara cukup meyakinkan bahwa suatu merger akan menciptakan monopoli.
Kesulitan ini agak teratasi saat kongres Amerika tahun 1955 melakukan
amandemen terhadap section 7 instrumen antitrust lain, Clayton Act.
Meskipun demikian, tetap tidak ada petunjuk yang jelas mengenai tindakan
yang mengarah pada monopoli (monopolistic behavior). Dengan demikian,
merger horizontal akan diperlakukan secara case by case oleh pengadilan
untuk menentukan ada tidak nya monopoli yang terbentuk dengan
memanfaatkan konsep-konsep ekonomi, seperti harga produk, output,
keuntungan, serta concentration ratio. Berikut ini beberapa konsep
ekonomi yang sering digunakan oleh pengadilan untuk menilai apakah suatu
merger melanggar ketentuan antimonopoly atau tidak.Salah satu konsep
terpenting untuk menilai legalitas merger di banyak Negara adalah
kekuatan pasar (market power). Sebagai ukuran umum, merger akan dianggap
legal apabila hasil dari proses itu tidak mengarah pada monopoli.
Sebaliknya, merger akan dianggap ilegal apabila hasilnya cenderung
mengarah pada monopoli (menghasilkan kekuatan pasar yang dominan).
Dengan demikian yang harus dicermati oleh otoritas ketentuan
antimonopoli adalah seberapa besar kekuatan pasar dari perusahaan yang
terbentuk karena merger. Sebagai contaoh, perusahaan A adalah perusahaan
B yang dinegara itu memiliki pangsa pasar sebesar 40% untuk kertas
Koran.jika mereka memutuskan untuk melakukan merger, pangsa pasar
perusahaan hasil merger akan mencapai 85%. Meskipun ada standar yang
tidak sama antara Negara yang satu dengan yang lain, pangsa pasar yang
sebesar itu bisa menjadi alasan kuat bagi otoritas persaingan untuk
mencegah merger tersebut dengan alasan cenderung mengarah pada monopoli
melalui perluasan pangsa pasar. Sebaliknya, jika mereka masing-masing
hanya memiliki 5% pangsa pasar, bisa diasumsikan bahwa merger mereka
tidak menghasilkan penguasaan pangsa pasar yang besar. Dari ilustrasi
diatas, dapat dikatakan bahwa untuk melihat kekuatan pasar dari suatu
perusahaan hasil merger perlu terlebih dahulu ditentukan pasar yang
relevan (the relevant market). Untuk melihat pasar relevan umumnya yang
akan diperhatikan adalah pasar produk (product market) dan pasar
geografik (geographic market).
1) Pasar produk (Product market)
Pasar
produk adalah lembaga dimana penjual dan pembeli melakukan negosiasi
untuk melakukan transaksi produk tertentu. Clayton Act menggunakan
istilah “in any line of commerce” untuk menunjk pada pasar produk ini.
Dalam analisis antimonopoly, penentuan pasar produk yang spesifik ini
sangat perlu karena ia menjadi dasar untuk menentukan kekuatan pasar.
Suatu merger akan lebih menjadi perhatian otoritas hukum persaingan
apabola dilakukan antara dua perusahaan yang berada dalam pasar produk
yang sama, karena merger yang demikian akan mempengaruhi pasar produk
tersebut. Sebaliknya, merger yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan
yang tidak berada pada “line commerce” yang sama tidak akan banyak
mempengaruhi pasar produk tertentu.
Contoh
sederhana, perusahaan A dan perusahaan B dikatakan berada pada pasar
produk yang sama apabila mereka menjual produk yang sama. Jika
perusahaan A menjual minyak pelumas motor dan perusahaan B juga menjual
minyak pelumas motor, mereka berada pada pasar produk yang sam yakni
pasar produk pelumas motor. Jika perusahaan A dan B melakukan merger,
maka hasilnya akan mempengaruhi pasar produk minyak pelumas.
Dalam
praktek tidaklah terlalu mudah menentukan pasar produk tertentu, karena
produk yang satu bisa saja ‘berdekatan’ dengan produk yang lain
sehingga menimbulkan pertanyaan apakah kedua nya berada dalam pasar
produk yang sama atau tidak. Salah satu contoh yaitu hal yang terjadi di
Amerika serikat dalam kasus U.S. v. E.I. du pont de Nemours &
Company (1958). Dalam kasus tersebut, mahkamah agung Amerika Serikat
dihadapkan pada persoalan tentang apakah du pont monopoli pasar produk
cellophane (sejenis perekat dari bahan plastik). Jika pasar produk dalam
kasus itu secara konkret diartikan sebagai ‘pasar produk cellophane’,
du pont memiliki pangsa pasar sebesar 75%, suatu persentase yang cukup
untuk mengatakan bahwa du pont memonopoli pasar. Namun, persoalannya
pasar produk bisa sedikit diperluas bukan hanya terbatas pada produk
cellophane, melainkan juga meliputi produk-produk yang berdekatan yang
bersam-sama dengan cellophane bisa digolongkan sebagai produk “alat
untuk mengemas paket” (packaging materials), seperti aluminium foil,
glassine, dan polyethylene. Jika pasar produk dalam kasus ini diartikan
sebagai pasar produk ‘packaging materials’, du pont dengan cellophane
nya hanya menguasai 20% pangsa pasar, angka persentase yang tidak cukup
untuk mengatakan bahwa perusahaan itu melakukan monopoli.
Untuk
membantu menentukan pasar produk tertentu yang tidak selalu mudah,
konsep yang bisa digunakan adalah “cross elasticity demand” atau dapat
tidaknya produk yang satu digantikan oleh produk yang lain. Jika dua
produk bisa saling menggantikan meskipun secara spesifik mereka berdua
berbeda, bisa saja ditetapkan bahwa mereka berada dalam pasar produk
yang sama.
2) Pasar Geografik (Geographic market)
Sama
dengan pasar produk, penentuan luas pasar secara geografik (local,
regional, nasional, atau internasional) juga bisa bermuara pada
kesimpulan yang berbeda tentang apakah suatu perusahaan memegang posisi
monopoli atau tidak.
Luas
sempitnya pasar produk secara geografik sebenarnya bisa dipengaruhi
oleh beberapa factor. Dari sisi penjual misalnya, luas tidaknya
jangkauan penjualan produknya akan ditentukan oleh biaya transportasi.
Produk yang berat serta besar, akan memakan biaya transportasi besar
jika dibawa kelain tempat, akan cenderung memiliki pasar yang secara
geografik sempit. Sebagai ukuran umum, pasar geografik merupakan tempat
dimana penjual produk tertentu melakukan aktivitas usahanya.
b. Merger Vertikal (vertical merger)
merger
vertical terjadi antara perusahaan-perusahaan yang salah satunya
merupakan supplier bagi yang lain. Dengan kata lain, merger vertical
adalah merger diantara perusahaan-perusahaan yang berada dalam hubungan
pembeli-penjual (buyer-seller relationship). Merger yang terjadi antara
suatu manufacturer dengan distributor suatu produk adalah contoh dari
jenis merger ini,karena manufacturer merupakan supplier bagi
distributor.
Merger vertical ini juga bisa dibedakan menjadi dua, yaitu:
• Merger vertical maju (forward vertical merger)
Merger
vertical maju didikatakan terjadi apabila suatu perusahaan membeli dan
menggabungkan perusahaan lain yang merupakan distributornya, misalnya
perusahaan otomotif yang membeliperusahaan distributornya. Akibat buruk
yang dikhawatirkan adalah bahwa suatu perusahaan lantas tidak mendapat
akses kepada perusahaan distributor yang secara vertical telah
digabungkan dengan perusahaan pesaingnya.
• Merger vertical mundur (backward vertical merger)
Merger
vertical mundur terjadi dalam hal suatu perusahaan membeli dan
menggabungkan perusahaan yang lain merupakan supplier-nya. Perusahaan
otomotif yang membeli perusahaan ban yang menjadi supplier-nya merupakan
contoh merger jenis ini.merger ini bisa membawa akibat merugikan bagi
persaingan dalam hal merger itu membuat pelaku usaha kesulitan untuk
mendapatkan komponen bagi prroduknya, karena perusahaan distributor
komponen itu telah digabungkan dengan perusahaan pesaingnya.
c. Merger persaingan potensial (potential competition merger)
Merger
persaingan potensial terjadi apabila suatu perusahaan yang bermaksud
memasuki pasar dalam suatu industri dibeli dan digabungkan dengan
perusahaan yang sudah eksis di pasar itu, yang akan tersaingi jika ada
perusahaan baru masuk dalam pasar industri itu. Hasil dari merger
persaingan potensial ini adalah bahwa calon pesaing yang akan hadir di
suatu pasar akan menjadi lenyap.
Kasus
yang menarik sehubungan dengan merger ini yaitu kasus FTC v. Procter
& Gamble Co. yang diputus oleh pengadilan amerika serikat tahun
1067. dalam kasus itu pengadilan melarang merger antara Procter &
Gamble dan Clorox. Procter & gamble adalah produsen alat-alat rumah
tangga, sedangkan Clorox adalah produsen pemutih pakaian yang memegang
49% pangsa pasar untuk produk pemutih pakaian. Meskipun kedua perusahaan
itu tidak dikatakan berada dalam pangsa pasar, pengadilan melarang
kedua nya untuk melakukan merger dengan alasan bahwa Procter &
Gamble sebagai perusahaan besar akan bisa memproduksi pemutih pakaian
dimasa mendatang dan dengan begitu akan memiliki pangsa pasar yang
dominant. Jadi, untuk pasar produk pemutih pakaian, pengadilan
berpendapat bahwa penggabungan Clorox dengan procter & gamble
merupakan merger persaingan potensial. Pengadilan berkeinginan supaya
Clorox alih-alih digabung kan dihadapkan dengan calon pesaing yang
potensial.
2. Penentuan Harga (Price Fixing)
Praktek
kedua yang masuk dalam katagori tindakan antipersaingan adalah
menentukan harga (price fixing). Penentuan harga yang bisa terjadi
secara vertical maupun horizontal ini di anggap sebagai hambatan
perdagangan (restraint of trade) karena membawa akibat buruk terhadap
persaingan harga(price competition). Jika penentuan harga di
lakukan,kebebasn untuk menentukan harga independen menjadi berkurang.
a) Penentuan harga horizontal (horizontal price fixing)
penentuan
harga secara horizontal terjadi apabila lebih dari satu perusahaan yang
berada pada produksi yang sama,dengan demikian sebenarnya saling
merupakan pesaing,menentukan harga jual produk mereka dalam tingkat yang
sama.
b) Penentuan harga vertical (vertical price fixing)
Penentuan
harga secara vertical terjadi apabila suatu perusahaan yang berada
dalam tahap produksi tertentu, menentukan harga produk yang harus dijual
oleh perusahaan lain yang berada dalam tahap produksi yang lebih
rendah. Sebagai contoh sederhana, apabila sebuah perusahaan distributor
menentukan harga barang yang harus dijual pada konsumen oleh pengecer
terjadilah vertical price fixing.
Praktek-praktek berikut ini merupakan beberapa variasi dari tindakan penentuan harga.
1) Resale Price Maintenance (RPM) Arrangements
Resale
price maintenance merupakan praktek pemasaran dalam mana seorang (suatu
perusahaan) pengecer atas dasar perjanjian dengan distributor atau
produsen setuju untuk menjual barang/jasa dengan harga tertentu atau
harga minimum tertentu.
2) vertical maximum price fixing
Mirip
dengan RPM arrangements, vertical maximum price fixing, terjadi dalam
hal produsen atau distributor suatu produk membuat kesepakatan dengan
pengecer yang isinya mewajibkan pengecer itu untuk menjual produk
dibawah harga maksimum yang ditetapkan oleh produsen atau distributor
nya.
3) consignments
Praktek
penjualan berikutnya yang memancing perdebatan pro dan kontra adalah
consignments. Praktek consignments (penitipan, konsinyasi) dalam konteks
usaha terjadi apabila suatu perusahaan pengecer menjual barang yang
secara lagal masih menjual milik produsen dan sebagai imbalannya ia
memperoleh komisi penjualan. Yang menimbulkan persoalan bagi produsen
adalah menentukan harga produk yang dititipkannya. Memang salah satu
prinsip hukum persaingan yang sudah diakui, setidaknya di amerika
serikat, adalah bahwa sekali produsen atau distributor telah menjual
produknya kepada pengecer, ia tidak bisa lagi menentukan berapa harga
jual yang harus dipasang oleh pengecer itu terhadap konsumen. Prinsip
ini antara lain dikuatkan melalui putusan atas kasus Dr. Miles Medical
Company (1911) dan Albrecht v. herald Company (1968) yang terjadi di
amerika serikat.
Dalam
hubungan consignments prinsip itu bisa diterobos melalui fakta bahwa
meskipun secara nyata barang berada di tangan pengecer, kepemilikan
barang tersebut tidak berpindah pada si pengecer.
3. Pembagian pasar secara horizontal (horizontal market divisions)
Pembagian
pasar secara horizontal merupakan salah satu cara untuk menghindari
persaingan yang bisa diambil oleh perusahaan-perusahaan yang saling
bersaing dalam suatu usaha.
Tujuan
dari pembagian pasar secara horizontal ini sebenarnya adalah mengurangi
persaingan dengan cara menentukan pasar yang bisa dikuasai secara
eksklusif oleh masing-masing pesaing. Kalau perusahaan-perusahaan
sigaret dalam satu pasar nasional mengadakan perjanjian yang berisi
pembagian pasar nasional menjadi pasar-pasar regional dalam mana mereka
masing-masing bisa melakukan monopoli didalam pasar regional yang
‘ditagihkan’ untuk mereka. Disamping secara geografik, pembagian pasar
bisa pula dilakukan dengan menggunakan criteria lain, konsumen misalnya.
4. Pembatasan Perdagangan Secara Vertical Dengan Menggunakan Instrument Nonharga (Non-Price Vertical Restraints)
Vertical
price fixing menunjukkan bahwa perdagangan bisa terhambat ketika
perusahaan yang berada pada level usaha tertentu mengikat perusahaan
lain pada level usaha dibawahnya dengan cara menentukan harga.
Disamping
dengan menggunakan harga, perdagangan secara vertical juga bisa
terlambat oleh perjanjian-perjanjian vertical yang menggunakan
instrument selain haraga (non-price instrument). Setidaknya ada dua
instrument non harga yang bisa dipakai untuk menghambat perdagangan
serta sekaligus menghindari persaingan.
a. hambatan berdasarkan wilayah (territorial restraints)
hambatan
berdasarkan wilayah bisa terjadi apabila produsen dari suatu produk
membuat perjanjian dengan distributor atau pengecer tentang wilayah
usaha mereka masing-masing.
Produsen
minuman ringan (soft-drink) merupakan salah satu perusahaan yang sering
melakukan territorial restraints terhadap wilayah usaha distributor
atau pengecernya. Perusahaan raksasa Coca-Cola dan pepsi Cola misalnya,
lazim membuat batasan mengenai wilayah usaha setiap perusahaan
distributor yang membotolkan (bottling) minumannya.
Perusahaan-perusahaan pembotolan itu biasanya sudah ditentukan wilayah
distribusinya, terutama untuk menghindari persaingan antar distributor.
b. hambatan berdasarkan pengguna produk (customer restrictions)
didalam
hubungan dengan distributor atau pengecer produknya, produsen bisa
membuat batasan tentang segmen konsumen mana saja yang bisa dijadikan
target penjualan oleh distributor atau pengecernya itu. Langkah ini
umumnya dilakukan untuk mencegah supaya distributor atau pengecer tidak
menyaingi produsen yang sudah mempunyai segmen konsumen besar
tersendiri.
5. Tying-In Arrangements
Tying-in
arrangements merupakan salah satu strategi penjualan yang juga
berpeluang untuk menggangggu persaingan. Secara sederhana tying-in
arrangements bisa didefinisikan sebagai penjualan suatu produk dengan
syarat bahwa si pembeli harus juga membeli produk lain yang sebenarnya
bisa dibeli oleh pembeli itu dari penjual lain. Persyaratan pembelian
ini dianggap bersifat ilegal apabila mengganggu persaingan.
Mengenai
tying-in arrangements umumnya hukum persaingan Negara-negara menentukan
bahwa pada dasarnya praktek ini tidak dengan sendirinya illegal.
Pengecer menawarkan satu kantong terigu merek A setengah harga apabila
pembeli juga membeli satu kantong gula pasir merek A merupakan contoh
dari tying-in yang diperbolehkan jika perusahaan A sebagai produsen
terigu merek A, tidak memegang monnopoli, baik di pasar produk terigu
atau pun gula pasir.
Hal
lain yang membuat praktek ttying-in bisa dibenarkan adalah jika penjual
bisa menunjukkan bahwa tying-in dilakukan atas dasar sensitivitas
teknologi yang mengharuskan supaya produk tertentu digunakan untuk
menghindari kerusakan.
Alasan
efisiensi terkadang juga merupakan yang sering kali bisa diterima di
pengadilan. Di Jerman misalnya, dalam kasus Wirtschaft und wettbewerb,
pengadilan memperbolehkan tindakan dua surat kabar di Stuttgart yang
melakukan praktek tying-in dengan cara mengharuskan pemasang iklan di
salah satu surat kabar untuk juga beriklan di surat kabar lainnya.
Di
samping tying-in, ada pula praktek lain yang mirip yang disebut
full-line forcing. Praktek ini terjadi apabila distributor dari suatu
produk harus membeli juga keseluruhan “product line” dari produsen.
6. Exclusive Dealing
Exclusive
dealing adalah praktek antara penjual dan pembeli (biasanya retailer)
yang berisi kesepakatan bahwa penjual bersedia menjual produknya dengan
syarat bahwa pembeli tidak membeli produk pesaing penjual. Jadi, kalau
tying-in arrangement berisi keharusan untuk membeli produk lain dari
produsen yang sama, exclusive dealing berisi larangan untuk bertransaksi
dengan perusahaan pesaing penjual. Kalau diperhatikan, baik tying-in
arrangement maupun exclusive dealing akan membawa akibat berupa
terhambatnya transaksi perusahaan pesaing. Praktek ini juga disebut
sebagai refusal to deal.
7. Diskriminasi harga (price Discrimination)
Diskriminasi
harga oleh Graham & Richardson didefinisikan sebagai “the power of a
firm to charge different prices to different groups of customers”.
Penetapan harga yang lebih murah bagi pelanggan tetap merupakan contoh
sederhana dari diskriminasi harga. Umumnya diskriminasi harga ini
diterapkan oleh perusahaan yang sedang berupaya memperluas atau membuka
pasaran baru bagi produknya.
Dari
sisi konsumen, memang praktek diskriminasi harga bisa menguntungkan
apabila mereka termasuk sebagai konsumen yang dikenai harga yang lebih
rendah. Namun, dilihat dari kondisi persaingan, praktek diskriminasi
harga terutama pemberian harga rendah bagi consume tertentu, bisa
merupakan praktek yang tidak sehat.
Contohnya,
perusahaan A dan B menjual produk yang sama dan saling merupakan
pesaing utama di san fransisco. Perusahaan A juga menjual barangnya di
Oakland, sedangkan perusahaan B tidak. Apabila perusahaan A mengenakan
harga yang berbeda bagi konsumennya di San Fransisco dan di Oakland,
tindakan ini mungkin merupakan praktek yang tidak sehat. Kemungkinan
yang berpeluang besar untuk terjadi dalam contoh tersebut adalah bahwa
perusahaan A akan memberikan harga yang lebih rendah bagi konsumen di
San Fransisco, karena ia berharap untuk merebut konsumen pesaingnya.
sementara untuk menutup hilangnya keuntungan yang diharapkan diperoleh
dari konsumen San Fransisco, ia bisa membebankan pada konsumen di
Oakland, tempat dimana ia tidak memiliki saingan yang berarti.
Dalam
jangka panjang, jika praktek itu dibiarkan terjadi, besar kemungkinan
perusahaan B akan gulung tikar. Praktek permainan harga dengan tujuan
mematikan pesaing seperti ini secara khusus disebut predatory pricing.
8. Bid-rigging
Bid-rigging
adalah praktek antipersaingan yang bisa terjadi diantara para pelaku
usaha yang seharusnya saling merupakan pesaing dalam suatu lelang.
Secara sederhana, bid-rigging adalah kesepakatan untuk, alih-alih
bersaing, mengatur pemenang dalam suatu penawaran lelang, melalui
pengelabuan harga penawaran.
9. Boikot (Boycotts)
Boikot
dalam konteks persaingan usaha merupakan tindakan mengorganisir suatu
kelompok untuk menolak hubungan usaha dengan pihak tertentu. Dengan
demikian, boikot merupakan suatu concerted action (tindakan bersama)
yang dilakukan oleh sekelompok pengecer yang menolak membeli produk
perusahaan tertentu yang karena suatu alasan tidak mereka sukai.
10. Interlocking Directorates
Ketentuan
ini melarang seseorang untuk pada saat yang sama menjadi direktur sari
beberapa perusahaan dengan criteria tertentu (diantaranya modal,
surplus, dan keuangan). Kekhawatiran utama terhadap praktek ini muncul
dari kemungkinan bahwa pemusatan kekuasaan untuk membuat keputusan
(decision-making power) bisa digunakan untuk menghindari persaingan.
11. Penyalahgunaan posisi dominan (abuse of dominant position)
Penyalahgunaan
posisi dominan sesungguhnya merupakan praktek yang memiliki cakupan
luas. Ketika seorang pelaku usaha yang memiliki dominasi ekonomi melalui
kontrak mensyaratkan supaya konsumennya tidak berhubungan dengan
pesaingnya, ia telah melakukan penyalahgunaan posisi dominan. Demikian
juga apabila seorang pelaku usaha yang memegang posisi dominan dengan
basis “take it or leave it” membuat penentuan harga di luar kewajaran.
Tentang
penyalahgunaan posisi dominan ini Negara-negara memiliki pendekatan
yang berbeda-beda. Ada Negara-negara yang ketentuan persaingannya
menjelaskan tindakan-tindakan yang masuk dalam kategori ini dan ada pula
Negara-negara yang menyerahkan penafsiran tentang tindakan ini
semata-mata pada otoritas hukum persaingan.
Jepang
merupakan salah satu Negara yang memiliki pengaturan yang cukup rinci
mengenai “abuse of dominant position” ini. Fair trade commission of
japan (ftcj) selaku otoritas persaingan. Jepang telah menyusun suatu
designation of unfair businnes practices. Pasal 14 dari designation ini
memuat 5 kategori tindakan yang tergolong dalam penyalahgunaan posisi
dominan, yaitu sebagai berikut:
a)
mensyaratkan pihak lain untuk melakukan transaksi pembelian barang
atau jasa dari perusahaan yang dominan, padahal barang atau jasa itu
berbeda dari barang atau jasa yang tegas-tegas menjadi objek transaksi.
a)
Mensyaratkan pihak lain untuk melakukan penawaran uang, jasa, atau
keuangan ekonomi lain secara terus-menerus kepada perusahaan yang
dominan.
b) Membuat atau mengubah syarat-syarat transaksi yang merugikan pihak lain.
c) Menimbulkan kerugian terhadap pihak lain dengan syarat-syarat transaksi atau dengan cara selain yang telah disebutkan diatas.
d)
Mensyaratkan supaya pihak lain (perusahaan lain) mengikuti pertunjukkan
atau memperoleh persetujuan dari suatu perusahaan dominan didalam
menunjuk pengurus perusahaan itu.
Ada
satu perbedaan yang cukup mendasar antara jepang dan Negara-negara lain
(khususnya uni eropa) didalam memandang praktek penyalahgunaan posisi
dominan ini. Artikel 86 perjanjian roma yang menjadi dasar pelarangan
penyalahgunaan posisi dominan Negara-negara uni eropa menyatakan bahwa
pelarangan itu ditujukan kepada perusahaan yang memegang posisi dominan
di pasar (market dominance) dan dengan demikian memiliki kekuatan untuk
mengontrol pasar Jepang memiliki pendekatan yang agak berbeda tentang
penafsiran “posisi yang dominan”, menurut praktek jepang, “posisi yang
dominan” tidak harus dipegang oleh perusahaan yang memiliki dominasi
pasar. Alih-alih, ‘posis yang dominan’ ini diartikan dalam konteks level
transaksi. Dengan demikian, menurut jepang, suatu perusahaan kecil yang
tidak memiliki dominasi pasar pun bisa saja memegang posisi yang
dominan, apabila mitra transaksinya jauh lebih kecil dari pada
perusahaan itu.
Jadi,
bisa dilihat bahwa tujuan pelarangan penyalahgunaan posisi dominan di
jepang adalah untuk melindungi perusahaan-perusahaan kecil, sementara
tujuan itu di uni eropa terutama adalah untuk melindungi struktur yang
lebih luas.
B. Tindakan Persaingan Curang
Tidak
setiap Negara membuat perbedaan yang tegas antara ‘tindakan
antipersaingan’ di satu sisi dan ‘tindakan persaingan curang’ disisi
lain. Keduanya memang bisa dianggap memiliki persamaan dalam arti
sama-sama merupakan perilaku usaha yang tidak dikehendaki. ‘tindakan
antipersaingan’ adalah tindakan yang bersifat mencegah terjadinya
persaingan (anticompetitive) dan dengan demikian mengarah pada
terciptanya kondisi tanpa/minim persaingan (monopoli, posisi dominan),
sedangkan ‘persaingan curang’ adalah tindakan tidak jujur yang dilakukan
dalam kondisi persaingan. Bahkan, pelaku usaha kecil yang tidak
memiliki potensi memonopoli pasar bisa saja melakukan tindakan
persaingan curang.
Heinz
Lampert mentebut tindakan persainga curang sebagai persainngan tidak
sehat yang melanggar moral yang baik. Secara nonlimitatif Lampert
memberikan contoh tindakan yang tergolong dalam persaingan curang,
antara lain sbb:
- Mempengaruhi konsumen melalui tipuan atau informasi yang menyesatkan.
- Memalsu merek dagang pihak lain
- Mengirimkan barang yang tidak di pesan sehingga menyebabkan penerima dalam posisi dipaksa
- Membuat iklan tandingan yang menjelek-jelekkan pesaing.
- Menyebarkan informasi palsu tentang pesaing.
- Melakukan boikot.
- Penurunan harga secara tidak wajar.
Anderson
mengatakan bahwa konsep persaingan yang jujur (fair competition) dan
persaingan curang (unfair competition) muncul berkaitan dengan metode
persaingan. Hampir sama dengan Lampert yang mengatakan persaingan curang
sebagai persaingan yang melanggar moral yang baik. Anderson menegaskan
bahwa konsep persaingan curang didasarkan pada pertimbangan etika usaha.
Dengan
mengacu pada pengaturan di dalam hukum Amerika Serikat (codes of fair
competition and fair trade commission act) Anderson mengidentifikasikan
tindakan-tindakan berikut sebagai metode persaingan curang, yaitu:
• Menyebarkan informasi palsu tentang produk pesaing
• Meremehkan produk pesaing
• Menyerang pribadi pesaing
• Mengganggu penjual produk pesaing
• Merusak produk pesaing
• Menghambat pengiriman produk pesaing
• Mengintimidasi konsumen produk pesaing
• Menyuap pembeli produk pesaing
• Mengatur boikot terhadap produk pesaing
• Memata-matai pesaing secara ilegal
• Mencuri rahasia perusahaan produk pesaing
• Mengganggu pesaing melalui pengajuan gugatan palsu
• Membuat kesepakatan untuk menyingkirkan pesaing dari pasar
• Membujuk pekerja perusahaan pesaing untuk mogok.
• Menjual produk dengan harga dibawah biaya harga produksi
• Memberikan pengurangan harga secara tidak wajar, baik secara langsung maupun melalui diskon.
Sebelum
menguraikan tentang jenis dan usaha bank, terlebih dahulu kita perlu
mengetahui pengertian bank. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana
dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada
masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam
rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak (Pasal 1 angka 2 UU
Perbankan 1998).
A. Jenis Bank Berdasarkan Fungsinya
1.
Bank Sentral, yaitu Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UU No. 13
tahun 1968 tentangg Bank sentral, kemudian di cabut dengan UU No.23
tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
2.
Bank Umum, yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran (Pasal 1 angka 3 UU
Perbankan 1998).
3.
Bank Perkreditan Rakyat, yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam
kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran (Pasal 1
angka 4 UU Perbankan 1998).
4.
Bank Umum yang mengkhususkan diri untuk melaksanakan kegiatan tertentu
atau memberikan perhatian yang lebih besar kepada kegiatan tertentu. Hal
tersebut dimungkinkan oleh ketentuan pasal 5 ayat (2) UU perbankan
1992.
Yang
dimaksud dengan mengkhususkan diri untuk melaksanakan kegiatan tertentu
adalah antara lain melaksanakan kegiatan pembiayaan jangka panjang,
pembiayaan untuk mengembangkan koperasi, pengembangan pengusaha golongan
ekonomi lemah/pengusaha kecil, pengembangan ekspor nonmigas dan
pengembangan pembangunan perumahan.
Sedangkan
prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam
anatara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan
kegiatanusaha atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan
syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil dengan
syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil
(mudharabah), pembiayaaan berdasarkan psinsip penyertaan modal
(musharakah), prinsip jua-beli barang dengan memperoleh keuntungan
(murabah) atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni
tanpa pilihan (ijarah) atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan
atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah
iqtina), sebagaimana diatur dalam pasal 1 angka 13 UU Perbankan 1998.
B. Jenis Bank Berdasarkan Kepemilikannya
1. Bank Umum Milik Negara, yaitu bank yang hanya dapat dirikan berdasarkan UU.
2.
Bank Umum Swasta, yaitu bank yang hanya dapat didirikan dan menjalankan
usahanya setelah mendapat izin dari pimpinan BI. Ketentuan-ketentuan
tentang perizinan, bentuk hukum dan kepemilikan Bank Umum Swasta
ditetapkan dalam Pasal 16, Pasal 21 dan Pasal 22 UU No. 1992 tentang
Perbankan yang kemudian pasal-pasal tersebut telah di ubah dengan UU No.
10 tahun 1998. sedangkan syarat-syarat untuk pendiriannya sebelum ini
diatur dalam Sk menteri keuangan RI No.220/K.ML.017/1993 tentang Bank
Umum. Setelah diundangkannya UU No. 10 tahun 1998 tentang perubahan UU
No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan pada 10 November 1998, maka pendirian
bank umum diatur dengan SK Direksi BI No. 32/33/KEP/DIR tentang Bank
Umum tanggal 12 Mei 1999.
3.
Bank Campuran, yaitu bank umum yang didirikan bersama oleh satu atau
lebih bank umum yang berkedudukan di Indonesia dan didirikan oleh warga
negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia yang dimiliki sepenuhnya
oleh warga negara Indonesia, dengan satu atau lebih bank yang
berkedudukan di luar negeri.
4.
Bank Milik Pemerintah Daerah, yaitu Bank Pembangunan Daerah.
Berdasarkan Pasal 54 UU Perbankan 1992 dimana dinyatakan bahwa UU No. 13
tahun 1962 tentang ketentuan-ketentuan pokok Bank Pembangunan Daerah
dinyatakan hanya berlaku untuk jangka waktu 1 tahun mulai berlakunya UU
tersebut, maka bentuk Bank Pembangunan Daerah (BPD) tersebut akan
disesuaikan menjadi Bank umum sesuai dengan UU Perbankan 1992.
C. Bank Muamalat Indonesia
Selain
jenis-jenis bank yang tersebut di atas, perlu pula dikemukakan satu
bank yang bersifat khusus, yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI). BMI
adalah bank yang menerapkan sistem dan operasi perbankan berdasarkan
syariah Islam. Operasi perbankan berdasarkan syariah Islam adalah
dengan mengikuti tata cara berusaha dan perjanjian berusaha yang
dituntun oleh dan yang tidak dilarang oleh Al-quran dan hadis. Dan UU
No.10 tahun 1998 pun telah menampung dasar hukum operasional Bank
Syariah dalam perubahan atas pasal 1 UU N0. 7 tahun 1992 dengan
menyatakan bahwa Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan secara
konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam
kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran ( Pasal 1 angka
3 UU No.10 tahun 1998). Gagasan pendirian bank yang beroperasi
berdasarkan syariah islam ini dimulai sejak lokakarya bank tanpa bunga
yang di adakan di Cisarua, Bogor pada tanggal 18 s.d 20 Agustuss 1990.
ide pertamanya berasal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), kemudian
didukung dan diprakarsai oleh beberapa pejabat penting pemerintah
pengusaha-penguaha yang berpengalaman di bidang perbankan, bahkan
kemudian Presiden Soeharto dan wakil presiden Sudharmono bersedia
menjading pendukung utama BMI. Didalam pertemuan antara tim Perbankan
MUI dengan Presiden Soeharto pada tanggal 27 Oktober 1991 di Bina Graha
ditetapkan nama Bank Muamalat Indonesia, dan kemudian akta pendirian BMI
ditandatangani di Sahid Jaya Hotel pada tanggal 1 November 1991.
Tujuan Pendirian BMI adalah :
1.
Meningkatkan kualitas kehidupan sosial ekonomi masayarakat terbanyak
bangsa Indonesia, hingga makin mempersempit kesenjangan sosial ekonomi
dan dengan demikian akan melestarikan pembangunan nasional antara lain
melalui :
a. Peningkatan kesempatan kerja
b. Peningkatan kuantitas dan kualitas kegiatan usaha
c. Peningakatan pendapatan masayarakat banyak
2. Meningkatkan partisipasi masayarakat banyak dalam proses pembangunan terutama dalam bidang ekonomi keuangan, karena :
a. Masih banyak masyarakat yang enggan berhubungan dengan bank.
b. Masih banyak masyarakat yang menganggap bunga bank sebagai riba
c.
Dengan keberhasilan pembangunan di bidang agama (khusunya Islam) makin
banyak masyarakat yang menganggap bunga bank sebagai riba.
3.
Mengembangkan lembaga bank dan sistem perbankan yang sehat berdasarkan
efisiensi dan keadilan, mampu meningkatkan partisipasi masyarakat
banyak, hingga menggalakkan usaha-usaha ekonomi rakyat dengan antara
lain memperluas jaringan lembaga keuangan perbankan ke daerah-daerah
terpencil.
Produk Penghimpunan dana BMI antara lain :
1.
Giro Wadi’ah, yaitu simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap
saat dengan menggunakan cek, sarana perintah pembayaran lain atau dengan
cara pemindahbukuan. Kepada penyimpan giro wadi’ah dapat diberikan
bonus atau jasa giro, sesuai dengan jumlah dana yang ikut berperan dalam
pembentukan laba bank.
2.
Deposito Mudharabah, yaitu simpanan yang penarikannya hanya dapat
dilakukan pada waktu tertentu sesuai dengan perjanjian antara penyimpan
dengan bank. Kepada penyimpan deposito mudharabah diberi hak untuk
memperoleh pembagian laba bank, misalnya 70% untuk penyimpan dana 30%
untuk bank yang diperhitungkan sesuai dengan peranan dananya dalam
pembentukan laba bank.
3.
Tabungan Mudharabah, yaitu simpanan yang penarikannya hanya dapat
dilakukan sesuai dengan syarat-syarat tertentu yang telah disepakati
antara penyimpan dengan bank. Penyimpan tabungan mudharabah diberi hak
untuk memperoleh bagian laba bank, misalnya 50% untuk penyimpan dan 50%
untuk bank, yang diperhitungkan sesuai dengan peranan dananya dalam
pembentukan laba bank.
Variabel
yang menentukan besarnya pembagian laba pada tabungan ini sama dengan
deposito mudharabah, namun karena pada tabungan dimungkinkan adanya
mutasi, maka variabel besarnya dana yang disimpan diperhitungkan menurut
saldo rata-ratanya.
Produk Penyaluran Dana BMI antara lain :
1.
Kredit mudharabah (Qiradh), yaitu pinjaman modal investasi dan atau
modal kerja, sedangkan pengusaha menyediakan usaha dan manajemennya
dengan perjanjian atas dasar bagi hasil.
2.
Kredit Murabahah yaitu kredit di mana bank menyediakan pinjaman dana
untuk membeli barang apa pun yang dibutuhkan oleh debitor, yang dibayar
kembali pada saat jatuh tempo.
3.
Kredit Bai’Bithaman Ajil, yaitu kredit di mana bank menyediakan
pinjaman dana untuk membeli barang apa pun yang dibutuhkan debitor, yang
dibayar kembali pada waktu jatuh tempo secara cicilan.
4.
kredit Al-Qardh’ul Hasan, yaitu kredit antara bank dengan nasabah yang
dianggap layak menerima pinjaman lunak, baik itu pengusaha agar usahanya
dapa bangkit dan mampu melaksanakan kewajiban-kewajibannya maupun untuk
perseorangan yang berada dalam keadaan terdesak. Penerima kredit hanya
di wajibkan mengembalikan pokok pinjaman saja pada saat jatuh tempo
dengan daya beli yang sama seperti sewaktu menerima pinjaman. Tujuan
pemberian kredit ini terutama untuk memenuhi kebutuhan nasabah akan uang
tunai, baik untuk hal-hal yang bersifat konsumtif (uang sekolah,
pengobatan) maupun yang produktif (modal kerja awal).
Jasa-jasa lainnya :
1. Jual-beli Valas = Al Sarf
2. Pemberian Jaminan = Al kafalah, Al Dhamamah
3. Penerbitan L/C = Al Wakalah
4. dan jasa-jasa lainnya sebagaimana yang dapat diberikan oleh bank umum
jenis-jenis kredit dengan sistem tersebut di atas dimungkinkan oleh perumusan kredit dalam UU Perbankan 1992 yang menyatakan :
Kredit
adalah Penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank
dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang meminjam untuk melunasi
utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau
pembagian hasil keuntungan (Pasal 1 angka 12 UU Perbankan 1992)
Perumusan
tersebut merupakan penyempurnaan bunyi perumusan tentang kredit yang
dicantumkan Pasal 1 mengenai UU poko perbankan No. 14 tahun 1967 yang
telah di cabut dengan UU perbankan 1992 tersebut.
Kemudian dengan diundangkannya UU No. 10 tahun 1998 pengertian kredit disempurnakan dengan perumusan sebagai berkut :
Kredit
adalah Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank
dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang meminjam untuk melunasi
utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian jumlah bunga
(Pasal 1 angka 12 UU Perbankan 1992)
Sedangkan
untuk menampung bank beroperasi dengan prinsip syariah ditambahkan
perumusan tentang pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, yaitu
penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan
terebut setalah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil
(Pasal 1 angka 12 UU Perbankan 1998)
D. Usaha Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat
Sesuai
dengan pasal 6 UU No. 7 tahun 1992 yang kemudian diubah dengan UU No.
10 tahun 1998, maka usaha-usaha yang dapat dilakukan bank meliputi :
1.
Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, berupa giro,
deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk
lainnya yang dipersamakan dengan itu.
2. Memberikan Kredit.
3. Menerbitkan surat pengakuan utang.
4. Membeli, menjual atau menjamin atas resiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnyya;
a.
surat-surat wesel termasuk wesel diakseptasi oleh bank yang masa
berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam perdagangan
surat-surat dimaksud.
b.
Surat pengakuan utang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya
tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan surat-surat termaksud
c. Kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah
d. Sertifikat Bank Indonesia
e. Obligasi
f. Surat dagang berjangka waktu sampai dengan satu tahun
g. Instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai dengan satu tahun.
5. Memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun kepentingan nasabah
6.
Menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana kepada
bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun
dengan wesel unjuk, cek atau sarana lainnya.
7. Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga.
8. Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga.
9. Melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak.
10. Melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek.
11.
Membeli melalui pelelangan agunan baik semua maupun sebagian dalam hal
debitor tidak memenuhi kewajiban-kewajibannya kepada bank, dengan
ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya.
12. Melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit dan kegiatan wali amanat.
13.
Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil
sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah
(dalam UU No. 10 tahun 1998 menjadi: Menyediakan pembiayaan dan atau
melakukan ekgiatan lain berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia).
14.
Melakukan kegiatan lain yang lazim dialakukan oleh bank sepanjang tidak
bertentangan dengan undang-undang dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Dengan
UU No. 10 tahun 1998, pasal 6 huruf k UU perbankan 1992 tersebut
dihapus dan diciptakan pasal baru yaitu pasal 12A yang berbunyi:
1.
Bank Umum dapat membeli sebagian atau seluruh aguanan, baik melalui
pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan kuasa atau menjual di
luar lelang dari pemilik agunan dalam hal nasabah debitor tidak memenuhi
kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut
wajib dicairkan secepatnya.
2.
ketentuan mengenai tata cara pembelian agunan dan pencairannya
sebagaimana dimaksud dalam aya (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.
Selain melakukan kegiatan usaha tersebut di atas, bank umum dapat pula :
1. Melakukan kegiatan dalam valuta asing dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh BI.
2.
Melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank atauu perusahaan lain di
bidang keuangan, seperti sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan
efek, asuransi, serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan,
dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh BI.
3.
Melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat
kegagal kredit, dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya,
dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh BI (dalam UU No. 10 tahun
1998 menjadi: Melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk
mengatasi akibat kegagalan kredit atau kegagalan pembiayaan berdasarkan
prinsip syariah, dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya
dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh BI)
4.
Bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus dana pensiun sesuai
dengan ketentuan dalam perundang-undangan dana pensiun yang berlaku.
Sedangkan usaha-usaha Bank Perkreditan rakyat (BPR) antara lain:
1.
Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito
berjangka, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan
itu.
2. Memberikan Kredit
3.
Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil
sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah.
4. Menempatkan dananya dalam bentuk SBI, deposito berjangka, sertifikat deposito dan atau tabungan pada bank lain.
E. Jenis Dana Yang Dapat Dihimpun Bank
Berdasarkan
ketentuan Pasal 1 UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan yang kemudian
diubah dengan UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan, jenis dana yang
dapat dihimpun oleh bbank adalah sebagai berikut :
1.
Giro, yaitu simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat
dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayarannya, atau
dengan pemindahbukuan (Pasal 1 UU Perbankan 1998)
2.
Deposito, yaitu simpanan yang penarikanya hanya dapat dilakukan pada
waktu tertentu berdasarkan perjanjian nasabah pernyimpan dengan bank
(Pasal 1 UU Perbankan 1998)
3.
Sertifikat Deposito, yaitu simpanan dalam bentuk deposito yang
setifikat bukti penyimpanannya dapat dipindahtangankan (Pasal 1 UU
Perbankan 1998)
4.
Tabungan, yaitu simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan
menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik
dengan cek, bilyet giro, atau alt lainnya yang dipersamakan dengan itu (
pasal 1 UU Perbankan 1998)
A. Pendahuluan
Dengan
semakin maraknya dunia bisnis, tidak bisa kita elakkan lagi adanya
kebutuhan dana yang diperlukan baik olh kalangan usahawan perseorangan
maupun usahawan yang tergabung dalam suatu badan hukum di dalam
mengembangkan usahanya maupun di dalam meningkatkan mutu produknya,
sehigga dapat dicapai suatu keuntungan yang memuaskan maupun tingkat
kebutuhan bagi kalangan lainnya. Untuk membutuhkan dana tersebut, saat
ini semakin banyak orang yang mendirikan suatu lembaga pembiayaan yang
bergerak di bidang penyediaan dana ataupun barang yang akan dipergunakan
oleh pihak lain di dalam mengembangkan usahanya. Awal mulanya
keberadaan ibutuhkannya lembaga pembiayaan, pertama kali disebutkan di
dalam keputusan Presiden Nomor 61 tahun 1988 tanggal 20 Desember 1988,
dan dijabarkan lebih lanjut melalui keputusan menteri keuangan Nomor
1251/KMK.013/1988 tanggal 20 Desember 1988 tentang ketentuan dan tata
cara pelaksanaan lembaga pembiayaan. Menurut pasal 1 kepres di atas
dijelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan lembaga pembiayaan adalah suatu
badan usaha yang di dalamnya melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk
penyediaan dana atau barang modal dengan tidak menarik dana secara
langsung dari masyarakat barang modal dengan tidak menarik dana secara
langsung dari masayarakat.
Adapun bidang-bidang usaha yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan antara lain meliputi bidang-bidang seperti :
- Sewa guna usaha (Leasing) - Usaha Kartu Kredit, dan
- Modal ventura - Pembiayaan Konsumen
- Perdagangan surat berharaga - Anjak Piutang (Factoring)
Di
dalam melakukan bidang-bidang usaha tersebut, tentunya akan dilakukan
oleh suatu badan usaha, yang biasanya dilakukan oleh perusahaan dengan
bentuk PT ( Perseroan Terbatas ). Untuk itu perlu diketahui satu persatu
apa arti dari perusahaan yang bergerak pada masing-masing usaha di
atas. Pengertian dari masing-masing bidang usaha tersebut adalah sebagai
berikkut :
a.
Perusahaan sewa guna usaha (leasing Company) adalah badan usaha yang
melakukan usaha pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik
secara finance lease maupun operating lease untuk digunakan oleh penyewa
guna usaha selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara
berkala.
b.
Perusahaan modal ventura (ventura capital company) adalah badan usaha
yang melakukan usaha pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal ke dalam
suatu perusahaan yang menerima bantuan pembiayaan (investee company)
untuk jangka waktu tertentu.
c.
Perusahaan perdagangan surat berharga (securities company) adalah badan
usaha yang melakukan usaha pembiayaan dalam bentuk perdagangan surat
berharga.
d.
Perusahaan anjak piutang (factoring Company) adalah badan usaha yang
melakukan usaha pembiayaan dalam bentuk pembelian dan atau pengalihan
serta pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek suatu perusahaan
dari transaksi perdagangan dalam atau luar negeri.
e.
Perusahaan kartu kredit (credit card company) adalah badan usaha yang
melakukan usaha pembiayaan untuk membeli barang dan jasa dengan
menggunakan kartu kredit.
f.
Perusahaan pembiayaan konsumen (consumers finance sompany) adalah badan
usaha yang melakukan pembiayaan pengadaan barang untuk kebutuhan
konsumen dengan sistem pembayaran angsuran atau berkala.
B. Jenis-jenis Lembaga Pembiayaan
1. Sewa Guna Usaha (Leasing)
Kata
leasing sebenarnya berasal dari kata to lease (bahasa Inggris) yang
berarti menyewakan. Leasing sebagai suatu jenis kegiatan dapat dikatakan
masih baru atau muda dalam kegiatan yang dilakukan di Indonesia, yaitu
baru dipakai pada tahun 1974. Di Indonesia sendiri sudah ada beberapa
perusahaan leasing yang statusnya suatu lembaga keuangan nonbank.
Fungsi
leasing sebenarnya hampir setingkat dengan bank, yaitu sebagai suatu
sumber pembiayaan jangka menengah (dari satu tahun hingga lima tahun).
Ditinjau dari segi perekonomian nasional. Leasing telah memperkenalkan
suatu metode baru untuk memperoleh capital equipment dan menambah modal
kerja.
Sampai
saat ini belum ada undang-undang khusus yang mengatur tentang leasing.
Namun demikian, praktek bisnis leasing telah berkembang dengan cepat,
dan untuk mengantisipasi kebutuhan agar secara hukum menpunyai pegangan
yang jelas dan pasti, pada tahun 1971 telah dikeluarkan Surat Keputusan
Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian, dan Menteri Perdagangan
dan Koperasi Nomor : kep-122/MK/IV/1/1974; No. 32/M/SK/2/1974 dan No.
30/Kpb/I/1974, tertanggal 7 Februari 1974.
Menurut
keputusan bersama di atas, yang dimaksudkan dengan leasing adalah
setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan
barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan, untuk suatu
jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaran secara berkala disertai
dengan hak pilih (optie) bagi perusahaan tersebut untuk membeli
barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu
leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama.
Seperti diuraikan diatas, kegiatan leasing dapat dilakukan secara finance maupun secara operating lease.
*
Finance lease artinya kegiatan sewa guna usaha di mana penyewa guna
usaha pada akhir masa kontrak mempunyai hak opsi untuk membeli objek
sewa guna usaha berdasarkan nilai sisa yang disepakati bersama.
*
Operating lease adalah kegiatan sewa guna usaha di mana penyewa guna
usaha tidak mempunyai hak opsi untuk membeli objek sewa guna usaha.
Sebelum
memulai kegiatan usaha di bidang leasing ini, akan didahului dengan
suatu kontrak antara pihak penyewa dan pihak yang menyewa. Dengan
demikian dalam usaha leasing tentunya terdapat pihak-pihak yang
bersangkutan dlam perjanjian leasing yang terdiri dari :
1.
Lessor, yaitu pihak yang menyewakan barang, dapat terdiri dari beberapa
perusahaan. Pihak penyewa ini disebut juga sabagai investor, equity
holders, owner participants atau trusters owners.
2. Lesse, yaitu pihak yang menikmati barang terebut dengan membayar sewa guna yang mempunyai hak opsi.
3.
Kreditur atau Lender atau disebut juga debt holders atas loan
participants dalam transaksi leasing. Mereka umumnya terdiri dari bank,
insurance company (perusahaan asuransi), trust, yayasan.
4.
Supplier, yaitu penjual dan pemilik barang yang disewakan. Supplier ini
terdiri dari perusahaan (manufactures) yang berada di dalam negeri atau
yang mempunyai kantor pusat di luar negeri.
2. Modal Ventura
Dengan
banyaknya paket deregulasi yang telah dikeluarkan oleh pemerintah
dewasa ini, pada dasarnya mempunyai inti untuk memudahakan dan memberi
peluang untuk mengembangkan perekonomian dan memacu pertumbuhan ekonomi
dalam segala sektor terutama sektor-sektor yang menurut pengamatan
pemerintah cukup produktif untuk dimanfaatkan.
Salah
satu dari sekian banyak deregulasi adalah munculnya satu lembaga
pembiayaan baru dengan nama modal ventura (ventura capital). Modal
ventura merupakan salah atu alternatif yang dapat dimanfaatkan oleh
suatu perusahaan, karena seperti diketahui bahwa pemerintah sudah
membuat suatu komitmen dn rencana yang menyangkut pembangunan jangka
panjang (PJPT tahap II), yang selalu dan senantiasa berupa
mempertahankan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Hal ini sejalan
dengan asas trilogi pembangunan yang menekankan kepada pertumbuhan,
pemerataan, dan stabilitas nasional, karenanya segala sarana penyediaan
dana terus diperluas termasuk mengoptimalkan peranan dan lembaga
pembiayaan.
Secara
resmi, lembaga modal ventura baru ada di Indonesia sejak adanya Keppres
No.61 tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan. Yang diatur lebih lanjut
dengan keputusan Menteri Keuangan Nomor 1252/KMK.013/1988 tentang
Ketentuan dan tata cara pelaksanaan Lembaga pembiayaan. Ketentuan di
atas merupakan landasan berpihak yang cukup kuat dan merupakan
satu-satunya peraturan pelaksanaan yang ada bagi para pemodal (investor)
yang ingin melakukan usaha atau bisnisnya.
Yang
dimaksud dengan perusahaan modal ventura (ventura capital company)
adalah suatu badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk
penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan pasangan usaha (invester
company) untuk jangka panjang waktu tertentu. Sedangkan yang dimaksud
dengan perusahaan pasangan usaha ( PPU) adalah suatu perusahaan yang
memperoleh pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal dari perusahaan
modal ventura (PMV).
Lembaga
modal ventura juga merupakan suatu alternatif lembaga pembiayaan lain
di luar bank. Dikatakan demikian karena memang lembaga ini di dalam
memberikan dananya bagi pihak lain berbeda dengan bank. Lembaga modal
ventura tidak memerlukan benda jaminan (collacteral) untuk dapat
mengeluarkan dananya. Sedangkan bank dalam memberikan kreditnya
mewajibkan nasabahnya untuk memberikan jaminan yang diperlukan sebagai
suatu syarat yang wajib.
Seperti
diketahui tidak semua pihak dapat dan selalu mudah menyediakan benda
jaminan (collacteral) untuk bisa mendapatkan dananya di dalam
mengembangkan usahanya terlebih para pengusaha menengah dan kecil.
Jenis pembiayaan yang dialkukan modal ventura dapt dibedakan atas 3 (tiga macam), yaitu sebagai berikut :
b. Conventional Loan, Pinjaman jenis ini bisa diberikan tanpa jaminan dan bisa pula disertai dengan jaminan.
c.
Conditional Loan, dalam model ini, Modal ventura turut menikmati laba,
bila proyek yang dibiayai menanggung keuntungan dan turut pula
menanggung rugi seandainya perusahaan yang dibiayainya ternyata
mengalami kerrugian.
d.
Equity Investment, yaitu modal vnetura yang menyertakan saham untuk
mendukung kegiatan perusahaan yang baru berdiri dan antara modal ventura
dengan perusahaan yang dibiayai terjalin kerja sama di bidang
manajemen.
Untuk
Indonesia tampaknya saat ini belum ada perbedaan yang jelas dari ketiga
jenis modal ventura tersebut. Selain itu jangka waktunyapun masih
dibatasi sampai 10 tahun saja.
Hubungan
antara perusahaan modal ventura dan perusahaan pasangan usaha in
sebenarnya juga merupakan hubungan kepercayaan (trust) antara kedua
belah pihak. Kepercayaan ini merupakan landasan yang kuat dari segala
kerja sama untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
3. Anjak Piutang
Lembaga
anjak piutang atau factoring merupakan lembaga pembiayaan yang dalam
melakukan usaha pembiayaannya dilakukan dalam bentuk pembelian dan atau
pengalihan serta pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek suatu
perusahaan dari transaksi perdagangan dalam atu luar negeri. Pada jasa
factoring terbagi dalam 2 (dua ) bagian, yaitu jasa keuangan dan jasa
nonkeuangan. Dalam hal jasa keuangan biasanya perusahaan faktor dapat
memberi pre-financing sampai 80% dari piutang dagang. Sedangkan untuk
jasa non-financing, perusahaan faktor melayani pengelolaan kredit bagi
kepentingan klien.
Lembaga
anjak piutang yang lebih dikenal dengan sebutan factoring ini merupakan
salah satu lembaga pembiayaan yang diperlukan dalam dunia bisnis. Usaha
anjak piutang sebenarnya sudah dikenal sejak 2.000 tahun yang lalu.
Pada saat itu bentuk usaha factoring memang masih sederhana. Pihak
faktor biasanya bertindak sebagai agen penjualan yang sekaligus pemberi
perlindugnan kredit. Kegiatan semacam ini dikategorikan sebagai general
factoring.
Tampaknya
belum banyak kalangan pengusaha di Indonesia yang memanfaatkan jasa
factoring dalam mendukung usahanya, baik itu transaksi ekspro-impor
maupun masalah pendanaan lainnya. Dalam praktek baru pengusaha besar
jasa yang memnfaatkan jasa ini.
Factoring
memang tidak dikenal dalam sistem hukum dagang dan hukum perdata
Indonesia. Akan tetapi mengingat hukum perdata sendiri memperbolehkan
kebebasan berkontrak berdsarkan Pasal 1338 KUPerdata praktek usaha
factoring ini tentu saja sah. Oleh karena usaha factoring ini masih
baru, serta belum kuatnya landasan hukum, tentu merupakan salah satu
kendala yang menghambat perkembangan usaha factoring.
Umumnya
perusahaan factoring mendapatkan keuntungan dari segi biaya yang
dikenakan, yang besarnya antara 3% dari jumlah piutan yang dibeli. Akan
tetapi, besar kecilnua persentase, tergantung pula dari mudah tidaknya
piutang tersebut ditagih, dan berat tidaknya risiko bagi pihak penagih
mana kala menagih utangnya. Sedangkan keuntungan bagi pihak penjual
piutang (kreditur dari pihak terutang), jelas akan memudahkan kelancaran
jalannya usaha, yaitu karena mengalirnya dana secara terus-menerus.
4. Usaha Kartu Kredit
Perusahaan
kartu kredit (credit card company) adalah badan usaha yang melakukan
usaha pembiayaan untuk membeli barang dan jasa dengan menggunakan kartu
kredit.
Kartu
kredit yang lebih dikenal dengan credit card ini adalah suatu kartu
plastic yang berukuran hampir sama dengan ukuran KTP, yang diterbitkan
oleh issuer (penerbit) dan dipergunakan oleh cardholder (pemegang kartu)
dan berfungsi sebagai alat pembayaran pengganti uang tunai dan pihak
penerima adalah kaum usahawan/pedagang (merchant) yang telah ditentukan
oleh penrbit. Selain itu credit cardi-pun dapat diuangkan oleh
pemegangnya kepada penerbitnya.
Pada
kartu kredit, setiap transaksi atau pencairan yang dilakukan pemegang
kartu kredit tersebut cukup dengan menunjukkan kartu kreditnya untuk
dicatat dan diperiksa kebenarannya. Sedangkan kartu kreditnya tetap
dikembalikan kepada pemegangnya, dan sama sekali tidak dapat
dipindah-pindahkan kepada pihak lain.
Penerbitan
kartu kredit itu sendiri sebenarnya merupakan satu pemberian fasilitas
kredit oleh suatu bank penerbit kepada pemegang kartu. Pemberian
fasilitas ini tidaklah berdasarkan akte-akte secara otentik melainkan
hanya dengan akte-akte di bawah tangan dan tidak mutlak harus ada
jaminan kredit. Akan tetapi bukan berarti kartu kredit mudah diperoleh
oleh siapa saja, melainkan harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang
sangat selektif yang ditentukan oleh penerbit. Selain itu
transaksi-transaksi yang dilakukan oleh pemegang kartu kredit dapat
melampaui pagu kredit bahkan dapat melampaui jumlah jaminan
(depositonya), sehingga tidak cukup mengover kreditnya, maka
kebonafiditas pemegang kartu kredit akan merupakan syarat yang sangat
penting.
Dengan
memperhatikan kondisi di atas, tampak bahwa hukum yang berlaku yang
mengatur masalh kartu kredit adalah hukum kebebasan berkontrak antara
para pihak berlandaskan Pasal 1338 KUPerdata dikatakan demikian oleh
karena belum ada pengaturan yang khusus yang mengatur masalah kartu
kredit tersebut.
Sekalipun
belum ada dasar hukum yangg akan menjamin kepastian hukum yang khusus
mengatur masalah kartu kredit ini, tidak menjadikan hambatan bagi
masyarakat untuk melakukan transaksi-transaksi bisnis sehari-hari.
Kesemuanya ini tentu dilandasi oleh itikad baik masing-masing pihak
untuk bertransaksi dan menghindarkan kemungkinan sengketa atau
perselisihan.
5. Pembiayaan Konsumen
Lembaga
pembiayaan konsumen (consumers finance) adalah suatu lembaga yang dalam
melakukan pembiayaan pengadaan barang untuk kebutuhan konsumen
dilakukan dengan sistem pembayaran secara angsuran atau berkala.
Bila
ada seseorang yang menginginkan barang-barang konsumen seperti mobil,
pesawat TV, radio, tape recorder, lemari Es, tempat tidur, dan lain
sebagainya, sementara penghasilannya tidak cukup untuk membeli secara
lunas, maka tidak perlu kecil hati. Sebab telah ada sebuah lembaga yang
dinamakan lembaga pembiayaan konsumen (consumer sfinance) yang dapat
membantu seseorang untuk mendapatkan barang-barang konsumsi tersebut.
Lembaga pembiayaan konsumen ini akan memberikan kemudahan bagi mereka
yang memiliki dana tersebut, bahkan kemudahannya melebihi kemudahan yang
diberikan oleh bank.
Kehadiran
lembaga pembiayaan konsumen ini sebenarnya secara informal sedah tumbuh
sejak lama sebagai bagian dari aktivitas trading. Namun secara formal
baru di akui sejak tahun 1988 melalui SK Menteri Keuangan Nomor
1251/KMK.013/1988 yang secara formal mengangkat kegiatan usaha
pembayaran ke permukaan, sebagai bagian resmi sektor jasa keuangan.
Lembaga
pembiayaan konsumen in berbeda dengan bank, walaupun kedua-duanya
merupakan sumber dana yang diperlukan seseorang. Bila pembiayaan
konsumen akan melihat barang-barang apa saja yang dibiayai. Maka pada
kredit bank, pihak bank cukup memandang siapa konsumen yang akan
mendapat bantuan dana. Kedua lembaga ini mempunyai kesamaan seperti,
objeknya sama yaitu barang-barang konsumsi, dan mengenakan bunga sebagai
biaya.
Bahwa
setiap konsumen menginginkan adanya kemudahan, keringanan, pelayanan
yang cepat, waktu yang singkat, prosedur yang tidak birokratis dan tidak
berbelit-belit. Oleh karena itu, beberapa hal akan menjadi pertimbangan
bagi konsumen untuk memilih lembaga pembiayaan mana yang dapat membantu
untuk mendapatkan barang-barang konsumen yang akan dipergunakan, yaitu
antara lain sebagai berikut :
Persyaratan yang tidak rumit
Proses penelitian konsumen oleh bank/lembaga keuangan
Jangka waktu untuk memutuskan
Uang muka yang diminta banyak atau sedikit ?
Jangka waktu pembayaran yang dimungkinkan. Sebab konsumen ada yang minta waktu pendek, dan ada yang miau jangka panjang
Berapa jumlah rupiah yang dapat diberikan
Berapa suku bunga yang ditawarkan, apakah cukup kompetitif/bersaing atau tidak
Adakah biaya-biaya lain seperti biaya administrasi, provisi, notaris, dll.
A. Pendahuluan
Di
dalam melaksanakan kegiatan bisni ssehari-hari, ternyata dapat
dilakukan dengan berbagai macam cara. Ada yang melakukannya dengan
bekerja sama dengan pihak lokal dan ada pula yang melakukannnya dengan
pihak asing. Ada yang melakukannya untuk pribadi, dan ada pula yang
melakukannya untuk kepentingan perusahaan.
Hubungan-hubungan
bisnis demikian tentunya dilakukan karena mempunyai kepentingan dan
tujuan sendiri-sendiri. Secara pasti, tujuan mereka melakukan hubungan
bisnis tidak lain dimaksudkan untuk saling mencari keuntungan satu sama
lain. Sealin itu ada tujuan lain seperti untuk mempercepat proses
pemasaran produknya ke masyarakat luas. Ada pula yang bertujuan membantu
pihak lain karena tidak diizinkannya pihak lain memasarkan produknya
secara langsung di suatu Negara. Namun ada pula yang melakukannya karena
ketidakmampuan untuk berbisnis, ataupun masalah permodalannya. Serta
tujuan-tujuan lainnya.
Sebagai
contoh dalam bisnis franchise, para pihak berhubungan dengan maksud
selain untuk memasarkan produk bisnis franchise, juga di lain pihak
karena adanya pihak lain yang tidak mempunyai modal. Demikian ul dengan
hubungna bisnis yang berbentuk joint venture. Bisnis ini merupakan kerja
sama antara dua pihak karena adanya saling kepentingan masing-masing
pihak.
Untuk
memperjelas arti hubungan bisnis dan beragamnya bentuk hubungan bisnis,
pada bab ini akan diuraikan beberapa hubungan bisnis yang cukup menarik
dan selalu menjadi pembicaraan masyarakat luas serta sering menjadi
telaah lebih lanjut, yaitu hubungan bisnis dalam bentuk
keagenan/distributor, franchise, joint venture, dan usaha bangun guna
serah atau lebih dikenal dengan nama BOT (Built Operate and Transfer).
B. Jenis-Jenis Hubungan Bisnis
1. Keagenan atau Distributor
Latar
belakang terjadinya hubungan bisnis keagenan ini disebabkan oleh adanya
pihak luar negeri yang tidak diperbolehkan untuk menjual barangnya
(produksinya) secara langsung, baik ekspor/impr ke Indonesia. Untuk itu
pihak asing yang biasa disebut dengan prisipal harus menunjuk
agen-egennya atau perwakilannya di Indonesia untuk memasarkan produknya.
Hubungan
bisnis dengan nama keagenan dan dengan nama distributor aadalah
berbeda. Namun dalam praktek bisnis sehari-hari keduanya biasa
digabungkan. Bila seseorang/badan bertindak sebagai agen, berarti ia
bertindak untuk dan atas nama prinsipal. Sedangkan bila seseorang/badan
bertindak sebagai distributor, berarti ia bertindak untuk dan atas nama
dirinya sendiri.
Dalam
kegiatan bisnis, keagenan biasanya diartikan sebagai suatu hubungan
hukum di mana seseorang/pihak agen diberi kuasa bertindak untuk dan atas
nama orang/pihak prinsipal untuk melaksanakan transaksi bisnis dengan
pihak lain. Jadi kriteria utama untuk dapat dikatakan adanya suatu
keagenan adalah wewenang yang dipunyai oleh agen tadi yang bertindak
untuk dan atas nama prinsipal.
Sedangkan,
seorang distributor tidak bertindak untuk dan atas nama pihak yang
menunjuknya sebagai distributor (biasanya supplier, atau manufacture).
Seorang distributor bertindak untuk dan atas nama sendiri.
Pertanyaan
berikutnya adalah apakah perbedannya antara agen/distributor dengan
makelar dan komisioner? Makelar (broker) adalah seorang yang
pekerjaannya adalah bertindak sebagai perantara dalam suatu transaksi
bisnis antara pihak-pihak yang tersangkut. Makelar disini tidak
mempunyai wewenang untuk bertindak dan atas nama salah satu pihak dalam
suatu transaksi. Sedangkan apabila seseorang ingin melaksanakan jual
beli, baik jual beli barang ataupun jasa melalui perantara, dengan
memberikan kuasa kepada perantara tadi untuk bertindak atas namanya tapi
atas tanggungjawab sendiri dengan menerima komisi atas jasa-jasanya,
perantara tadi disebut dengan komisioner.
Dalam
perjanjian bisnis yang diadakan antara agen/distributor dengan
prisipalnya, biasanya dilakukan dengan membuat suatu kontrak tertulis
yang isinya ditentukan oleh para pihak sesuai dengan kepentingan para
pihak tersebut, asal saja tidak bertentangan dengan hukum dan kesusilaan
sesuai Pasal 1388 KUHPerdata.
Seorang
prinsipal, misalnya, dapat merujuk seseorang untuk menjadi agennya
dengan hanya berisi beberapa baris kalimat saja. Si agen kemudian
membubuhkan tanda tangannya sebagai tanda telah mengethui dan menerima
adanya penunjukkan dirinya sebagai agen dari prisipal tersebut.
Apabila
agen/distributor ingin mengalihkan haknya kepada pihak lain sebagain
maupun seluruhnya, tentu dibolehkan sesuai dengan isi Pasal 1388
KUHPerdata mengenai hal kebebasan berkontrak. Di sini para pihak bebas
menentukan apakah hak dan kewajiban mereka akan dialihkan atau tidak.
Dalam
praktek perjanjuan yang diadakan antara para pihak ternyata terdapat 3
(tiga) kemungkinan variasi yang terjadi, yaitu sebagai berikut:
1.
Kemungkinan pertama, dinyatakan bahwa masing-masing pihak baik
prinsipal maupun agen tidak berhak untuk mengalihkan sebagian atas
seluruh hak dan kewajibannya, tanpa adanya persetujuan dari pihak lai.
2.
Kemungkinan kedua, prinsipal boleh mengalihkan apa yang menjadi hak
dan kewajibannya kepada pihak ketiga , tetapi agen tidak.
3.
Kemungkinan ketiga, prinsipal boleh mengalihkan apa yang menjadi hak
dan kewajibannya kepada pihak ketiga, akan tetapi agen hanya
diperbolehkan untuk mengalihkan hak dan kewajibannya apabila diperoleh
persetujuan untuk itu dari pihak prinsipal.
Dalam
perjanjian juga para pihak biasanya akan merumuskan secara jelas
peristiwa apa-apa saja yang menjadi perselisihan (events of defaults)
yang memberikan dasar bagi masing-masing pihak untuk memutus perjanjian
keagenan/distributor di antara mereka. Biasanya yang dikategorikan
sebagai events of defaults antara lain adalah :
1.
Apabila agen distributor lalai melaksanakan kewajibannya, sebagaimana
tercntum pada perjanjian keagenan/distributor termasuk kewajiban
melakukan pembayaran.
2. Apabila agen/distributor melaksanakan apa yang sebenarnya tidak boleh dilakukan.
3. Apabila para pihak jatuh pailit;
4. Keadaan-keadaan lain yang menyebabkan para pihak tidak dapat melaksanakan apa yang menjadi kewajiban-kewajibannya.
Bila
para pihak ingin memutuskan perjanjian, tetap harus dpierhatikan
ketentuan Pasal 1266 KUHPerdata yang pada dasarnya menyatakan bahwa
pembatalan suatu perjanjian hanya dapat dilakukan setelah adanya
keputusan pengadilan. Dengan perkataaan lain, prinsipal yang bermaksud
memutuskan perjanjian keagenan dengan agennya, tidak cukup hanya dengan
mengirimkan pemberitahuan secara tertulis saja akan maksudnya itu.
Prinsipal harus mengajukan gugatan ke pengadilan negeri yang berwenang
dan menunggu adanya keputusan pengadilan yang membenarkan dilakukannya
pemutusan perjanjian keagenan.
Oleh
karena sistem hukum perjanjian kita menganut sistem ekonomi terbuka,
maka dalam praktek untuk menghindari prosedur tadi, para pihak dengan
tegas menyatakan di dalam salah satu pasal perjanjiannya bahwa untuk
perjanjian keagenan, mereka setuju untuk mengenyampingkan berlakunya
ketentuan Pasal 1266 KUHPerdataa. Dengan mengeyampingkan Pasal 1266 ini,
para pihak dapat melakukan pemutusan perjanjian keagenan dengan
ketentuan-ketentuan yang mereka perjanjikan dalam perjanjiannya.
Hal
ini perlu diperhatikan dalam suatu perjanjian keagenan/distributor
adalah adanya pilihan hukum yang akan dipakai para pihak. Sebab dalam
hukum internasional kita kenal adanya asas pilihan hukum ( choice of
law)
2. Franchise
Franchise
pandang bukan sebagai suatu usaha (bisnis), melainkan sebagai suatu
konsep, metode ataupun system pemasarannya yang dapat digunakan oleh
suatu perusahaan (franchisor) untuk mengembangkan pemasarannya tanpa
melakukan inbestasi langsung pada outlet (tempat) penjualan, melainkan
dengan melibatkan kerja sama pihak llain (franchiseei) selaku pemilik
outlet sosok ini merupakan konsep tradisional.
Kata
franchise sebenarnya berasal dari bahasa Perancis yang berarti bebas,
atau lebih lengkap lagi bebas dari perhambaan (free form servitude).
Dalam bidang bisnis franchise berarti kebebasan yang diperoleh seorang
wirausaha untuk menjalankan sendiri suatu usaha tertentu di wilayah
tertentu.
Franchise
ini merupakan suatu metode untuk melakukan bisnis, yaitu suatu metode
untuk memasarkan produk atau jasa ke masayarakat. Lebih spesifik lagi,
franchising adalah suatu konsep pemasaran. Sedangkan pakar lain melihat
franchise tidak hanya sekadar suatu metode atau konsep tetapi lebih
merupakan suatu system. Suatu metode atau konsep yang dapat
dioperasionalkan dalam kerangka atau tatanan yang membuat hubungan lebih
teratur dan terarah, antarsubsistem yang satu dengan subsistem yang
lain. Oleh karenanya franchise diartiakn sebagai suatu system
pemasarran atau system usaha untuk memasarkan produk atau jasa tertentu.
Dapat
juga disebutkan bahwa franchise adalah hubungan berdasarkan kontrak
lisensi yang menimbulkan cara memasarkan barang atau jasa dengan memberi
unsur kontrol tertentu kepada pemasok (franchisor) sebagai imbalan
bagi yang diperoleh oleh pihak yang mendapat hak (franchisee) untuk
menggunakan merek dan nama braang franchisor.
Perusahaan
yang memberikan lesensi disebut Franchisor dan penyalurnya disebut
franchisee. Perusahaan kecil mendefinisikan franchising sebagai suatu
system dari distribusi di mana suatu perusahaan yang dimiliki oleh
seseorang diselenggarakan seolah-olah merupakan bagian dari suatu
rangkaian yang besar, lengkap dengan nama produk, merek dagang, dan
prosedur penyelenggaraan standar.
Ada
4 (empat) hal yang menonjol dalam hal pemasaran konsep franchise yaitu
product, price, place/distribution dan promotion (4P). keempat hal yang
spesifik ini terutama tampak pada aspek distribusinya yang dalam
operasionnalnya melibatkan kerja sama dengan pihak lain yang independen.
Franchise
dapat didefinisikan sebagai suatu system pemasaran atau distribusi
barang dan jasa, di mana sebuah perusahaan induk (franchisor) memberikan
kepada individu atau perusahaan lain yang berskala kecil dan menengah
(franchisee), hak-hak istimewa untuk melaksanakan suatu system usaha
tertentu dengan cara yang sudah ditentukan, selama waktu tertentu, di
suatu tempat tertentu.
British
Franchise Association (BFA) mendefinisikan franchise sebagai berikut:
franchise adalah contractual licence yang diberikan oleh suatu pihak
(franchisor) kepada pihak lain (franchisee ) yang :
a.
Mengizinkan franchisee untuk menjalankan usaha selama periode franchise
berlangsung, suatu usaha tertentu yang menjadi milik franchisor.
b. Franchisor berhak untuk menjalankan Kontrol yang berlanjut selama periode franchise.
c.
Mengharuskan franchisor untuk memberikan bantuan pada francchisee dalam
melaksanakan usahanya sesuai dengan subjek franchisenya (berhubungan
dengan pemberian pelatihan, merchandising atau lainnya).
d.
Mewajibkan franchisee untuk secara periodik selama periodik franchise
berlangsung, membayar sejumlah uang sebagai pembayaran atas franchise
atau produk atau jasa yang diberiakn oleh franchisor kepada franchisee.
e.
Bukan merupakan transaksi antara perrusahaan induk (holding company)
dengan cabangnya atau antara cabang dari perusahaan induk yang sama,
atau antara individu dengan perusahaan yang dikontrolnya.
Setiap
hubungan bisnis yang ada selalu saja ada faktor kerugian dan
keuntungannya. Demikian juga dengan bisnis franchise ada keuntungan dan
kerugian yang terjadi di dalamnya. Keuntungan dari bisnis franchise
dapat dikemukakan sebagai berikut :
1. Diberikannya latihan dan pengarahan yang diberikan oleh franchisor, latihan awal ini diikuti oleh pengawasan yang berlanjut.
2.
Diberikannya bantuan financial dari franchisor. Biaya permulaan tinggi,
dan sumber modal dari pengusaha sering terbatas. Bila prospek usaha
dianggap suatu risiko yang baik, franchisor sering memberikan dukungan
financial kepada franchisee.
3.
Diberikannya penggunaan nama perdagangan, produk atau merek yang telah
dikenal, nama-nama seperti Wendy’s, perwakilan Walgreen, Dairy Queen,
Holiday Inn, Mc Donald’s dan NAPA tentu telah dikenal secara luas.
Sedangkan kerugian dalam bisnis franchise antara lain sebagai berikut :
1. Adanya program latihan yang dijanjikan oleh franchisor kadangkala jauh dari apa yang diinginkan oleh francchisee.
2. Perincian setiap hari tentang penyelenggaraan perusahaan sering diabaikan.
3.
Hanya sedikit sekali kebebasan yang diberikan kepada franhisee untuk
menjalankan akal budi mereka sendiri. Mereka mendapatkan diri mereka
terikat pada suatu kontrak yang merlarang unruk membeli peralatan baik
peralatan maupun perbekalan dari tempat lain.
4.
Pada bisnis franchise jarang mempunyai hak untuk menjual perusahaan
kepada pihak ketiga tanpa terlebih dahulu menawarkannya kepada
franchisor dengan harga yang sama.
3. Penggabungan Perseroan Terbatas (Joint Venture)
Kata
joint Venture jika diterjemahkan dapat berarti berusaha secara
bersama-sama. Usaha bersama tersebut dapat mencakup semua jenis kerja
sma. Seorang ahli bernama Friedman membedakan adanya dua macam joint
venture yaitu :
1.
Joint venture yang tidak melaksanakan penggabungan modal, sehingga
kerja sama tersebut hanya terbatas pada know-how yang dibawa ke dalam
joint venture. Know-how di sini mencakup “technical servise agreements,
franchise and brand use agreemenr, contruction and other job performance
ccontract, management contracts and rental agreements”. Menurut
Friedman, penggabungan know-how ke dalam joint venture biasanya
merupakan babak pertama menuju kerja sama yang lebih permanen, yang pada
saatnya akan beralih pada kerja sama berdasarkan penggabungan modal.
2.
Jenis kedua adalah joint venture yang di tandai oleh partisipasi modal.
Untuk membedakan jenis pertama dengan jenis kedua, Friedman menggunakan
istilah joint venture untuk yang pertama, dan equity joint venture
untuk jenis yang kedua.
Bila
kita lihat pengertian joint venture seperti yang dikemukakan. Tampaknya
Friedman agak berlainan dengan yang dikenal dalam praktek sehari-hari,
karena partisipasi sesuatu perusahaan dalam usaha perusahaan sudah
digolongkan pada joint venure.
Dalam
pengertian sehari-hari, joint venture seringkali merupakan suatu
perusahaan baru yang didirikan bersama-sama oleh beberapa perusahaan
yang berdiri sendiri dengan menggabungkan potensi usaha termasuk
Know-how dan modal, dalam perbandingan yang telah ditetapkan menurut
perjanjiann atau kontrak yang telah sama-sama disetujui.
Istilah
joint venture sering juga dinyatakan dengan istilah lain seperti
Foregin Collaborations, International Enterprise, dan sebagainya. Pada
hakikatnya istilah tersebut ialah usaha joint venture seperti yang
disebut diatas, walaupun multinational enterprise mencakup Negara-negara
yang lebih besar jumlahnya, seperti perusahaan-perusahaan raksasa
Amerika, Eropa, dan Jepang, yang bekerja sama dengan modal-modal
domestic di mana-mana. Misalnya : General Motors Ford Motor, Standar
Oil, General Electric, Hitachi dan sebagainya.
Dari pengertian di atas, dapat disebutkan bahwa usaha joint venture memiliki tanda-tanda sebagai berikut :
a. Adanya perusahaan baru yang didirikan bersama-sama oleh beberapa perusaahan lain.
b.
Adanya modal perusahaan joint venture yang terdiri dari know-how dan
modal saham yang disediakan oleh perusaahaan-perusahaan pendiri.
Kekuasaan dalam joint venture sesuai dengan banyaknya saham yang ditanam
oleh masing-masing perusaahaan pendiri.
c. Bahwa perusahaan-perusahaan pendiri joint venture tetap memiliki eksistensi dan kemerdekaan masing-masing.
d.
Khusus untuk Indonesia seperti yang kita kenal sampai sekarang, joint
venture merupakan kerja sama antara perusahaan domestic dan perusaahaan
asing, tidak menjadi soal apakah modal pemerintah atau modal swasta.
Ada
beberapa alasan yang dapat dikemukankan mengapa pelu dilakukan usaha
penggabungan suatu perseroan. Alasan-alasan dimaksudd antara lain
sebbagai berikut :
1. Untuk mengambil alih suatu perusahaan yang sedang berjalan untuk memperluas suat pasaran.
2. Untuk memperoleh keuntungan-keuntungan pajak.
3. Untuk mendapatkan sumber-sumber baru bagi barang-barang.
4. Untuk memperoleh cadangan unag tunai.
Perlu
dikemukakan bahwa penggbungan joint venture berbeda dengan teori yang
ada pada literature yang menyebutkan adanya 3 (tiga) bnetuk
penggabungan usaha suatu badan hukum yaitu konsolidasi, merger, dan
akuisisi.
Konsolidasi berarti bergabungnya dua atau lebih suatu badan usaha
menjadi suatu badan usaha baru. Misalnya : PT A, PT B, PT C dilebur
menjadi satu perseroan yang baru misalnya menjadi PT D.
Merger berarti penggabungan beberapa badan usaha, di mana sampai saat
ini peraturan mengenai merger hanya ada untuk usaha di bidang perbankan
saja sesuai dengan SK Menteri Keuangan Nomor: 278/KMK.01/1989 tanggal 25
maret 1989 dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor: 21/15/BPPD. Misalnya :
PT Bank A, PT Bank B, PT Bank C bergabung dengan PT Bank A. PT Bank B,
dan PT Bank C dibubarkan/dimatikan (dissolve).
Akuisisi berarti pengambilalihan suatu badan usaha oleh badan usaha lain dengan tetap menggunakan badan usaha yang lama.
4. Usaha Bangun Guna Serah BOT (Built Operate and Transfer)
Lembaga
BOT sebagai bentuk hubungan bisnis yang terakhir ini tampaknya masih
jarang dikenal oleh masyarakat luas. Namun dalam praktek bisnis
sehari-hari bentuk lembaga BOT sudah mulai berjalan dan menjadi
perhatian yang menarik yang menarik untuk ditelusuri lebiih jauh.
Menurut
Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 248/KMK.04/1995 tanggal 2 Juni 1995,
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Bangun Guna Serah adalah suatu
bentuk perjanjian kerja sama yang dilakukan antara pemegang hak atas
tanah dengan investor, yang menyatakan bahwa pemegang hak atas tanah
memberikan hak kepada investor untuk mendirikan bangunan selama masa
perjanjian bangun guna serah (BOT), dan mengalihkan kepemilikan bangunan
tersebut kepada pemegang hak atas tanah setelah masa guna serah
berakhir.
Hubungan
bisnis bangun guna serah ini akan membawa keuntungan bagi kedua belah
pihak. Di satu pihak si pemilik tanah tidak mempunyai modal untuk
membangun di atas tanah tersebut. Sedangkan si pemilik modal (investor)
mempunyai dana, namun tidak memiliki tanah untuk membangun. Dengan
demikian lembaga ini membawa kepentingan yang sama-sama baik bagi kedua
belah pihak. Hal ini tentu saha harus jelas disebutkan
klausula-klausula perjanjian bangun guna serah yang akan mereka buat.
Dan perjanjian yang akan dibuat oleh si pemilik maupun si investor
tentunya akan berpedoman pada ketentuan hukum yang berlaku seperti
KUHPerdata seta adanya itikad baik untuk melaksanakannya.
Bila
ditilik dari sudut perpajakannya, ternyata hubungan bisnis bangun guna
serah telah diatur secara jelas dalam SK Menteri di atas, Misalnya dapat
disebutkan bahwa biaya mendirikan bangunan di atas tanah yang
dikeluarkan oleh investor merupakan nilai perolehan investor untuk
mendapatkan hak menggunakan atau hak mengusahakan bangunan tersebut, dan
jumlah biaya yang dikeluarkan tersebut oleh investor diamortisasi
(disusutkan) dalam jumlah yang sama besar setiap tahunnya selama masa
perjanjian bangun guna serah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar